Bahaya Golput Dalam Islam
![]() |
Ilustrasi golput, sumber: google.com |
TIADA terasa, pemilu 2014 hanya tinggal beberapa minggu lagi.
Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, perhelatan akbar demokrasi tahun ini
juga “dihantui” oleh satu kekhawatiran paling signifikan, yaitu masih tingginya
jumlah masyarakat yang tidak mau berpartisipasi sama sekali sebagai pemilih,
atau yang sering dikenal dengan istilah golput (golongan putih).
Kekhawatiran ini tentu saja sangat beralasan. Hasil survei yang
dilakukan Lembaga Riset dan Polling Indonesia pada 15 November hingga 19
November tahun lalu, sebagaimana dilansir Antara, memprediksi bahwa jumlah
golput pada pemilu 2014 ini melebihi 50 persen. Walau hasil survei ini tidak
menggambarkan persentase yang sesungguhnya pada pemilu bulan April nanti, namun
tetap saja memberi indikasi kuat bahwa jumlah masyarakat yang tidak mau
menggunakan hak pilihnya masih sangat tinggi.
Pertanyaan yang muncul adalah, bolehkan kita memilih untuk golput
dan tidak berpartisipasi dalam pemilu? Seberapa besar mudharat yang ditimbulkan
dari pilihan ini ditinjau dari nilai dan ajaran Islam? Tulisan yang sederhana
ini berupaya untuk mendiskusikan dua pertanyaan ini dalam koridor Alquran,
hadis dan sejarah Islam.
Urgensi Memilih Pemimpin dalam Islam
Sebagai agama yang sempurna, Islam menempatkan keberadaan seorang
pemimpin pada posisi sangat urgen dan wajib adanya. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW memerintahkan tiga orang yang
bepergian untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. Jika
memilih pemimpin hukumnya wajib dalam perkara bepergian, maka dalam konteks
Indonesia yang lebih luas, dengan jumlah penduduknya yang mencapai lebih dua
ratus juta jiwa, memilih pemimpin tentu lebih wajib lagi.
Fakta sejarah Islam juga mengisyaratkan betapa kuatnya kesadaran
para sahabat terhadap pentingnya persoalan kepemimpinan. Fakta ini dapat kita
pahami dari berkumpulnya para sahabat dari golongan Anshar dan Muhajirin di
sebuah tempat bernama Saqifah Bani Sa’idah, langsung setelah mereka memastikan
wafatnya Rasulullah SAW. Padahal, Rasulullah saat itu belum dikuburkan.
Berangkat dari hadis dan fakta sejarah di atas, pemilu legislatif
dan eksekutif, yang tidak lain adalah
agenda lima tahunan untuk memilih unsur-unsur pimpinan dan perwakilan umat
Islam, wajib diikuti oleh setiap muslim yang telah mencukupi syarat. Kewajiban
ini tidak semestinya diabaikan oleh seorang muslim, karena pentingnya persoalan
kepemimpinan dalam Islam.
![]() |
Tgk Muakhir Zakaria |
Berkaca Pada Sikap Abubakar dan Umar
Dalam kitab Tarikh Al-Khulafak, Imam Suyuthi menyebutkan bahwa ketika kaum
Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk mengangkat khalifah pengganti
Rasulullah SAW, sampailah berita tersebut ke telinga Umar bin Khattab. Umar
kemudian langsung mengatakan kepada Abubakar, “Wahai Abubakar, ikutlah bersama kami untuk berkumpul dengan
saudara-saudara kita kaum Anshar.”
Mendengar ajakan tersebut, Abubakar
tidak lagi mengulur-ngulur waktu dan langsung menuju Saqifah, diikuti oleh
sahabat-sahabat yang lain. Di tengah jalan, keduanya bertemu dengan dua orang
lain di tengah jalan. Kedua orang tersebut bertanya, “hendak kemana kalian wahai kaum muhajirin?” Umar menjawab, “Kami ingin ke tempat saudara-saudara kami
kaum Anshar.” Kedua orang tersebut lalu mengatakan, “janganlah kalian dekati mereka, urus saja urusan kalian sendiri.”
Namun perkataan ini dijawab oleh Umar, “Demi
Allah kami akan mendatangi mereka.”
Sebagai
penerus panji-panji Islam setelah Rasulullah Saw. wafat, Abubakar dan Umar
wajib kita jadikan sebagai panutan, karena Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Berpeganglah
pada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin setelahku.”
