Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari TK ke Pascasarjana: Perjalanan 25 Tahun Adam Juliandika Mencari Ilmu di Tengah Tantangan Aceh

 


Dari TK ke Pascasarjana: Perjalanan 25 Tahun Adam Juliandika Mencari Ilmu di Tengah Tantangan Aceh

Penulis : Adam Juliandika Mahasiswa Pascasarjana S2 Magister Hukum Tata Negara (Warga Kota Banda Aceh Domisili Ulee Kareng) 

adamjuliandika99@gmail.com 



Pendahuluan: Jejak Kaki di Tanah Rencong


Saya, Adam Juliandika, di Banda Aceh. Sejak kecil, nenek dan kakek selalu berpesan, “Beuthat bak meuseuraya, lom bak meusapat” (Ilmu adalah senjata dan sahabat). Pesan ini menjadi kompas dalam perjalanan saya, dari bangku TK hingga menapaki jenjang S2 Magister Hukum Tata Negara. Di usia 25 tahun, saya menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar ijazah, tetapi keberkahan, tanggung jawab, dan harapan untuk menerangi jalan orang lain.

---

Aceh 2024–2025: Antara Harapan dan Realita


Aceh terus berkembang, tetapi tantangan bagi generasi muda tetap besar. Menurut BPS Aceh (2024), angka pengangguran lulusan S1 mencapai 22%, sementara lapangan kerja hanya tersedia 15%. Di bidang hukum, misalnya, hanya ada 30 lowongan formal di Banda Aceh sepanjang 2024, sementara lulusan hukum mencapai 500 orang per tahun.


Banyak teman seangkatan akhirnya merantau atau beralih ke sektor informal. Seorang teman di Ulee Kareng, misalnya, harus bekerja sebagai ojek online meski bergelar S1 Teknik. “Meunan keuh nasib, han ek meukeusud” (Begitulah nasib, tak seperti yang direncanakan), ujarnya.



---


Pendidikan: Jalan Sunyi yang Penuh Makna


Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mujadilah: 11:

“… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...”

Ayat ini menguatkan langkah saya. Rasulullah SAW juga bersabda:

“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim).


Menempuh S2 bukan perkara mudah, terutama dalam hal biaya dan tekanan sosial. Namun, saya selalu percaya bahwa ilmu adalah investasi akhirat. Nenek ikut membantu saya selama ini, pernah berpesan : “Ureueng meutuah hana meulara, meulara that ureueng nyang hana meutuah” (Orang beruntung tak akan rugi, yang rugi adalah mereka yang tak berusaha).

---

Mengapa Saya Bertahan?

1. Membahagiakan Orang Tua

Nenek dan kakek saya, yang membesarkan saya sejak kecil, adalah motivasi terbesar. Mereka mengajari saya membaca di teras rumah kayu sederhana di Ulee Kareng. Gelar S2 ini adalah hadiah untuk mereka.

2. Menjadi Manfaat bagi Sesama

Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan harta, kamulah yang menjaganya.” Saya ingin ilmu hukum yang saya pelajari menjadi alat untuk membela keadilan di Aceh, terutama bagi masyarakat marjinal.

3. Inspirasi untuk Generasi Muda Aceh

Banyak adik kelas bertanya, “Kak, apa gunanya kuliah tinggi kalau akhirnya menganggur?” Saya jawab dengan pepatah Aceh: “Pikek boh kayee, pikek that bak gata” (Pikirkan pohon yang tumbang, pikirkan juga dirimu sendiri). Artinya, kesuksesan bukan hanya tentang hasil, tetapi juga proses memantaskan diri.

---


Membentuk Komunitas: Sahabat Muda Aceh

Di tengah perjalanan ini, saya juga menyadari pentingnya membangun ruang bagi anak muda. Tahun 2021, saat pandemi COVID-19 melanda, saya bersama beberapa teman membentuk komunitas Sahabat Muda Aceh. Kami ingin menciptakan wadah untuk berbagi ilmu dan pengalaman, terutama bagi siswa SMA, mahasiswa S1, dan rekan-rekan di S2.

Komunitas ini berkembang hingga 2024, dengan berbagai kolaborasi bersama komunitas lain, lembaga, dan individu yang memiliki visi serupa. Kami percaya bahwa generasi muda harus mempersiapkan diri, tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan Aceh dan Indonesia Emas 2045.

Sebagaimana kata Buya Hamka: “Kecil di mata sendiri, besar di mata orang lain—itulah hakikat ilmu.”


---


Tantangan Aceh Muda: Antara Mimpi dan Realita

Di Banda Aceh, kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja masih nyata. Lulusan S1 Manajemen bekerja sebagai kasir toko, sarjana hukum jadi sopir taksi. Tapi saya percaya, pendidikan bukan hanya tentang pekerjaan. Rasulullah SAW bersabda:

“Jika seseorang meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Pendidikan adalah cara kita meninggalkan warisan abadi.

---

Harapan untuk Aceh: Membangun dari Dalam

Di tengah keterbatasan, saya tetap optimis. Pemerintah kedepan semoga menjadi langkah dan kemudahan bagi kita semua generasi muda yang juga bagian dari penerus untuk aceh ini nantinya


Saya yakin, Aceh bisa maju jika generasi mudanya tak hanya pintar secara akademis, tetapi juga peka terhadap realita sosial. Seperti pesan Habibie:

“Tak perlu pintar jika tak punya hati. Tapi jika punya hati, kepintaranmu akan berarti.”



---


Penutup: Untuk Nenek, Kakek, dan Anak Cucu Saya Kelak


Di usia 25 tahun, saya belajar bahwa hidup adalah tentang menanam. Kelak, ketika saya menjadi ayah atau kakek, saya ingin bercerita:


"Dulu, di Aceh yang penuh ujian, kami tak menyerah. Kami belajar, bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang."


Seperti sungai yang mengalir meski berbatu, pendidikan harus terus hidup. “Beurapèe bak mata, beusijuek bak hati” (Air mata mengalir, keberkahan menyirami hati).



---


Referensi:

1. QS. Al-Mujadilah: 11.

2. HR. Muslim tentang keutamaan menuntut ilmu.

3. Data BPS Aceh (2024).

Posting Komentar untuk "Dari TK ke Pascasarjana: Perjalanan 25 Tahun Adam Juliandika Mencari Ilmu di Tengah Tantangan Aceh"