Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Strategi Ketahanan Pangan dalam al-Qur’an


T Surya Darma
Oleh H. T. Surya Darma, SE, Ak, M.Soc, Sc 
 
Kebutuhan pangan pada masa mendatang akan meningkat tajam. Hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi Indonesia dengan mewujudkan ketahanan pangan. Kita ingin pangan di negara kita cukup, bahkan lebih. Kita bisa berswasembada dan memiliki ketahanan pangan yang kuat." (Presiden SBY, Sambutan pada pembukaan Pekan Nasional XIV Kontak Tani-Nelayan Andalan (KTNA), Malang, 7 Juni 2014)
Ada hal yang menarik didiskusikan tentang pernyataan SBY tersebut. Pertama, dapatkah swasembada pangan itu terwujud? Kedua, bagaimana caranya?
Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, saya teringat kisah Nabi Yusuf A.S. yang diceritakan dalam Al Qur’an tentang perencanaan strategis untuk membangun ketahanan pangan yang kuat (QS.Yusuf, 12:47-49). 
 Menurut Yusuf Al-Qardhawi (1997:194) konteks ayat tersebut menceritakan bagaimana Nabi Yusuf A.S. menyusun perencanaan strategis disektor pertanian untuk menjamin ketahanan pangan pada kondisi yang telah diprediksi akan mangalami kekurangan sumber makanan pokok (gandum), akibat musim kemarau berkepanjangan (paceklik) selama tujuh tahun berturut-turut.
Atas kedudukan yang diamanahkannya sebagai kepala pemerintahan negeri Mesir saat itu, sejarah membuktikan bahwa Nabi Yusuf A.S. berhasil menciptakan stabilitas pangan negeri Mesir pada masa paceklik. Bahkan ketahanan pangan yang kuat menjadikani Mesir sebagai pengekspor gandum untuk negeri-negeri perserikatan Mesir seperti Mesopotamia, Syria dan Kan'an, ketika negeri-negeri tersebut mengalami musim kemarau yang sama (Hamka, 2003:3684). Hal ini sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an:
“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)nya. Maka dia (Yusuf) mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya”. (Yusuf, 12:58)
Di antara strategi Nabi Yusuf A.S. untuk mencapai stabilitas pangan adalah meningkatkan produktivitas pertanian gandum sebagai kebutuhan pokok di satu sisi dan membangun kesadaran penduduk Mesir agar memiliki prinsip hidup sederhana (hemat) dalam pola konsumsi pada sisi yang lain.
Meningkatkan Produktivitas Pertanian Gandum Dimasa Subur
Strategi Nabi Yusuf A.S. dalam meningkatkan produktivitas pertanian adalah dengan mengarahkan para petani dan seluruh penduduk negeri Mesir untuk bercocok tanam dengan sungguh-sungguh. Arahan ini dalam rangka mengoptimalkan masa produktif untuk bertanam yang ditandai dengan musim hujan selama tujuh tahun berturut-turut sebagai upaya persiapan menghadapi musim kemarau tujuh tahun berikutnya (QS.Yusuf, 12:47-48). 
Jenis tanaman yang diprioritaskan adalah tanaman gandum guna menghindari kelaparan disebabkan kekurangan sumber makanan pokok di masa paceklik (QS.Yusuf, 12:48). Sedangkan untuk jenis tanaman lain seperti kismis, zaitun, anggur, tebu, kurma dan lain sebagainya yang juga sangat berpotensi untuk tumbuh pada musim hujan, Nabi Yusuf a.s. mengarahkannya untuk ditanam pada tahun-tahun subur berikutnya setelah musim kemarau berlalu (QS.Yusuf, 12:49).
Untuk diketahui bahwa Mesir merupakan satu diantara negeri di dunia ini yang penduduknya menjadikan gandum sebagai makanan pokok. Gandum merupakan makanan yang murah harganya, namun tinggi nilai kalorinya. Begitujuga gandum merupakan tanaman biji-bijian yang sangat besar kandungan karbohidrat dan proteinnya, namun sedikit mengandung lemak (Jamal al-din Mahran dan Abd al-Aim Hafna Mubsir, 2005:400-401).
