Widya Oktavia, Peraih Juara 1 Pidato Tingkat Nasional yang Ingin Jadi Ulama
“Selain ingin sukses dalam meniti karir, Widya juga ingin jadi ulama perempuan sekaligus sebagai seorang Ibu Rumah Tangga yang bertanggungjawab pada keluarganya”
WIDYA OKTAVIA adalah salah satu remaja
Aceh yang mampu mengukir prestasi di tingkat Nasional. Siswi kelas 2 SMA Dayah
Terpadu Inshafuddin Banda Aceh ini meraih juara 1 pada lomba Pidato Kependudukan
Tingkat Nasional Kategori Remaja yang berlangsung pada 15-19 Agustus 2013 Hotel
Royal Kuningan, Jakarta.
Sebelumnya, ia tampil sebagai juara 1 tingkat Provinsi Aceh. Tapi bukan saja itu yang membuat remaja putri asal Bener Meriah ini terlihat luar biasa, ia ternyata memiliki motivasi belajar yang sangat kuat, pikirannya dan cita-cita masa depannya telah melampaui jauh remaja seusianya.
Lhir di Lut Kucat Kecamatan
Wih Pesam Kabupaten Bener Meriah pada 29 Oktober 1996 dari pasangan Wijiyono (37) dan Zulaila (32),
keduanya bekerja sebagai petani. Widya merupakan anak pertama dari
tiga bersaudara.
Widya Oktavia, Santri Dayah Inshafuddin yang Meraih Juara I Lomba Pidato Tingkat Nasional |
Jumat (25/10/2013) Tim Redaksi Suara Darussalam
menjumpai Widya Oktavia di Ruang Pimpinan Dayah Terpadu Inshafuddin, Banda
Aceh. Ditemani beberapa Ustadz
dan Ustadzah di Dayah tersebut, Widya menyambut kami dengan mata yang berkaca-kaca
dan semangat. Widya sampai mengeluarkan air matanya saat menceritakan kisah
hidupnya yang berasal dari keluarga miskin namun memiliki cita-cita besar.
Di awal ceritanya, Widya
menyampaikan cita-cita tingginya yang ingin memperdalam ilmu agama karena memang
hatinya selalu ingin tahu tentang agama. Widya juga menjelaskan cita-citanya
yang ingin menjadi ulama perempuan yang bisa menjawab tantangan zaman. Ia ingin
menguasai Ilmu Tafsir Quran dan segala ilmu agama lainnya. Selain itu, Widya
ternyata juga ingin berbisnis.
Saat kami menanyakan apa
motivasi dia ingin berbisnis? Widya menjelaskan dengan penuh semangat, bahwa
bisnis yang dia maksudkan adalah untuk investasi akhirat agar saat ia berdakwah
tidak bergantung kepada orang lain. Ia juga ingin memperdalam agama karena ia
melihat banyak remaja Aceh yang dewasa ini jauh dari agama. Widya ingin
membuktikan bahwa Islam sebenarnya menerima kemajuan, tapi kemajuan itu harus
sesuai nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu, di Dayah Inshafuddin, Widya ingin kuliah
di luar Aceh mengambil jurusan agama, yaitu jurusan Tafsir Alquran.
Berasal dari keluarga
miskin, Widya terbukti mampu berprestasi di sekolahnya, dari SMP sampai di SMA.
Namun demikian, prestasi tersebut tidak
lantas membuat Widya memperoleh beasiswa yang sangat diharapkannya mengingat
kondisi orang tuanya yang sangat kekurangan. prestasi Widya antara lain, meraih
Juara 1 Syarhil Quran antar Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Juara 1
Cerdas Cermat se Kabupaten Bener Meriah,
Juara 1 pidato bahasa Indonesia se MTs Bener Meriah. Sementara saat di SMA
Inshafuddin, Widya juga masih melanjutkan prestasi gemilangnya.
Widya pernah meraih juara
1 pidato Bahasa Arab se Inshafuddin, Juara pidato (bahasa Indonesia)
Kependudukan Indonesia se Prov. Aceh, Juara 1 Kependudukan Indonesia Nasional
sehingga dia diundang ke Istana Presiden saat 17 Agustus 2013 yang lalu. Selain
itu, Widya juga konsisten mendapat rangking 1 dan 2 saat di SMP. Juga terus
meraih rangking 1 di dayah Inshafuddin, serta meraih rangking 5 di SMA
Inshafuddin.
Dari keluarga miskin
Widya mengaku, orangtuanya
dengan susah payah membiayainya sekolah. Ia berharap saat kuliah
nanti bisa dapat beasiswa kuliah agar tidak memberatkan orang tuanya yang
seorang petani. Tapi jika tidak bisa dapat beasiswa, ia akan tetap ingin kuliah. Bukan
hanya ingin kuliah, Widya bahkan sudah memasang cita-cita tinggi, yaitu menjadi
seorang Professor. Menurut Widya, walaupun ada ilmu tapi jika tidak ada gelar maka orang tidak
akan dipakai juga. Kalau ada gelar, kesannya kita akan mudah didengar, ujar
Widya.
