Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beda Organisasi, Ulama Aceh Tetap Bersatu



Dr Muntasir A. Kadir,  MA, Pakar Politik Islam dari Unimal

Banda Aceh - Berbicara tentang kiprah politik ulama Aceh selalu menarik. Bukan saja karena kiprah politik ulama Aceh yang sangat dinamis dalam sejarahnya, tapi juga pandangan-pandangan politiknya mampu mempengaruhi banyak kebijakan dalam mewujudkan perubahan. 

Namun demikian, tidak sedikit juga yang mengkritisi dan antipati pada ulama dengan alas an, misalnya ulama sudah terpecah karena munculnya banyak organisasi keulamaan, tidak netral dan alasan-alasan lainnya sehingga bergaining politik ulama di Aceh dewasa ini dianggap agak lemah.

Terkait dengan dinamika tersebut, pengamat gerakan ulama Aceh, Dr Muntasir A. Kadir, MA saat dihubungi Suara Darussalam  baru-baru ini mengatakan bahwa ulama memang tidak boleh netral.

Kalau netral justeru berbahaya”, ujar Doktor lulusan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menulis disertasi tentang Dinamika Peranan Politik Ulama di Aceh” .

Menurutnya, netral itu artinya “hilang peran”. Coba baca teori "Neutralization" yang ditulis oleh Tim Kell. Jadi ulama itu harus ada pilihan untuk berperan menciptakan kondisi kehidupan sosial dan keberagamaan masyarakat Aceh untuk mencapai Ridha Allah.

“Cuma masalahnya sekarang ini kata netral itu menjadi alat bagi kelompok-kelompok yang menginginkan ulama duduk manis menonton segala yang mereka lakukan menurutapa yang diinginkan. Nggak boleh, ulama itu harus ada pilihan untuk menentukan mana yang baik dan tidak baik”, ujar dosen pemikiran Politik  Islam Universitas Malikussaleh yang juga Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah ini.

Muntasir menambahkan, bahwa mayoritas masyarakat Aceh sangat menghargai ulama dari dulu sampai sekarang  karena memang mereka bisa melihat kearifan ulama dalam mengeluarkan pendapat.

“Tentunya tidak 100 persen  masyarakat kan?. Ada  sebagian kecil yang tidak suka terhadap ulama, dan itu bukan hanya terjadi sekarang. Itu sudah menjadi produk masa lalu”, ujar dia lagi. 

Menurut Muntasir, masa Rasulullah pun ada kelompok-kelompok yang menentang perjuangan beliau. Sikap dan fikiran tersebut kan terwarisi sampai sekarang ini. 

“Saya teringat sekali pada awal-awal reformasi, oleh karena provokasi-provokasi politik pada masa itu ada sebahagian masyarakat yang menghujat para ulama. Tapi akhirnya setelah mereka sadar kan semua mereka datang minta maaf pada ulama-ulama yang dihujatnya”, tambah Muntasir menjelaskan.

Meskipun di Aceh ada beberapa organisasi ulama seperti HUDA, MUNA, MPU, Inshafuddin, tapi ini bukan berarti ulama Aceh tidak bersatu

“Bagi saya sejauh kehadiran organisasi itu tidak untuk untuk saling berkonflik antara satu dengan yang lain, itu wajar-wajar saja. Malah dalam beberapa tahun terakhir saya melihat kehadiran organisasi-organisasi ulama yang berbeda tersebut adalah untuk saling melengkapi. Dalam banyak hal organisasi-organisasi ini bersatu padu dalam memperjuangkan berbagai isu yang muncul di Aceh sekarang ini”, kata dia.

Muntasir juga menjelaskan, bahwa apa yang dilakukan oleh ulama sekarang adalah meneruskan apa yang telah dilakukan oleh ulama masa lalu. Mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat, menjadi qadhi dalam menyelesaikan persoalan dan persengketaan, menjadi penasehat sultan atau penguasa. Jadi intinya mereka menjalankan fungsi pendidikan, fungsi sosial dan juga fungsi politik. 

Ulama harus perkuat kadersisasi politik
Terkait dengan kekuatan dan bergaining politik ulama Aceh, diakui Muntasir memang agak lemah. Walaupun secara konstitusi dan kelembagaan ada lembaga MPU untuk berperan dalam bidang itu. Namun,  dalam pelaksanaannya itu tidak ada.

“Setahu saya tidak ada nasehat dan fatwa MPU yang didengar secara baik oleh pemerintah sekarang. Padahal, sebenarnya ulama memiliki modalitas politik yang besar. Mereka punya massa dan pengikut yang menyebar luas dalam masyarakat. Cuma sementara ini ulama belum mampu menjadikan ini sebagai bergaining untuk mengusai kuasa politik”, ujarnya.

Menurut Muntasir, ulama sebenarnya punya modaliti politik yang besar. Dan mereka pun memiliki kepekaan untuk terlibat dalam berbagai isu dan agenda politik yang terjadi di Aceh. Ini terlihat misalnya pada masa-masa reformasi dan pasca reformasi. Ulama terlibat aktif dalam penyelesaian konflik antara RI dengan GAM, perjuangan referendum, kongres rakyat aceh (KRA), agenda Syariat Islam dan berbagai isu lainnya.

“Tapi peran mereka kan lazimnya sangat kuat pada awal-awal setiap isu itu muncul dan berkembang dalam masyarakat. Kemudian peran ulama ini hilang begitu saja seperti terbawa arus”, kata dia lagi.

Jadi, kata Muntasir, ilustrasinya seperti “Piramida Terbalik”. Dimana pada awalnya memiliki ruang peran yang sangat luas dan pada hujungnya mengkerucut dan menghilang. Tententunya banyak faktor yang menyebabkan fenomena itu, baik itu faktor internal yang merupakan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri ulama, maupun faktor eksternal berupa hambatan dan tantangan yang muncul dari luar. Melihat dari faktor internal dan ekternal itu yang mungkin cukup panjang untuk kita jelaskan di sini.

“Saya menyarakan kepada ulama kita untuk memperkuat pendidikan dan kaderisasi politik”, pungkasnya. [TZ/Suara Darussalam]