Taqiyuddin, Menyelamatkan Jejak Pasai
Tgk Taqiyuddin Muhammad (foto: ardyaceh.wordpress.com) |
Puluhan
tahun, terutama pada masa konflik, ribuan makam tua di Aceh Utara tak terurus.
Tak banyak studi tentang batu bersurat peninggalan Kerajaan Samudra Pasai.
Padahal, bebatuan ini menyimpan jejak kejayaan peradaban pesisir timur Aceh.
Bagi Taqiyuddin Muhammad, epigrafi dalam prasasti itu adalah bagian dari
Kerajaan Pasai yang perlu diselamatkan.
Sebagian
prasasti penting itu kondisinya mengenaskan. Ada makam berukir yang patah
tertimpa pohon, tersembunyi di balik semak belukar, dan sebagian melapuk
diselimuti lumut.
Kenyataan
ini menggugah Taqiyuddin, terutama setelah ia mempelajari sejarah kebudayaan
Islam di Mesir dan menguasai bahasa Arab. Keinginan itu semakin kuat setibanya
dia di Aceh pada 2005. Bekal ilmu selama 14 tahun belajar di Fakultas
Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir,
cukup baginya untuk mulai ”membongkar” prasasti Pasai.
Ia
sendiri tak tahu banyak jejak sejarah ”kampungnya”. Pria kelahiran Peusangan,
Biereun, Aceh, ini justru akrab dengan sejarah Mesir kuno.
Pascaperdamaian
di Aceh, Agustus 2005, dia memulai perjuangannya. Pada 2007 ia mengajak
sejumlah pemuda yang mempunyai gagasan dan keinginan sama untuk bergabung.
Upaya ini bukan pekerjaan ringan. Selain harus berjuang dengan terbatasnya
dana, ia mesti menahan diri dari cibiran sejumlah kerabat dan tetangga.
”Mereka
sempat mengatakan, ’Ah itu hanya proyek tengku, paling nanti juga bawa proposal
ke kantor bupati.’ Membawa proposal ke kantor pemerintah berarti meminta dana.
Ini stigma negatif yang perlu diluruskan,” tutur Taqiyuddin.
Sebutan
tengku di Aceh biasa ditujukan kepada pemuka agama atau orang dengan kedalaman
ilmu agama. Tanpa diminta, Taqiyuddin menyandang gelar ini. Ia ingin muruah
seorang tengku terjaga sebagaimana lazimnya panutan masyarakat. Tengku tak
pantas bekerja untuk mendapatkan pamrih, apalagi mencari uang dengan kedok
kegiatan sosial. Kalau tengku tak dipercaya masyarakat, siapa lagi yang menjadi
panutan hidup?
Pemahaman
ini terbenam kuat dalam benaknya. Keterbatasan sarana dan cibiran negatif tak
menghalangi keinginannya mengumpulkan jejak Pasai. Dua tahun bekerja dengan
dana swadaya, ratusan epigrafi nisan tua Pasai berhasil dia terjemahkan bersama
para pemuda. Sejumlah fakta sejarah baru tentang Pasai, terutama sebelum abad
ke-16, mulai terkuak.
Menerjemahkan
kaligrafi berhuruf Arab dalam batu nisan bukan pekerjaan mudah. Dalam kaligrafi
nisan, pemahat memasang ”jebakan” yang terselip dalam penggunaan bahasa dan
simbol huruf. Sering kali simbol ini menceritakan data penting, misalnya gambar
kandil (lampu gantung di dalam masjid). Gambar seperti itu ditemui di sejumlah
makam tua yang berarti pemilik makam adalah penyebar Islam.
Untuk
membaca utuh epigrafi sebuah batu nisan, Taqiyuddin perlu waktu seminggu.
Kesulitan membaca epigrafi makam Islam di Nusantara ini pernah disampaikan
peneliti Perancis, Claude Guillot dan Ludvik Kalkus, dalam bukunya Inskripsi
Islam Tertua di Indonesia, 2008.
Samudra
Pasai merupakan kerajaan Islam di Nusantara yang berjaya pada abad ke-13 sampai
ke-16. Guillot dan Kalkus menyebut prasasti Pasai penting untuk mengetahui
jejak masuknya Islam ke Nusantara, selain prasasti Barus (Sumatera Utara) dan
Gresik (Jawa Timur).