Di dayah, Menemukan Jatidiri
Widya menemukan
jatidirinya di dayah. Proses pembelajarannya di dayah membuat dia banyak
berfikir tentang masa depan dan tugasnya sebagai seorang Muslimah. Selain ingin
sukses dalam meniti karir, Widya juga ingin jadi ulama perempuan sekaligus
sebagai seorang Ibu Rumah Tangga yang bertanggungjawab pada keluarganya.
Kehidupan di dayah menurutnya
sangat teratur ketimbang kehidupan di luar. Selama di dayah, ia sering
meluangkan waktu untuk membaca buku dan kitab-kitab, sebab Widya ingat pesan
pimpinan dayahnya dulu. “Kalau ingin pandai pidato, maka kita harus punya
wawasan yang luas dengan cara membaca buku,” ujar Widya mengingat nasihat
gurunya.
Terbukti kemudiaan, Widya
merasa dengan membaca sangat membantunya dalam berpidato hingga mengantarkannya
pada prestasi juara 1 Tingkat Nasional. Kemahiran Widya berpidato ini pula
membuat Ibu-Ibu majllis ta’lim di kampungnya sering meminta Widya mengisi
ceramah dan memberi kata-kata sambutan pada acara ibu-ibu di kampungnya ketika
Widya pulang ke kampong mengisi masa libur sekolah dan dayah.
Dalam pandangan Widya, dayah itu adalah miniatur
bermasyarakat. Jadi, dia di dayah Widya juga belajar bermasyarakat. Di dayah,
dia juga mendapatkan nilai-nilai mulia seperti jujur, beretika, sederhana,
mandiri, saling menghargai, disiplin, hidup berjama’ah. Menurut Widya,
nilai-nilai ini hari ini sudah sangat jarang ditemukan di masyarakat, apalagi
di kota yang sudah nafsi-nafsi (individualistik, red).
Motivasi Orangtua
Di dayah, Widya juga
menemukan jatidirinya, ia memahami posisinya sebagai seorang anak yang harus
mengabdi kedua orang tua, memahami masa depan yang harus diraihnya. Itu sebab,
Widya merasa damai dan semangat belajar di dayah. Kadangkala Widya teringat dan
rindu kepada kedua orang tua dan adik-adiknya, juga teringat pada perjuangan
mereka yang bersusah payah mendidik Widya, bekerja siang malam agar bisa
membiayai Widya di dayah, tapi Widya berkomitmen dia harus berhasil dan
mengabdi pada orang tuanya. Widya
teringat ke kampung, “Tapi saya bukan teringat karena ingin pulang, tapi kalau pulang saya akan
bawa apa, sudah seberapa banyak ilmu yang saya miliki?” kata Widya.
Widya merasa bersalah jika
tidak berhasil menjadi alim. Orang tua saya bekerja keras. Bahkan, sampai
pernah diremehkan dan diejek oleh warga karena tetap membawa Widya ke Dayah di
Banda Aceh meski kondisi ekonominya sangat sulit. Tapi meski demikian, orang
tuanya tidak mengeluh walau kondisi ekonomi sulit, dia mencari solusi atas
kesulitan tersebut.
“Dibilang ayah, kita yakin,
bahwa kita punya Allah dan rizki itu di tangan Allah,”
kata Widya menirukan ucapan ayahnya. Menurut Widya, orang tuanya juga rajin tahajud.
Bahkan, ibunya juga sering tanya
apakah saya sudah shalat Dhuha. Orang tua Widya, walaupun tidak punya uang, tapi tetap meyakinkan dia
untuk sabar. Mereka sering memberi motivasi bagi Widya.
Prinsip hidup Widya, jadi
wanita karir shalehah, karena saya punya pedoman hidup bahwa jika hari ini kita
baik maka masa depan kita akan baik begitu juga sebaliknya. Widya berpesan
pada remaja sekarang Aceh, jangan terlalu manja. Jangan berfikir bahwa Islam
itu tidak sesuai dengan kemjauan, Islam
itu sesuai dengan kemajuan yang penting sesuai dengan nilai-nilai Islam. (teuku zulkhairi)
Prestasi Widya
Prestasi
saat di MTs:
1.
Juara
1 Syarhil Quran antar Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah
2.
Juara
1 Cerdas Cermat se Kabupaten Bener
Meriah
3.
Juara
1 pidato bahasa Indonesia se MTs Bener Meriah
Prestasi
SMA
4.
Juara
1 pidato Bahasa Arab se Inshafuddin
5.
Meraih
rangking 1 secara konsisten di Dayah Inshafuddin
6.
Juara
pidato (bahasa Indonesia) Kependudukan Indonesia se Prov. Aceh
7.
Juara
1 Pidato Kependudukan Tingkat Remaja Tingkat Nasional
8.
Diundang
ke Istana presiden waktu 17 Agustus 2013