Akankah Penguasa Arab Tertampar oleh Aksi Greta Thunberg, Gadis Non Muslim Swedia yang Mencoba Mengunjungi Gaza?
Akankah Penguasa Arab Tertampar oleh aksi Greta Thunberg, Gadis Non Muslim asal Swedia yang Mencoba Mengunjungi Gaza?
By Teuku Zulkhairi
Tindakan Greta Thunberg, aktivis muda asal Swedia, yang berani mengunjungi Gaza dan menyuarakan penderitaan rakyat Palestina meski akhirnya ditangkap oleh tentara Israel, merupakan tamparan keras bagi para penguasa Arab di sekitar Palestina.
Aksi Greta tidak hanya mencerminkan solidaritas kemanusiaan yang tulus dari seorang warga non-Muslim dan bukan berasal dari kawasan Timur Tengah, tetapi juga membuka mata dunia bahwa tragedi di Gaza bukan semata-mata isu regional, melainkan tragedi kemanusiaan global.
Yang lebih ironis, keberanian seorang remaja dari Eropa dalam menantang kekejaman rezim Zionis justru berbanding terbalik dengan sikap diam dan pasif para pemimpin negara-negara Arab yang seharusnya menjadi pelindung pertama atas hak-hak rakyat Palestina.
Ketika seorang remaja perempuan dari luar dunia Arab tampil di garis depan membela Gaza, sementara para penguasa Arab justru memilih membungkam suara, menutup perbatasan, dan menghindari konfrontasi dengan Israel, maka inilah potret memalukan dari kegagalan solidaritas dunia Arab.
Di tengah pembantaian dan genosida sistematis yang dilakukan oleh Israel terhadap warga sipil di Gaza—anak-anak, perempuan, dan orang tua—justru tidak tampak langkah konkret dari negara-negara tetangga Palestina.
Bahkan, sebagian dari mereka justru sibuk menjaga hubungan diplomatik dan kepentingan politik mereka sendiri dengan Tel Aviv, seolah nyawa rakyat Palestina dapat ditukar dengan kontrak dagang dan normalisasi hubungan.
Kunjungan Greta Thunberg ke Gaza bukanlah sebuah pencitraan kosong. Ia telah lama dikenal sebagai aktivis yang konsisten memperjuangkan keadilan sosial dan keberlangsungan hidup manusia.
Dalam konteks Palestina, kehadirannya menjadi simbol bahwa kepekaan moral bisa tumbuh dari nurani siapa saja, bahkan dari mereka yang jauh secara geografis maupun budaya.
Namun dalam waktu bersamaan, ini menjadi cermin keburukan bagi para pemimpin Arab yang kehilangan keberanian dan kepekaan nurani. Bagaimana mungkin negara-negara yang berbagi akar sejarah, bahasa, dan agama dengan Palestina justru bersikap layaknya penonton yang membiarkan rumah tetangganya terbakar?
Apa yang dilakukan oleh Greta menunjukkan bahwa diam di hadapan kezaliman adalah bentuk keterlibatan tidak langsung. Sementara itu, diamnya negara-negara Arab tetangga Palestina tidak lagi bisa dibenarkan.
Jika seorang remaja Swedia saja bisa ditangkap karena keberaniannya berdiri di pihak yang benar, maka bagaimana mungkin para pemimpin Arab justru merasa aman dalam posisi diam, netral, atau bahkan akomodatif terhadap kejahatan kemanusiaan yang tengah berlangsung?
Ketidakpedulian mereka bukan hanya mencederai semangat persaudaraan umat, tetapi juga menciptakan luka sejarah yang dalam, di mana dunia akan mencatat bahwa ketika Gaza dibombardir dan anak-anak Palestina kehilangan nyawa, para pemimpin Arab memilih bungkam.
Greta Thunberg asal Swedia Bergerak ke Gaza dari Sisilia
Menuju Gaza, Greta Thunberg bersama belasan aktivis lainnya menapaki jalur yang tak lazim bagi banyak tokoh dunia, apalagi bagi seorang remaja perempuan Eropa.
