Menyikapi Kekerasan Politik di Aceh
Oleh Syamsul Bahri - Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh
email syamsulbahri167@ymail.com
TAHUN 2014 ini banyak terjadi kisruh
politik di Aceh. Baik sebelum hari
pencoblosan tanggal 9 April 2014 dan
diprediksikan juga sesudahnya. Sebelum hari H memang telah diwarnai kisruh
poitik, ditandai dengan beragam kekerasan yang telah terjadi. Kekerasan atas
nama politik di Aceh pun sudah menjadi buah bibir masyarakat nasional dan bahan
penelitian demokrasi masyarakat international.
Tak dapat dipungkiri juga, pasca
pencoblosan nanti diprediksikan akan banyak kelompok yang menggugat hasil perhitungan
suara, mereka akan menggugat mulai dari segi ketidakadilan, prosedur pelaksana
maupun hal-hal berbau intimidasi. Pertentangan dan ketidakikhlasan menerima
hasil perhitungan suara diprediksikan akan lumayan banyak, karena dilihat sebelum
hari H saja beranekaragam kekerasan telah terjadi, lantas boleh jadi kekerasan berasal
dari hasil perhitungan suara juga akan mencuat ke permukaan. Fenomena ini sudah
menjadi lumrah terjadi di negeri kita ini, hampir saban masa kita membaca
berita pasca perhitungan suara ada saja kelompok yang tidak menerima hasil
dengan lapang dada.
Maka daripada itu, mengantisipasi
kekerasan dan gugatan-gugatan pun telah dan akan dilakukan, misalnya, Aceh
sudah santer terjadi kekerasan bahkan pembunuhan, di sini akan lebih banyak
aparat keamanan yang akan bertugas mengamankan prosesi pemilihan wakil rakyat
ini. Begitu juga Bawaslu Aceh berikut Komisi Independen Pemilih (KIP) Aceh kiranya
sudah mempersiapkan diri dengan matang akan sesuatu yang terjadi saat hari H
dan sesudahnya. Artinya ketelitian dan pemahaman yang benar sudah benar-benar
dikuasai.
Tipe
Kepentingan Politik
`Analisa sederhana kita mengatakan,
kalau politik sudah memanas di Aceh, yang sampai saat ini belum nampak
terminimalisir, para pelaku politik lengkap dengan atribut keanggotaanya dan
simpatisannya di lapangan akan terus melakukan aksi kekerasannya untuk
memperoleh kemenangannya. Mereka berasumsi, karena kekerasan yang terjadi belum
bisa diatasi, dan para pelakunya belum ditangkap, mereka akan berlaku
semena-mena lagi dengan nyaman dan rapi, bahkan akan lebih parah daripada saat
ini. Mereka berpikir kekerasan yang dilakukan akan mewakili kemenangan masa
mendatang. Karena sejarah telah mencatat, mereka yang kuat menindas, memeras
dan mengintimidasi, justru mereka yang akan leluasa menang.
Sedangkan kelompok yang merasa
didzalimi, katakanlah partai yang banyak kena imbas kekerasan politik, akan
memanfaatkan momentum ini sebagai ajang kampanye bahwa rival kuat politik itu yang
merupakan kelompok “keras” yang tidak pantas mewakili rakyat di kursi
DPRA/DPRK. Kekerasan yang telah terjadipun menjadi kalimat pamungkas
mengalahkan pihak lawan. Sayangnya, kelompok keras ini tidak menyadari bahwa
mereka sedang dijerat ke dalam lembah kehinaan dan akan menyebabkan kekalahan
pada pesta pencoblosan nanti.
Walaupun demikian, kita dapat
memprediksikan -- kalau tidak dikatakan menyimpulkan -- bahwa faktor politik
menjadi panas dikarenakan politik itu dijadikan sebagai wadah untuk berkuasa
bukan untuk memimpin. Memang politik itu identik dengan kekuasaan, karena
dengan berpolitiklah kekuasaan itu akan dicapai, dan itu sebabnya politik
menjadi panas. Tapi kalau politik itu
diperuntukkan demi kepentingan rakyat, kiranya tak ada yang panas,
“dingin-dingin saja”. Oleh karena itu, sebagai pemilih kita harus pandai dan
cermat dalam mengamati kekerasan ini sehingga kesan dan pesan itu akan menjadi
saksi tangan kita sewaktu mencontreng wajah-wajah calon wakil kita nanti.
Dua partai lokal (parlok) besar
yakni PA dan PNA yang sedang saling menyerang saat ini diperkirakan akan
mendominasi kursi parlemen di Aceh. Prediksi ini kita peroleh dari eksistensi
mereka cukup signifikan dalam perpolitikan di tanah rencong ini. Dan kedua
mereka berasal dari induk perjuangan yang sama, yaitu mayoritas mantan kombatan
GAM. Mereka juga sering bersiteru yang menyebabkan runyamnya perpollitikan di
Aceh.
Sebagai masyarakat awam kita mudah
saja mengamati pertikaian politik ini, tapi pada kesimpulan terakhir kita
menjadi tersendat ketika beranggapan bahwa otak pelaku kekerasan di Aceh
dilakoni oleh satu partai, misalnya PA atau PNA. Memang di lapangan mereka sering
“bernyanyi” sampai parang juga menjadi senjata andalan, tapi kedua mereka tak
bisa langsung dihakimi sebagai aktor perusak demokrasi di Aceh.
