32 SKPA Tidak Pro Pelayanan Publik, Bukti Birokrasi Aceh Tidak Bersyari'at
Balai Kota Banda Aceh (foto: acehmail.com) |
BANDA ACEH – Kondisi
penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan
masyarakat. Sebanyak 32 SKPA dan 19 SKPK Banda Aceh dinyatakan tidak pro pelayanan publik. Padahal, Aceh sedang menerapkan syari'at Islam.
Setidaknya, gambaran itu tercermin dari hasil survei World Bank pada 2011 terhadap 183 negara yang
menempatkan Indonesia di urutan ke-129 dalam hal pelayanan publik.
Berdasarkan hal tersebut, Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Aceh telah melakukan observasi terhadap 43 SKPA dan 27 SKPK yang menyelenggarakan pelayanan publik. Observasi itu dilakukan
berdasarkan UU Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009 yang memuat komponen
standar pelayanan publik.
Hasil observasi menunjukkan, 32 SKPA dan 19
SKPK masuk dalam kategori zona merah karena
belum mematuhi seluruh komponen standar pelayanan yang tertuang dalam UU
Pelayanan Publik tersebut.
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Dr. Taqwaddin, dalam siaran persnya kepada sejumlah media menyatakan,
ada tiga kategori penilaian dalam observasi ini. Ketiganya adalah kategori
merah untuk SKPA dan SKPK dengan kepatuhan rendah, kategori kuning untuk SKPA
dan SKPK dengan kepatuhan sedang dan kategori hijau untuk SKPA dan SKPK dengan
kepatuhan tinggi.
“Untuk Provinsi Aceh ada 32 SKPA masuk
zona merah, 11 SKPA di zona kuning dan 0 SKPA pada zona hijau, sementara
untuk kota Banda Aceh ada 23 SKPK Masuk Zona merah, 2 SKPK zona kuning dan 2 SKPK zona hijau”
papar Taqwaddin saat menyampaikan hasil survey kepatuhan Pemda
terhadap UU Nomor 25 Tahun 2009 di Aula Fakultas Hukum Unsyiah, Jum’at,
6/12/2013
Sedangkan SKPK dengan rapor hijau dan tinggi tingkat kepatuhannya terhadap UU Nomor 25
Tahun 2009 adalah KTTSP dan Dinas Pendidikan
Taqwaddin memaparkan,
memang sebagian besar Unit Pelayanan Publik yang
menjadi sampel dalam observasi ini sudah menjalakan
kewajiban untuk memasang/memajang/mengumumkan persyaratan perizinan pada
tempat-tempat yang mudah dilihat oleh pengguna layanan. Namun begitu, masih ada sebanyak 74,4% unit di SKPA dan 85,2%
di Unit SKPK yang tidak memajang standar waktu pelayanan.
“Hal ini tentu menciptakan ruang untuk “bermain” mengulur-ulur waktu dalam pengurusan
perizinan karena tidak ada jaminan kepastian lama waktu yang dibutuhkan dalam
pengurusan satu perizinan,” jelas Taqwaddin.
Kemudian, ada sebanyak 97,7% unit di SKPA dan 88,9% di Unit SKPK tidak memasang informasi biaya pelayanan. Hal ini bisa memicu terjadinya
pungutan liar yang dilakukan oknum penyelenggara pelayanan publik.
Lebih lanjut, Taqwaddin menyebutkan, sebagian besar Unit Pelayanan Publik 97,1% SKPA dan
77,8% SKPK tidak memajang maklumat pelayanan di
tempat penyelenggara pelayanan tersebut. Situasi ini mengindikasikan tidak
adanya komitmen yang bisa ditagih oleh pengguna layanan kepada penyelenggara
pelayanan.
Hal yang perlu menjadi catatan, ujar
Taqwaddin, masih rendahnya tingkat
ketersediaan sarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus . Padahal, sesuai dengan UU Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota
masyarakat tertentu antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil,
anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial.
Untuk itu, Taqwaddin menegaskan, temuan ini akan disampaikan kepada Pemerintah Aceh
dab Pemerintah Kota Banda Aceh agar mereka
dapat memperbaiki unit pelayanannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perbaikan pelayanan, ungkap dia, harus dilakukan sesegera mungkin agar
masyarakat dapat dengan mudah memperoleh hak pelayanannya sebagaimana termaktub
dalam UU Nomor 25 Tahun 2009.
“Mari kita bersama-sama merawat
pelayanan publik dengan mengawasi penyelenggaraannya dan melaporkan
pelanggarannya kepada Ombudsman RI Perwakilan Aceh,” simpul Taqwaddin. (ri/tz)