Begitupun disebutkan di dalam buku yang dikeluarkan oleh Wheat Flour Institute (1976), bahwa selama lebih dari 10,000 tahun, gandum dan produk turunannya merupakan tanaman pertanian yang membawa kesejahteraan bagi penduduk Mesir yang membebaskan mereka dari belenggu kehidupan berpindah-pindah. Lebih lanjut dalam buku tersebut dijelaskan bahwa peradaban dalam sektor penanaman gandum terbentuk sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, karena penanaman gandum berawal sebelum manusia belajar merekam sesuatu. Setelah beberapa abad, manusia mulai menyadari bahwa gandum dapat disimpan untuk memenuhi keperluan makanan selama musim dingin. Bahkan diketahui kemudian bahwa benih gandum boleh ditanam ketika musim hujan atau musim tanam tiba karena gandum sangat baik bila ditanam pada tempat-tempat yang tanahnya subur dan sering hujan.
Langkah awal dari strategi yang disusun Nabi Yusuf a.s. di atas adalah dengan melakukan penelitian dan pemetaan potensi tanam bagi tanaman gandum di seluruh wilayah Mesir. Langkah berikutnya adalah mengarahkan penduduk setempat untuk memperluas lahan pertanian serta menjaga dan memelihara hasil panen pertaniannya dengan baik. Sebagai langkah ketiga yaitu pada saat yang sama penduduk Mesir diperintahkan untuk membangun dan mempersiapkan gudang-gudang penyimpanan gandum dari hasil panen yang diperoleh (Muhammad Ibn Ahmad al-Qurtubi, 2008:497).
Secara tekhnis Nabi Yusuf a.s. juga memperkenalkan metode penyimpanan hasil panen dengan mengarahkan agar biji gandum yang telah dipanen tetap disimpan dengan beserta tangkai-tangkainya. Ketika ingin dikonsumsi, maka penduduk Mesir baru boleh mengupasnya dari tangkainya dan itupun diperkenankan hanya sebagian saja sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan sebagian lainnya akan digunakan kembali sebagai benih yang akan ditanam ketika musim kemarau yang berkepanjangan telah berlalu (QS. Yusuf, 12:47). Perihal maksud biji yang sudah dipanen tetap disimpan pada tangkainya, para mufassirin sepakat menjelaskan ialah agar gandum tersebut bisa disimpan untuk masa yang lama dan terhindar dari kebusukan sehingga bisa bertahan dan tidak rusak oleh pengaruh udara atau rusak dimakan hama dan ulat.
Metode penyimpanan seperti ini merupakan cara terbaik untuk menyimpan biji hasil tanaman yang bertangkai agar tetap terpeliharanya hasil panen tersebut dan sekaligus melestarikan benih untuk ditanam kembali (Abd al-Majid Balabid). Bahkan para ilmuan masa kini sangat menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan berkualitas yang terbuat dari tepung gandum yang mana biji gandum tersebut tersimpan tetap dalam tangkai ketika telah dipanen (Muhammad Mutawalli Sharawi, 2007:83).
Pola Hidup Hemat Dalam Konsumsi Makanan
Strategi kedua yang dilakukan Nabi Yusuf a.s. adalah membudayakan hidup hemat dalam mengkonsumsi. Langkah teknisnya berupa arahan kepada seluruh penduduk Mesir tanpa kecuali, termasuk Raja beserta aparatur pemerintahannya untuk mengkonsumsi makanan pokok (gandum) hanya sekali dalam sehari. Padahal kebiasaan konsumsi makanan pokok adalah tiga kali makan dalam sehari.
Abu al-Fida’ Ismail Ibn Kathir (2006:10) dan Muhammad Ibn Ahmad al-Qurtubi (2008:500) dalam tafsirnya juga menjelaskan keadaan di mana Nabi Yusuf a.s. tidak pernah makan sampai kenyang. Bahkan beliau bersama Raja Mesir serta seluruh pasukannya juga mesti mengikuti kebijakan makan hanya satu kali dalam sehari.
Berdasarkan dua hal yang menjadi kebijakan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan Nabi Yusuf a.s. membatasi frekuensi konsumsi makanan menjadi sekali makan dalam sehari adalah untuk mengatur keseimbangan pola konsumsi gandum dengan tiga fase pembagian musim, yaitu fase musim hujan, fase musim kemarau dan fase musim hujan berikutnya setelah kemarau. Sehingga anjuran agar konsumsi gandum sekali dalam sehari pada fase musim penghujan pertama dapat menyisakan jatah dua kali makan yang lain sebagai sumber makanan yang akan dikonsumsi untuk dua fase musim berikutnya.
