Poligami dalam Islam
Ilustrasi |
Oleh: Herlini Amran
Membahas poligami ( istilahnya ta’addud az-zaujat) merupakan tema yang
menarik perhatian baik bagi pihak yang menganggapnya sebagai sunnah
Rasul yang dianjurkan untuk melaksanakannya, mapun pihak yang
membolehkan namun dengan persyaratan ketat, ataupun bagi yang menolaknya
mentah-mentah. Masing-masing memiliki dalil pendukung hujjahnya.
Syariat poligami ini sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam.
Dalam Kitab Perjanjian Lama menyebutkan bahwa Nabi Daud memiliki 300
orang istri, dan Nabi Sulaiman memiliki sekitar 700 orang istri. Dulunya
bangsa Eropa yang sekarang adalah Rusia, Yugoslavia, Jerman, Belgia,
Denmark, Swedia dllnya, maupun bangsa Timur seperti bangsa Ibrani dan
Arab juga berpoligami. Tidak benar ada tuduhan bahwa Islamlah yang
melahirkan aturan tentang poligami.
Ketika Islam datang, banyak laki-laki yang memiliki sepuluh orang istri ,
lebih banyak atau lebih sedikit dari itu bahkan tanpa batasan. Poligami
inipun diatur dengan beberapa syarat dan batasan-batasan yang telah
ditentukan. Yaitu paling banyak dengan empat orang istri, itupun terikat
dengan satu syarat yang sangat berat “Adil”, sehingga jika tidak dapat
berbuat adil, cukup menikahi satu orang istri saja.
Islam datang bukan untuk memberikan kebebasan sebebas bebasnya bagi kaum
laki-laki untuk berpoligami, tapi datang untuk membatasinya. Oleh
karena itu Islam tidak membiarkan laki-laki berbuat sekehendak nafsunya,
tapi Islam mensyaratkan Keadilan dalam berpoligami, jika tidak mampu,
maka dispensasi ini dilarang untuk dilakukan.
Dalam hadis riwayat Tirmizi dan Ibnu Majah menerangkan bahwa Ghailan bin
Salamah ketika masuk Islam dalam keadaan memiliki istri 10 orang, maka
Nabi saw bersabda kepadanya : Pilihlah 4 diantaranya dan ceraikan yang
lain.
Surat An-Nisa ayat 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang
ketat, yaitu batasan maksimal 4 istri dan ketentuan syarat mesti berlaku
adil. …….tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.
Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
Jadi poligami dalam syariat Islam memiliki hukum dasar dibolehkan
(mubah) dengan syarat asas keadilan dan tentu saja kecukupan harta dan
kemampuan-kemampuan lainnya. Sebagaimana halnya dengan hukum nikah yang
hukum asalnya adalah mubah, namun dapat berubah menurut kondisi
seseorang yang tentu saja setiap orang berbeda kondisinya dengan yang
lainnya, bisa menjadi wajib, sunnah ataupun haram. Misalnya hadis yang
sangat terkenal :
“Wahai pemuda,siapa saja diantara kalian yang telah mampu maka
menikahlah, karena menikah itu bisa menahan pandangan dan memelihara
kemaluan. Tapi bila tidak mampu, maka hendaklah puasa, karena puasa itu
dapat membentengi”.
Begitu juga dengan poligami, apabila tidak bisa berlaku adil maka
seorang saja, karena yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim (zalika adna alla ta’ulu). Sebab jika syarat tidak
terpenuhi akan memunculkan beberapa problem seperti bertambahnya
tanggung jawab suami memelihara dua rumah tangga dan anak dalam jumlah
yang lebih besar, kesulitan dalam mengatasi masalah internal yang dipicu
rasa cemburu antara istri dllnya.
Karena itu kita dapati Rasulullah SAW melarang Ali bin abi Thalib untuk
memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah SAW. Sehingga Ali bin Abi
Thalim tidak melakukan poligami.
Tujuan dari suatu pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah, ketika Allah membolehkan poligami tentu
bertujuan untuk kemashlahatan manusia itu sendiri. Poligami ini
sebenarnya adalah penyelesaian masalah bukan pencipta masalah. Misalnya
seperti ketika istri tidak mampu melayani suami karena sakit yang
berkepanjangan baik sakit psikis ataupun psikis dll.
Rasulullah saw bermonogami (beristri dengan seorang wanita) selama
hampir dua puluh lima tahun, hal ini disebabkan Khadijah as sudah
mencukupi beliau dari lainnya dengan sikap,akhlak,kebaikan dan
kecerdasannya, bahkan beliau saw sering menyebut-nyebut kebaikannya dan
memujinya setelah dia meninggal dunia. Setelah itu Rasulullah saw
berpoligami selama hampir sepuluh tahun.
Adapun firman Allah : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung..” (An-Nisa’:
129), ini bukanlah dalil pengharaman poligami, namun lebih pada
kecendrungan hati yang tidak dapat ditunaikan manusia secara sempurna
yang dimaafkan oleh Allah dan ditolerir kekurangannya.
Sebagaimana Rasulullah saw telah berusaha membagi cintanya dan berusaha untuk berbuat adil, namun juga bersabda : Ya Allah, inilah pembagianku dengan apa yang aku miliki, janganlah Engkau cela diriku tentang sesuatu yang Engkau miliki dan tidak aku miliki (HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah).
Sebagaimana Rasulullah saw telah berusaha membagi cintanya dan berusaha untuk berbuat adil, namun juga bersabda : Ya Allah, inilah pembagianku dengan apa yang aku miliki, janganlah Engkau cela diriku tentang sesuatu yang Engkau miliki dan tidak aku miliki (HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah).
Jadi menurut saya permasalahan poligami ini bukan permasalahan para ahli fiqh/tafsir yang kebanyakan laki-laki, dan berasal dari bangsa Arab yang budayanya cenderung patriarkis. Namun lebih kepada implementasi di lapangan. Sebab syariat poligami ini adalah ketentuan syar’i yang hukumnya hanyalah mubah (boleh), bukan sebagai perintah atau anjuran yang harus dilaksanakan, yang bertujan untuk kemaslahatan manusia.
Selama ini yang membuat syariat ‘poligami’ buruk, bukanlah ajarannya, namun lebih kepada praktek pelaku poligami yang tidak bertanggung jawab, tidak memenuhi syarat keadilan dan kemampuan, lebih cenderung pada keinginan pemuasan hawa nafsu yang dibungkus dengan alasan ‘sunnah’ yang harus dilaksanakan dengan mengenyampingkan factor ketakutan dan ketakwaan pada Allah . Wallohu a’lam.
sumber: http://www.islamicgeo.com/2014/03/poligami-dalam-islam.html