Baron Ferison, Menjadi Katolik Sejati di Aceh
“Sungguh sangat luar biasa kalau (syariat Islam kaffah) benar-benar ditegakkan, karena hampir sama dengan yang
kita perjuangkan. Kami Katolik, di Aceh sangat dilindungi"
Baron Ferison -- Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Aceh
LAKI-laki itu duduk tenang. Wajahnya
berseri-seri menatap setiap peserta yang ada di ruangan itu. Baju kaos ungu
berkerah hitam dipadu celana
training dan sepatu sport sepadan dengan posturnya yang tegap. Sekilas, ia terlihat seperti anggota TNI.
Baron Ferison, saat membei keterangan kepada sejumlah wartawan di Kanwil Kemenag Aceh (07/06/2013) |
“Dari
Pembimas Katolik juga hadir di sini,” ucap Kakanwil Kemenag Aceh,
Ibnu Sa’dan sambil menunjuk ke arah laki-laki itu ketika coffe morning bersama
awak media, di Aula Kemenag Aceh, usai apel pagi Jumat
(07/06/2013) lalu.
Ketika ia diberi kesempatan berbicara, Baron, begitu ia
disapa spontan mengatakan, “Saya merasa menjadi khatolik sejati selama di Aceh,
tidak pernah dikekang untuk beribadah.”
Semua
peserta yang hadir tercengang mendengar pernyataan pria bernama lengkap Baron
Ferison Pandiangan itu. Pasalnya, saat itu beberapa media
nasional dan internasional menyebutkan bahwa kebebasan beragama
di Aceh terkekang.
Baron, sang Pembina Masyarakat (Pembimas) Katolik di
Kanwil Kemenag Aceh mengatakan, dirinya sudah dua tahun lebih di Aceh,
tapi tidak sedikit pun ada rasa takut saat beribadah. Menurutnya, tidak ada gesekan sama sekali dengan umat beragama
lain.
Bahkan, Baron mengatakan
Syariat Islam membuat ia nyaman. Sehingga ia pun mendukung bila Syariat Islam
diterapkan secara kaffah di Provinsi berjuluk Serambi
Mekkah, ini. Ia mengaku tahu bahwa Islam juga mengajarkan toleransi terhadap umat
beragama lain.
“Sungguh sangat luar biasa
kalau (syariat Islam
kaffah) benar-benar ditegakkan, karena hampir
sama dengan yang kita perjuangkan. Kami Katolik, di Aceh sangat
dilindungi," tandasnya.
Hal
senada juga pernah diakui Pastur Misa malam Natal Gereja Katolik Hati Kudus,
Romo Alex Dirdja. SJ tahun 2012. Kepada sejumlah wartawan, Romo Alex Dirdja mengatakan, pelaksanaan Misa Natal 2012 di Aceh berjalan lancar, tanpa kendala apapun. Ia menyatakan, kemajemukan
umat beragama di Aceh patut menjadi contoh untuk daerah–daerah lain.
“Walaupun
kami umat minoritas, tapi kami merasa damai dan diterima baik oleh masyarakat
di sini. Saya sudah bertemu beberapa uskup yang pernah di sini, dan mereka
berkata bahwa Banda Aceh ini damai sejahtera,” ujarnya.
Sambung
Romo Alex, Natal di Jakarta dan Jogya memang jauh lebih
meriah dibanding di Aceh, karena umat di sana lebih ramai. Tapi untuk
kapasitas minoritas, perayaan Misa di Aceh sudah sangat memadai bagi
mereka.
Baginya,
bukan perbedaan agama yang dilihat, akan tetapi yang menjadi keutamaan yaitu
sama-sama berbangsa satu dan berbahasa satu di bawah payung Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Dari
segi pengamanan katanya juga perlu diapresiasi.
Bahkan
polisi yang berjaga-jaga di sana terlihat santai-santai saja
karena tidak ada kerusuhan atau ancaman yang
terjadi. Bahkan yang menjadi perhatian, tidak hanya anggota Polri saja yang
mengamankan, juga Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat) ikut
mengawalnya demi keamanan.
Pelaksanaan
Misa Natal 2012 mendapat
perhatian luas dari sejumlah kalangan. Pasalnya, pada pertengahan tahun 2012, Aceh terusik dengan isu
intoleransi beragama, terutama terkait pembongkaran
gereja di Kabupaten
Aceh Singkil.
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dan Pemerintah Aceh
menegaskan yang dibongkar bukanlah gereja, melainkan udung-udung atau sejenis
tempat ibadah yang tidak memiliki izin dari pemerintah
daerah.
Diberitakan
saat itu, Pemkab Aceh Singkil bersama Satpol PP telah membongkar 17 udung-udung yang tidak memiliki izin. Kapolda Aceh saat itu, Irjen Polisi
Iskandar Hasan menegaskan bahwa pembongkaran tersebut tidak ada hubungan dengan
agama, akan tetapi menyangkut masalah izin.
“Saya
juga sudah arahkan kemarin ke Kapolres, Pj bupati, maupun DPRK. Permasalahan
kemarin itu masalah izin bangunan. Saya kira setiap wilayah itu punya
aturan, aturan Pemerintah Daerah (Perda) masing-masing, kalau tidak sesuai
dengan aturan, ya, dibongkar, bukan melihat masalah agamanya,” tegas Kapolda
Aceh kepada wartawan di Banda Aceh.
Tegas Kapolda
lagi, bila persoalan izin, jangankan gereja, masjid
saja jika tidak mengantongi izin juga akan dibongkar petugas. “Lagi-lagi
ini persoalan izin,” tandasnya.
Penegasan untuk menjamin keamanan seluruh umat beragama
di Aceh juga pernah disampaikan oleh Kapolda
Aceh Irjen Pol Fajar Prihantoro yang menjabat pada tahun 2010. Bahkan, kala itu, untuk
mengamankan Misa Natal Polda Aceh menerjunkan
750 personel. Mereka menempati 68 pos pengamanan yang tersebar di seluruh Aceh
itu dalam operasi bersandi ‘Lilin Rencong’.
Fajar Prihantoro mengimbau kepada
masyarakat untuk ikut bersama menjaga keamanan. Kapolda meminta warga agar
tetap mewaspadai hal yang tidak diinginkan terjadi seperti adanya provokator
yang ingin mengusik kenyamanan warga di tanah peninggalan para raja-raja Islam
ini.(Hayatullah
Pasee)