Kebijakan lainnya yang diberlakukan oleh Nabi Yusuf a.s.dalam mengatur keseimbangan dan ketersediaan pangan yang cukup, adalah kebijakan yang hanya membolehkan penduduk Mesir membeli gandum dari kerajaan dengan menentukan ukuran berat untuk satu orang selama satu tahun sebanyak seberat beban unta (QS.Yusuf, 12:65,72).
Melalui sistem pembagian yang telah diatur tersebut, memperlihatkan bahwa Mesir merupakan negara yang sudah memiliki peradaban dalam memperkenalkan sistem pengaturan pembagian makanan dalam suatu undang-undang seperti sistem “Kartu Ransum” (Ahmad Bahjat, 2008:193). Hal ini dilakukan karena pada masa sebelumnya Nabi Yusuf a.s. telah membuat perbandingan antara tingkat kebutuhan masyarakat terhadap gandum dengan jangka waktu berlakunya musim kemarau yang akan dialami negeri Mesir dan sekitarnya (Abu Bakr Jabir al-Jazairi, 2008:837). Sehingga, tidak dibenarkan seseorang yang memiliki banyak uang bisa membeli makanan sesuai keinginan dan kemampuannya sendiri.
Dengan demikian, terlihat secara jelas bahwa apa yang telah diterapkan oleh Nabi Yusuf a.s. dan Raja Mesir tersebut memberikan pembelajaran tentang pelaksanaan pola hidup berhemat secara konsisten. Hidup hemat bukan saja berlaku pada musim paceklik, namun juga berlaku pada musim subur dengan cara mengkonsumsi makanan pokok sekali dalam sehari. Begitujuga bahwa tindakan untuk pola hidup hemat tidak saja berlaku untuk rakyat biasa semata, namun berlaku juga bagi pimpinan dan aparatur pemerintahan lainnya.

Kesimpulan
Berdasarkan dari realitas yang telah dipaparkan di atas menjadi kesimpulan bahwa keterpaduan antara tindakan optimalisasi hasil produksi gandum sebagai kebutuhan pokok dengan tindakan membangun kesadaran penduduk Mesir agar memiliki prinsip hidup sederhana (hemat) dalam pola konsumsi, mampu menciptakan stabilitas pangan. Dalam hal ini terlihat pada kisah Nabi Yusuf a.s. yang mampu menjamin persediaan bahan makanan pokok selama tiga fase atau selama empat belas tahun.
Dengan kata lain, Nabi Yusuf a.s. telah mengajarkan satu strategi mencapai ketahanan pangan yang kuat dengan lebih mengandalkan dan mengoptimalisasi sumberdaya yang dimiliki negeri sendiri. Beliau tidak menggantungkan harapannya kepada negara-negara lain. Bahkan sebaliknya Mesir menjadi pusat kemakmuran dan bandar dunia pertama yang bisa menolong negara-negara di sekitarnya (Ahmad Bahjat, 2008:193). Akhirnya, dengan hasil ini semua Nabi Yusuf a.s. telah menjadikan negeri Mesir menjadi suatu negeri yang bebas dan bermaruah, bukan sebaliknya bergantung kepada negara lain.
Atas dasar realitas yang demikian, juga menunjukkan bahwa peranan dan kuasa Raja (kepala negara atau kepala pemerintahan) sangatlah menentukan bagi penyusunan program dan kegiatan-kegiatan untuk mencapai objektif yang ditetapkan. Sehingga akhirnya kepala negara atau kepala pemerintahan di negeri ini mampu merumuskan berbagai kebijakan ketahanan pangan secara baik.
Oleh karena itu, merupakan satu hal yang tidak mustahil apabila kebijakan yang telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf a.s. tersebut dapat juga diterapkan di masa sekarang dan di negeri manapun. Terutamanya di Indonesia secara umum dan Aceh secara khusus sebagaimana amanat UU Pangan No. 18/2012 yang menyebutkan bahwa definisi ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Dengan demikian tidaklah keliru apabila di negara yang sukses melakukan kemandirian pembangunannya, sedikit banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam bidang ketahanan pangan.

H. T. Surya Darma, SE, Ak, M.Soc, Sc adalah alumnus Magister Islamic Development Management, Social Sciences, USM, Penang Malaysia. Direktur Yayasan Pahala Aceh dan Tenaga Ahli Anggota Komisi VIII DPR-RI