Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar dari Penjual (Renungan untuk Pendidikan Aceh)


Ibnu Hajar
Oleh Ibnu Hajar Ibrahim
 
“Persentase kelulusan siswa SMA sederajat di Aceh pada ujian nasional (UN) tahun ini meningkat dibanding tahun lalu. Tapi, jumlah ketidaklulusan untuk SMA/MA, Aceh paling banyak secara nasional yaitu 785 orang”. Itulah berita yang dilansir Harian Serambi Indonesia edisi 20/5.

Menanggapi kasus tersebut, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hasbi Abdullah memaparkan penyebab mutu pendidikan di Aceh yang masih rendah mengikuti tingginya tingkat ketidaklulusan siswa dalam UN di Kota Serambi Mekah ini (http://kampus.okezone.com 21/5).

Menurutnya, ada dua masalah utama yang harus dicermati terkait pengembangan mutu pendidikan siswa di Aceh. Salah satu masalah tersebut adalah masih banyak guru yang dianggapnya belum profesional dan kompeten dalam mendidik siswa (http://kampus.okezone.com 21/5).

Belajar dari Penjual
Profesional merupakan dambaan semua orang tak terkecuali guru. Bila ingin profesional, setiap guru sebenarnya dapat belajar dari apapun, misalnya penjual. Uraian berikut akan menjelaskan sekilas tentang apa yang dilakukan penjual dan dapat dicontoh oleh setiap guru.

Sebelum menjual sesuatu, calon penjual yang sukses selalu menganalisis kebutuhan dan permasalahan masyarakat lalu berpikir untuk menyelesaikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Bila ingin sukses, guru juga harus melakukan hal yang sama. Guru harus memahami kepribadian, bakat, kelebihan dan kekurangan siswa. Guru juga harus menganalisis kebutuhan siswa lalu berusaha memenuhinya.

Penjual selalu memiliki dan menyiapkan segala sesuatu untuk memenuhi berbagai kebutuhan pembeli dan calon pemebelinya. Hal yang sama juga harus dilakukan guru. Guru harus memiliki dan menguasai berbagai hal yang dibutuhkan atau menunjang pemenuhan kebutuhan siswa. Berbagai hal dimaksud meliputi pengetahuan atau skill yang dapat diberikan atau diterapkan tatkala berinteraksi dengan siswa baik di dalam maupun di luar kelas.

Sebagai penjual, setiap orang juga harus menjawab berbagai pertanyaan pembeli dan calon membeli dengan baik dan menyenangkan. Guru juga harus bertindak serupa. Guru harus menjawab pertanyaan siswa dengan baik sesuai dengan keinginan siswa. Bila perlu guru harus membangkitkan minat siswa untuk mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin.

Bila seseorang menanyakan sesuatu yang ternyata tidak tersedia di tempat penjualan, penjual yang baik tentu saja tidak akan marah. Guru yang baik juga harus melakukan hal yang sama. Guru tidak boleh marah walaupun belum mampu menjawab pertanyaan siswa. Guru juga tidak boleh menghalangi siswa untuk bertanya. Menghalangi siswa untuk bertanya sebenarnya justru membuat guru merasa aman dengan ketidaktahuannya sekaligus membodohi diri sendiri dan para siswanya.

Pedagang dan pembeli (sumber: google)
Penjual yang baik juga tidak marah walau orang tidak jadi membeli. Banyak orang berkata bahwa jika engkau lekas marah atau sulit tersenyum, jangan jadi penjual. Penjual yang baik harus sabar melayani pembeli dan calon pembeli. Penjual bahkan harus mampu menarik perhatian para pembeli dan calon pembeli sehingga mereka nyaman bahkan berulangkali ingin kembali ke tempat perbelanjaan tersebut.

Hal yang sama seharusnya juga dilakukan guru. Guru tidak boleh lekas marah walaupun siswa enggan belajar. Adalah tugas guru untuk membuat mereka belajar dan mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Guru harus mampu membangkitkan motivasi siswa sehingga mereka mau belajar dengan serius walau tanpa didampingi guru sekalipun.

