Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ghazali Abbas Adan: Syari’at Islam adalah Ikon Aceh


Ghazali Abbas Adan


Banda Aceh – Senator Aceh terpilih, Ghazali Abbas Adan mengatakan bahwa syari’at Islam yang diberlakukan di Aceh adalah ikonya Aceh, khususnya umat Islam.

Hal itu diungkapkan Ghazali saat berdiskusi dengan sejumlah aktivis seusai acara makan bersama dan syukuran atas lolosnya politisi legendaris Aceh ini ke Senayan di Kantor Dewan Dakwah Aceh, Rumpet, Banda Aceh (3/4/2014).

Dalam  Pemilu Legislatif yang diselenggarakan pada yang lalu. Hasil rekapitulasi Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Ghazali Abbas Adan menempati peringkat kedua sebagai periah suara terbanyak untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh setelah Fachrul Razi yang mendapatkan 345.915. Ghazali Abbas sebanyak 144.505, selanjutnya Sudirman 136.964 dan Rafly 134.509.

“Bagi saya, Syari’at Islam adalah ikon bagi masyarakat Aceh. Oleh sebab itu Syari’at Islam di Aceh harus dijaga secara transparan karena ditulis jelas dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA)”, ujar Ghazali yang juga merupakan mantan anggota DPR RI asal Aceh dari PPP ini.

Ghazali menambahkan, syari’at Islam selain kewajiban dan tuntutan akidah setiap muslim, agar apapun yang dia kerjakan sesuai dengan syari’at Islam, juga kehendak UU Negara.
“Maka tidak ada alasan bagi setiap Muslim di Aceh untu mengabaikan hal ini”, ujarnya lagi.

Oleh sebab itu, menurut Ghazali Abbas, agar syari’at Islam terwujud dan tegak di Aceh, ada beberapa elemen yang paling bertanggung jawab. Pertama, pribadi setiap Muslim untuk menjaga prilakunya agar tidak beresiko di akhirat, qu anfusakum wa ahlikum nara. Kedua, tanggung jawab kolektif masyarakat Aceh.

“Dalam masyarakat harus ada amar makruf nahi munkar. Kalau ada perbuatan munkar, masyarakat tidak boleh diam. Kalau ada pelanggaran terhadap SI, maka semua masyarakat harus peduli dan menunjukkan perlawanan”, kata Ghazali dengan penuh semangat.

Yang ketiga, menurut Ghazali, Syari’at Islam merupakan tanggung jawab pemerintah. Mereka bertugas memperkuat Syari’at Islam di Aceh karena ini adalah amanah UUPA. Baik eksekutif maupun legislative.

“Bentuk tanggung jawab antara lain, mereka sendiri harus mengerti Syari’at Islam. Kalau sendiri tidak paham, bagaimana mengajak org lain untuk mencintai SI di Aceh?”, kata Ghazali mempertanyakan.

Oleh sebab itu, menurut Ghazali, legislatif dan eksekutif harus mendorong yudikatif harus melakukan low inversment penegakan hukum”.

Dan agar anggota legislatif Aceh bisa menjalankan peran ini, maka proses menuju kursi legislatif juga harus sesuai dengan tuntutan Syari’at Islam.

“Tidak boleh dengan terror dan intimidasi, merusak antibut kampanye pesaing, memanipulasi suara, penggelambungan, penggerogotan suara, melakukan money politic, sogok menyogok, dan juga tidak boleh menunpah daerah manusia, apalagi membunuh agar punya kekuasaan. Baik eksekutif maupun legislative. Karena ini semua jelas bertentangan dengan Syari’at Islam” kata Ghazali menjelaskan.

Selain berbicara tentang syari’at Islam, dalam diskusi ini Ghazali Abbas juga berbicara tentang kewenangan DPD yang terbatas.

Menurut Ghazali, itu semua tergantung pada karakter seorang wakil rakyat. Anggota DPR sekalipun yang punya kewenangan besar tapi jika dia malas, tidak sadar fungsinya, tidak kreatif, maka tetap saja dia tidak akan bisa berbuat bagi masyarakat.

“Walaupun DPD punya kewenangan  yang terbatas, tapi jika kita punya kreatifitas dan gesit maka kita akan efektif dalam upaya memberi yang terbaik bagi masyarakat Aceh. Tidak ada masalah dengan kewenangan DPD yang terbatas. Saya akan berjuang keras untuk masyarakat Aceh”, ujar Ghazali,

Cuma sekarang paradigma dan tugas seorang senator Aceh di Jakarta akan berbeda antara dulu dan sekarang.