Sejak penembakan seorang Caleg PNA
di Aceh Selatan beberapa hari yang lalu, ada yang menyimpulkan bahwa ada
aktor lain di belakang layar
perpolitikan Aceh saat ini. Begitu juga peristiwa memilukan kemaren, tiga orang
tewas diberondong oleh OTK di saat minibus melaju melintasi perkuburan Cina
Desa Geulanggang Teungoh, Bireuen (Serambi Indonesia (1/4). Karena
pelaku itu berlabel OTK, Kelompok ini berada antara dua partai lokal ini, dan
mereka diindikasikan “ada yang pasang” untuk merusak tata kelola demokrasi di
Aceh. Pemain pembantu dalam laga film Politik Aceh mungkin boleh dilabelkan
kepada mereka. Dan mereka dengan leluasa mengambil peran, selain mengancam
demokrasi, toh masyarakat akan berpikir kekerasan ini diprakarsai dua Parlok
raksasa ini. Jadi mudah saja mereka meneteskan nila, susunya juga sudah ada
yang minum.
Mengapa ada orang beranggapan ada
kelompok lain yag mengambil peran merusak demokrasi Aceh? tentu jawaban ini
tidak pasti benar. Mungkin karena para pelaku penembakan belum di tangkap
polisi. Selain itu masih ada “mantan kombatan yang tidak senang dengan
perdamaian Aceh-RI”. Dimanakah kelompok terakhir ini ketika Aceh sedang
berpesta pemilihan Caleg? Hal-hal apapun boleh saja muncul ditengah
ketidakpastian politik di Aceh. Makanya rakyat harus cermat dengan tidak langsung
menghakimi bahwa kekerasan itu murni dilakukan dua partai berpengaruh ini.
Cara
mensikapi
Pertanyaannya adalah, bagaimana
masyarakat Aceh mensikapi kekerasan politik terkini supaya tidak terkecoh
sewaktu memberikan hak suaranya?
Aceh telah dikenal sebagai daerah
yang memiliki keagamaan kuat di propinsi di Indonesia. Masyarakat Aceh pun
disebut sebagai masyarakat yang taat beragama. Orangnya juga ramah-ramah, baik
hati, sopan santun, dan pandai bergaul. Yang
penting jangan disakiti. Kalau orang Aceh sudah disakiti, parang yang akan
bermain dan siap menumpahkan darah. Sampai ada slogan, bek meuayang-ayang
ngen ureung Aceh, atau istilah, ureung Aceh ngon masalah ateung blang
geutem mutak-tak, bek teupeuh-teupeh ngon ureung Aceh dan lain
sebagainya dengan kata-kata berbeda tapi bermakna sama. Intinya, masyarakat
Aceh akan memuliakan orang yang memuliakannya dan akan membenci bahkan
menyerang orang yang menyakitinya.
Pelabelan ini sudah masyhur
diketahui oleh setiap orang dewasa di negeri Serambi Mekkah ini. Sebagian kita
berbangga hati dengan motto ini, sebagian yang lain menjadikannya lahan
penelitian untuk dikuras lagi watak khas masyarakat seperti ini, serta sebagian
terakhir menganggap “cap watak” orang Aceh ini terkesan sebagai suatu cara
pembodohan dari pihak luar, agar masyarakat Aceh termakan dengan motto itu
sendiri dan sibuk (masygul) mempertahankan prinsip ini.
Namun, sayangnya
ketika dihadapkan pada kenyataan politik kekerasan yang terjadi, tidak sedikit
kita-kita akan terbuai dengan kebanggaan waktu singkat, keuntungan satu bulan
dan memalsukan hati nurani kita dengan tidak mencoblos atas dasar kebenaran dan
keinginan, tetapi karena takut dan khawatir akan terjadi sesuatu oleh karena tidak
mendukung satu kelompok. Perilaku inilah yang membuat Aceh tidak maju-maju, di
satu sisi mengutuk kekerasan, sisi lain meraup keuntungan dari kekerasan itu
sendiri.
Kalau bangga dengan kekhasan Aceh
kita ini, dengan hati bersih dan tenang kita akan memilih calon pemimpin kita
bukan berdasarkan uang, jabatan dan ketakutan. Tapi memang benar-benar sudah
mengenali calon yang dipilih atau mereka yang sudah teruji kelakuannya. Kalau
memang agama yang melandasi perilaku dan watak kita masyarakat Aceh sudah pasti
memilih calon-calon yang taat beragama, dan nampak perbuatan kebajikan yang
dilakukan mereka. Bukan hanya dilihat atas pajangan-pajangan gambar dengan
latar menyantuni anak yatim, mengasihi fakir miskin dan bergandengan poto
dengan pemuka-pemuka agama di daerah ini. Gambar dan poto ini sudah terkenal
sebagai metode kampanye, lantas kita yang terbuai dengan gambar kemudian
memilih mereka itu, ini bukanlah pemilih yang profesional dan cerdas.
Hati nurani kita sebagai masyarakat
pasti akan mengutuk kekerasan-kekerasan yang terjadi di Aceh. Tetapi sebagian
kita tetap memberontak menyalahkan hati ini, kita kerap tertipu dengan
slogan-slogan dan janji manis para kandidat sehingga tersilap memilih mereka.
Kita sering berkilah, mengapa Aceh masih dilema kekerasan, tetapi kita sendiri
tidak berusaha merubahnya. Jelas sekali, cara merubahnya dengan mengenali calonmu dan tentukan pilihanmu,
abaikan intimidasi dan kekerasan-kekerasan yang terjadi di belakang dari bilik
pencoblosanmu. Maka inilah pemilih yang cerdas, profesional dan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama. Semoga!