Ia memilih menumpang sebuah kapal kecil bernama Madleen, berlayar dari pelabuhan Catania di Sisilia, Italia, menuju Gaza, membawa harapan kemanusiaan di tengah pekatnya blokade dan deru rudal yang tak henti menghujani penduduk Gaza, Palestina yang kelaparan dan putus asa.
Kapal Madleen bukan kapal perang atau kapal mewah diplomasi. Ia hanyalah sebuah kepala berbendera Inggris yang dioperasikan oleh Freedom Flotilla Coalition.
Kapal itu memuat 12 aktivis dari berbagai negara: Swedia, Prancis, Brasil, Jerman, Turki, Belanda, Spanyol, dan lainnya.
Mereka membawa bantuan yang bagi sebagian orang dianggap simbolik: 100 kg tepung, 250 kg beras, susu bayi, popok, alat desalinasi air, kruk, dan prostetik untuk anak-anak korban serangan.
Namun, justru dalam simbol-simbol kecil itulah terkandung pesan besar: kemanusiaan tidak mengenal batas politik, ras, atau agama.
Greta dan rekan-rekannya tahu bahwa mereka bisa ditangkap. Dan memang, saat mendekati perairan Gaza, pasukan Israel mencegat mereka di wilayah laut internasional.
Kapal disemprot cat kimia dan dinaiki paksa. Para aktivis, termasuk Greta, ditahan dan dibawa ke pelabuhan Ashdod.
Namun, bukan penangkapan itu yang menyakitkan, melainkan kenyataan bahwa seorang gadis muda dari Skandinavia rela menempuh ribuan kilometer untuk menyuarakan penderitaan rakyat Palestina, sementara para penguasa Arab yang bertetangga langsung dengan Gaza justru memilih diam.
Keberanian Greta menjadi cermin yang memalukan bagi dunia Arab. Di saat seorang remaja non-Muslim berdiri di garis depan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan hak hidup rakyat Palestina, para pemimpin Arab justru sibuk menjaga hubungan dagang dan stabilitas politik dengan Tel Aviv.
Perbatasan ditutup, bantuan dihambat, dan diplomasi dibungkam. Bukankah ini potret kegagalan moral dan politik yang paling telanjang?
Gerakan Greta bukanlah sekadar aksi simbolik. Ia adalah jeritan nurani yang mewakili dunia yang masih peduli pada keadilan.
Dalam sunyi dan darah yang mengalir di Gaza, Greta hadir membawa suara-suara yang dibungkam, menjadi saksi bahwa diam terhadap kezaliman adalah bentuk keterlibatan dalam kejahatan itu sendiri.
Sementara kapal kecil Madleen membawa bantuan kemanusiaan seadanya, justru keberangkatan itu menggetarkan panggung internasional lebih dari pidato panjang di forum-forum Arab.
Di hadapan tragedi genosida, dunia menunggu aksi, bukan retorika. Namun, saat dunia Arab hanya menawarkan kesunyian dan ketakutan, seorang gadis dari utara Eropa membawa harapan dan perlawanan dalam satu pelayaran.
Inilah saatnya para penguasa Arab merenung. Jika seorang anak muda bisa mengorbankan kenyamanannya demi Gaza, bagaimana bisa mereka, yang memiliki kekuasaan dan sumber daya, justru memilih bungkam di hadapan penjajahan dan pembantaian?
Diam mereka akan tercatat dalam sejarah, bukan sebagai bentuk kebijaksanaan, tetapi sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan solidaritas Arab.
Greta telah berlayar melampaui batas geografis dan politik. Ia telah menyeberangi lautan sekaligus mengguncang nurani dunia.
Kini, pertanyaannya adalah: akankah para pemimpin Arab tetap berdiam diri, atau mereka akan bangkit dari tidur panjang mereka sebelum Gaza sepenuhnya menjadi tanah sunyi yang dipenuhi puing dan mayat-mayat bocah-bocah dan perempuan Palestina?
[Teuku Zulkhairi]
Posting Komentar untuk "Akankah Penguasa Arab Tertampar oleh Aksi Greta Thunberg, Gadis Non Muslim Swedia yang Mencoba Mengunjungi Gaza?"