Kalau dulu kita berhadapan antara rakyat Aceh dengan pemerintah pusat dalam kontek keadilan, demokrasi dan persoalan human interest lainya.  Sementara saat ini, kita lebih fokus menjaga perdamaian.

“Jadi paradigma sekarang harus lebih fokus menjaga dan merawat perdamaian yang sudah ada, mewujudkan keadilan, dan yang terpenting adalah menegakkan syari’at Islam di Aceh”, ujar Ghazali.

Hak rakyat Aceh harus diperjuangkan
Dalam konteks persoalan Aceh, menurut Ghazali ada beberapa amanah UN tentang beberapa hak masyarakat Aceh dari pemeirntah pusat.

Pertama, masalah migas antara Aceh dengan pusat. Pembagian ini termasuk dalam proses eksplorasi, pengelohan, ouput dan berapa pembagian. Masyarakat Aceh harus tahu sejak proses eksplorasi sampai dengan hasil bersih.
“Setelah itu baru dibagi antara pusat dan Aceh. Aceh harus mendapatkan 70 persen dan pusat 30”, kata Ghazali.

Menurut Ghazali, sejak ia di DPR dulu saya sudah meneriakkan ini, yaitu agar Aceh mendapatkan haknya dalam sektor migas. Dan ini sudah ia tulis dalam bukunya “Konsistensi Ghazali Abbas Adan untuk Hak Azasi Manusia, Demokrasi, dan “Kemerdekaan” Aceh”.

Yang kedua,  menyangkut dengan pelabuhan bebas (free port) Sabang yang sampai saat ini belum jelas nasibnya dimana yang terjadi malah perannya Pelabuhan Sabang jutsru lebih rendah ketimbang pelabuhan lain yang bukan free port.

“Jangan dalam UU sudah ditulis tapi ketika implementasi tidak jalan”, ujar Ghazali panjang lebar.

Saat kami tanyakan mengapa implementasi UU itu tidak jalan, menurut Ghazali itu disebabkan karena pengelola Free Port  Sabang di Aceh tidak professional.
“Asal sudah dapat gaji untuk mereka ya mereka tidak berfikir untuk kemajuan free port Sabang, kata Ghazali lagi menambahkan.

Yang ketiga, menurut Ghazali, yang akan diperjuangkannya sebagai anggota DPD adalah termasuk hak-hak para kombatan yang mereka dijanjikan hak tanah oleh Negara, tapi sampai sekarang belum terwujud karena tidak adanya komitmen dari pemerintah pusat. Sementara Pemda Aceh sendiri juga sibuk dengan urusan sendiri seperti masalah yang berkaitan dengan simbol dan persoalan yang tidak bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat banyak.

Demikian pula kompensasi bagi korban konflik, kata Ghazali. Selama ini tidak ada perhatian dan komitmen dari pemerintah pusat dan juga tidak perhatian dari Pemda.

Selain itu, dalam statusnya sebagai anggota DPD terpilih, Ghazali katanya juga ingin melakukan upaya penegrian status Universitas  Jabal Ghafur, Sigli sebagai Univ Swasta yang paling tua di Aceh tapi sampai saat ini masih meu raeh-raeh atau tertatih-tatih.

Ini di antara tugas besar saya. Sementara yang lain kita akan bekerja sesuai dengan dinamika masyarakat Aceh. Setiap bulan nanti ada program reses DPD mengunjungi daerah pemilihan. Disitu kita akan bertemu dan bersilaturrahmi dengan berbagai macam elemen masyarakat, mendengar suara dan aspirasi mereka. Dan itu akan menjadi bahan dalam rapat-rapat mitra kerja di tingkat pusat.

“Jadi, hak Aceh dari pemerintah pusat itu ada yang tertuang dalam UU dan ada hak yang dinamins sesuai dengan perkembangan zaman”, pungkas Ghazali.

Terakhir, dalam diskusi ini, Ghazali menyampaikan pesan untuk Generasi muda Aceh. Ia meminta agar generasi muda Aceh harus sadar jati dirinya sebagai generasi muda Islam yang harus selalu berpedoman pada Syari’at Islam. Inilah modal utama untuk menjaga harkat, martabat dan marwah Aceh di masa yang akan datang.

“Yakinlah dengan Islam, kita akan tetap memiliki marwah, kemuliaan dan harga diri sekaligus dapat menyelamatkan kita dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Insya Allah”, pungkas Ghazali. (teuku zulkhairi)