Keterbatasan
Taqiyuddin
tak perlu menunggu semua sarana tersedia untuk memulai pekerjaan. Kerabatnya
kerap menganggap dia seperti lilin yang menerangi orang sekitar, tetapi dirinya
meleleh. Ia tak merasa seperti lilin. Dia memang ingin memberikan waktu dan
dirinya untuk Aceh.
Lantaran
itu, ia tak meratapi keterbatasan sarana. Pada awal penyusuran ke sejumlah
lokasi prasasti, dia memakai becak motor (betor) milik sahabatnya, Abu. Selain
pengetahuan bahasa Arab, bekal yang tak ada habisnya adalah semangat kerja sama
tim. Taqiyuddin beruntung mempunyai rekan kerja yang tak pernah mengeluh walau
mesti mengakrabi nisan-nisan tua. Rekannya, Fauzan (29) dan Ramlan Yunus (30),
adalah pemuda Aceh Utara, lulusan SMA.
Mereka
mengunjungi makam-makam tak terkenal lalu mengabadikannya. Melalui dokumentasi
foto, perlahan-lahan tim Taqiyuddin memecahkan rahasia kaligrafi sebuah
prasasti. Selanjutnya mereka simpan hasil terjemahan kaligrafi berupa syair,
riwayat hidup pemilik makam, atau nukilan ayat Al Quran dalam komputer.
Secara
tak sengaja, mereka menemukan aneka gerabah kuno, koin berhuruf Arab, dan
sebuah benda yang diduga kuat sebagai stempel Kerajaan Pasai di sekitar lokasi
pemakaman.
Suatu
hari Taqiyuddin membutuhkan sarana yang lebih memadai karena beban kerjanya
makin menantang. Dari pakcik-nya (paman), ia bisa menempati sebuah rumah
sebagai sekretariat penelitian. Dia juga memanfaatkan uang simpanan untuk
membayar uang muka membeli sepeda motor.
Hasil
penerjemahan epigrafi nisan itu sudah banyak yang ditulisnya. Sebagian artikel
dan temuannya dimuat di koran terbitan Aceh seperti Harian Aceh dan Serambi
Indonesia. Tantangan berikutnya adalah membukukan semua hasil kegiatan itu
untuk melengkapi kekayaan sejarah Pasai. Belakangan, pekerjaannya mendapat
dukungan dari Balai Pelestari Peninggalan Purbakala (BP3) Aceh.
Cita-cita
Ketika
Taqiyuddin berusia sembilan tahun, ayahnya, Muhammad A Djali, meninggal dunia.
Sejak itu, sang ibu, Nafsiah Yusuf, yang bekerja sebagai pegawai di Departemen
Agama, Aceh Utara, menghidupi empat anaknya sendirian. Namun, keterbatasan ini
tak membatasi cita-cita Taqiyuddin. Setamat belajar di pesantren di Langsa, ia
berkeras hanya mau melanjutkan ke Universitas Al Azhar di Kairo.
Membantu
mewujudkan keinginan anaknya, Nafsiah mengusahakan uang kuliah dari hasil
penjualan tanah warisan dan perhiasan keluarga. Selama di Mesir, Taqiyuddin
sering kekurangan dana karena kiriman tak mencukupi. Beruntung, sebagian teman
mengizinkan dia menumpang tinggal.
Kekurangan
dana itu mendorong dia mencari pendapatan selama di Mesir. Berbagai pekerjaan
dia lakukan, mulai dari sebagai tenaga musiman haji di Jeddah, Arab Saudi,
penerjemah buku-buku Islam, sampai pemandu wisata di Mesir. Bersamaan dengan
itu, secara otodidak dia menekuni sejarah kebudayaan Islam.
Istrinya,
Siti Suryani Syarifuddin, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam
Negeri Lhok Seumawe, mendukung keinginan sang suami. ”Kami bertemu saat belajar
di Kairo,” kata Taqiyuddin yang menikahi Suryani pada 1998.
(Sumber
KOMPAs, 6 Mei 2009)