Berpijak pada hadis
ini, tidak semestinya seorang muslim golput, bersikap masa bodoh dan acuh tak
acuh terhadap agenda pemilihan pemimpin, karena sikap tersebut sangat
bertentangan dengan sunnah Abubakar dan Umar yang segera menuju
Saqifah dan meninggalkan kegiatan-kegiatan lain agar dapat berpartisipasi dan
memberikan suaranya dalam pemilihan khalifah pengganti Rasulullah SAW.
Pemilu Sebagai Kewajiban dan Amanah Sosial
Prof. Nashr Farid Washil, Mantan Mufti Mesir, menyebutkan bahwa Islam mewajibkan ummatnya untuk menunaikan segala bentuk amanah,
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Annisak ayat 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” Salah satu amanah yang
Allah bebankan kepada umat Islam adalah memilih unsur-unsur pimpinan, baik
legislatif, eksekutif maupun yudikatif, dalam koridor sistem syura dan
demokrasi.
Oleh karena itu, seseorang yang
telah mencukupi syarat, sudah semestinya menjalankan amanah ini dan
mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Orang yang tidak
mau menggunakan hak pilihnya, menurut beliau, akan berdosa secara agama, karena
dia tidak menunaikan amanah dan kewajibannya terhadap masyarakatnya.
Senada dengan itu, Prof.
Abdurrahman Albar, seorang ulama hadis Universitas Al-Azhar, menyebutkan bahwa
salah satu kewajiban seorang muslim yang hidup dalam sebuah masyarakat adalah
memberikan kontribusi positif dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang
dihadapi masyarakat tersebut, sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu,
orang yang mendapatkan kesempatan untuk memilih perwakilan umat Islam di legislatif
atau eksekutif tidak boleh menyiakan-nyiakan kesempatan tersebut.
Beliau juga menambahkan bahwa jika
seorang muslim tidak ikut serta dalam pemilihan, maka ia tidak melaksanakan
salah satu kewajiban sosial lainnya, yaitu menegakkan amar makruf dan nahi munkar.
Alasannya adalah, karena orang tersebut membuka peluang bagi orang-orang yang
jauh dari agama dan gemar melakukan kerusakan di muka bumi untuk terpilih
sebagai salah satu unsur pemimpin masyarakat. Akibatnya, masyarakatlah yang nantinya akan menderita
dengan ulah pemimpin yang seperti itu.
Kewajiban
Mengenali Pemimpin
Imam
Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam
Al-Sulthaniyah menyebutkan bahwa kaum muslimin wajib mengenal pemimpinnya,
baik nama, orangnya maupun
sifat-sifatnya. Beliau kemudian mengutip pernyataan Sulaiman bin Jarir yang
menegaskan bahwa kewajiban mengenal pemimpin seperti halnya kewajiban mengenal
Allah dan Rasul-Nya.
Berdasarkan penegasan ini, kita dianjurkan untuk memiliki
pengetahuan mendalam terhadap sifat dan track
record orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, agar kita dapat
memilih orang yang paling tepat. Rasulullah SAW bersabda, "jika sesuatu urusan diserahkan bukan pada
ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran." Maka, bagaimana mungkin kita
dapat mengenal dan menemukan orang yang tepat untuk posisi legislatif dan
eksekutif jika kita bersikap “masa bodoh” dengan identitas para kontestan pemilu
dan malah tidak mau memilih orang yang jujur dan amanah.
Walhasil, berdasarkan pemaparan di
atas, golput dalam Islam ternyata memiliki mudharat yang sangat besar, karena
pilihan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap beberapa prinsip penting dalam
Islam.
Dengan demikian, seorang muslim yang tidak berpartisipasi dalam pemilu
tanpa alasan yang jelas telah melanggar kewajiban memilih pemimpin, tidak
menjalankan sunnah Abubakar dan Umar, tidak menunaikan amanah dan kewajiban
sosial, dan tidak melaksanakan kewajiban mengenal pemimpin. Mudharat yang ditimbulkan pun tidak bisa
dikatakan kecil, karena akan membuka peluang yang cukup besar bagi orang-orang
yang nantinya akan merusak sendi-sendi kehidupan umat Islam dengan kezaliman
mereka. Allah Musta'an.
Penulis adalah guru Dayah Darul Ihsan Abu
Hasan Krueng Kalee, Siem, Aceh Besar.