Pejuang Islam Jangan Takut pada Celaan
Banda Aceh
– Umat Islam diingatkan untuk tidak menjauh dari ajaran Islam dan tidak perlu
takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela ajaran Islam. Sebab, kita
umat Islam hanya dengan ajaran Islam lah kita akan berjaya dunia dan akhirat. Hal
itu diungkap oleh Tgk.H.Muhammad Yusuf A.W, pimpinan Dayah Babussalam
Al-Aziziyah Kecamatan Jeunieb Kab. Bireuen saat mengisi pengajian rutin yang
diselenggarakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh
Aceh Kupi Luwak, Banda Aceh (27/11).
Menurut
ulama muda yang akrab disapa Tusop ini, jika kita menjauh dari Islam maka kita
akan bermasalah. Sebaliknya, kita akan sukses dengan Islam sehingga jika
implementasi ajaran Islam sukses, maka Aceh juga akan sukses, kata Tusop.
Tusop juga
mengatakan, bahwa hari ini umat Islam dilabeli dengan berbagai macam label yang
melecehkan. Ini disebabkan karena kita lemah. Kenapa kita lemah? Karena
pemimpin dan masyarakat kita terlalu cinta kepada dunia dan takut akan mati.
Tgk.H. Muhammad Yusuf A.Wahab |
Padahal
seharusnya, kata Tusop lagi menjelaskan, umat Islam itu tidak seharusnya
menjadi penakut oleh berbagai label dan celaan. Sebab, ciri-ciri umat Islam
yang mencintai Allah dan Allah mencintanya adalah mereka yang tidak celaan
orang yang suka mencela, seperti digambarkan dalam Alquran surat Surah Al
Maidah Ayat 54: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui”.
Penjelasan
ini disampaikan oleh Tusop untuk menjawab pertanyaan seorang peserta yang hadir
dalam pengajian tersebut yang bertanya tentang adanya proses penghilangan
kata-kata “Syari’at” secara sistematis di Aceh dengan alasanya adanya kesan
keras dan radikal pada kata tersebut. Kalau kita masih takut kepada label dan
celaan manusia kepada ajaran Islam, maka keimanan dan akidah kita akan dipertanyakan,
kata ulama muda ini.
Tusop juga
menambahkan, bahwa Aceh gagal bukan karena Islam dan proses penegakan syari’at,
tapi karena kita telah meninggalkan Islam. Kita tidak mengimplementasikan
ajaran Islam sepenggal-penggal, tidak kaffah. Ini bukti bahwa kita telah
meninggalkan Islam.
Lihatlah
misalnya pendidikan, seberapa linearkah proses pendidikan kita di Aceh dengan
agenda dan cita-cita keIslaman dan keAcehan? Sangat jauh, kata Tusop. Begitu juga
bidang lainnya seperti ekonomi dan sebagainya.
Dalam pengajian
bertema “Tanggungjawab Pemimpin dalam Islam” ini, Tusop juga menyorot sejumlah
persoalan dalam kehidupan umat Islam dewasa ini. Menurutnya, tugas seorang
pemimpin itu yang paling utama merubah
perilaku umat Islam dari berfikir negatif menjadi positif, dari konsumtif
menjadi produktif. Begitu juga, kebijakan seorang pemimpin itu harus mendidik,
yaitu memiliki nilai edukasi dalam setiap gerak geriknya.
Dihadapan
segudang persoslan ini, Tusop mengajak masyarakat Aceh untuk menghidupkan kembali
majlis-majlis ta’lim, karena memang pabrik perbaikan umat adalah ta’lim.
Tusop juga berpesan agar di Aceh memperkua syari’at Islam, bukan meninggalkannya.
Misalnya dengan membentuk desa-desa percontohan di seluruh kabupaten kota di
Aceh.
Minimal sekali, setiap Kabupaten ada beberasa desa yang menjadi pilot
project syari’at Islam. Dan pemimpin Aceh harus konsisten membangun pilot
project gampong syari’at Islam. Ini penting kata Tusop, karena adanya pilot
project ini dalam jangka akan menjadi model penerapan syari’at Islam di
Aceh. (tz)