Penjual yang baik tidak memaksa pembeli untuk membeli barang tertentu. Ia hanya memfasilitasi pembeli untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Agar kebutuhan siswa terpenuhi, guru juga perlu memfasilitasi siswa untuk memenuhi kebutuhan dan mecapai tujuan atau cita-citanya.

Memfasilitasi bukanlah mendikte apalagi memaksa siswa untuk mengikuti sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Tugas guru sebenarnya hanyalah mengontrol dan mengarahkan mereka agar tetap berjalan pada jalan yang benar. Sepanjang hal tersebut telah tercipta, guru dapat membiarkan siswa terus bergerak walau berbeda dengan apa yang dimiliki atau diinginkan guru.

Penjual tidak selamanya memiliki apa yang ia jual. Sebagian dari barang yang ia pajang adalah milik orang lain atau ia beli dengan uang orang lain. Ia hanya berperan sebagai fasilitator. Begitulah guru, terkadang ia tidak harus menguasai segala hal yang dibutuhkan siswa. Bila guru mampu membuat para siswa belajar dan mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan, itu semua sebenarnya sudah lebih dari cukup. Karena itu, tugas guru sebenarnya adalah membuat siswa belajar dan bukan mengajar. Syukur kalau guru mampu melakukan keduanya.

Seorang penjual yang baik juga harus mendengar keluhan, kritik dan saran dari pembeli. Guru yang baik juga harus melakukan tindakan serupa. Setiap guru harus mengevalusi dirinya sendiri dengan mendengarkan dan bila perlu meminta komentar, kritik dan saran dari berbagai pihak termasuk siswanya.

Jangan Jadi Penjual
Di bagian akhir tulisan ini, penulis merasa perlu menyampaikan bahwa guru tidak boleh menjadi  penjual. Para penjual umumnya adalah mereka yang melakukan segala hal demi dan atas dasar mendapatkan keuntungan. Mereka melayani dan memenuhi kebutuhan pembeli dan calon pembeli hanya untuk mendapatkan keuntungan.

Guru harus ikhlas dalam mendidik para siswanya. Lembaga pendidikan bukanlah pabrik atau lahan industri dan guru bukanlah karyawan, buruh pabrik atau penjual yang hanya bekerja demi mengejar keuntungan.

Sujono Samba (2007:45) mengatakan, “Kerja guru bukan kerja mekanik. Yang dihadapi adalah anak yang mempunyai potensi berbeda, unik, dan selalu dinamis, maka kesabaran dan kemampuan memotivasi siswa untuk mengembangkan potensinya menjadi pekerjaan utama sang guru”.

Akhir-akhir ini begitu banyak guru dan dosen beralih fungsi menjadi “buruh pendidikan”. Mereka hanya mengajar sekedar melaksanakan kewajiban dan mendapatkan honor. Lembaga pendidikan juga melakukan hal yang sama. Mereka tak ubahnya seperti pabrik yang hanya memproduksi lulusan lembaga pendidikan dengan guru dan dosen sebagai tenaga kerjanya.

Sujono Samba (2007:27) mengatakan, “Sekolah telah berubah menjadi sebuah industri atau perusahaan jasa, bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan dan pembangunan kesadaran kritis. Keadaan ini telah mendorong munculnya fenomena praktik jual beli gelar, jual beli ijazah, hingga jual beli nilai dengan berbagai cara”.

Setelah para pelajar menyelesaikan berbagai proses di lembaga “industri pendidikan” tersebut, jangan tanya kemana mereka akan melangkah. Mereka hanya mampu bingung dan terkatung-katung dalam pergerakan waktu yang terus berlalu. Masalah selanjutnya berlanjut pada kurangnya kepercayaan terhadap pentingnya pendidikan, meningkatnya pengangguran, korupsi bahkan kriminalitas. Inilah sebagian dari “hasil” pendidikan yang dijalankan oleh mereka yang telah berubah fungsi menjadi penjual.

Agar professional, guru dapat mencontoh penjual namun jangan pernah menjadi penjual. Guru dapat mencontoh penjual terkait pemenuhan kebutuhan para pembeli dalam hal positif. Guru tidak boleh menjadi penjual yang hanya bekerja untuk mendapatkan keuntungan.




Penulis adalah mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Inggris Unsyiah, Banda Aceh