Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bank Aceh Syari’ah, “Spin off atau Konversi”?


Dr M Yasir Yusuf, MA
Oleh: Muhammad Yasir Yusuf
(Dosen Fak. Syariah dan Ekonomi Islam, UIN Ar Raniry)

Pembentukan Raqan (Rancangan Qanun) PT Bank Aceh Syariah menjadi polemik yang mengundang banyak pertanyaan. Kenapa tiba-tiba Pemerintah Aceh menarik kembali raqan PT Bank Aceh Syariah yang saat ini sedang dibahas oleh komisi C DPRA. Padahal, Raqan ini diusulkan oleh Pemerintah Aceh dan telah dibuat naskah akademik serta FGD (Focus Group Discussion) bebarapa kali. Apakah ada ketakutan sebagaimana pernyataan Ketua Komisi C, Ermiadi mensinyalir bahwa ada sejumlah direksi Bank Aceh ketakutan kalau unit syariah yang ada sekarang ini diubah statusnya menjadi Bank Aceh Syariah (Serambi, 4 September 2014). 

Apakah ketakutan ini dilandasi oleh hitungan bahwa jika Bank Aceh Syariah berdiri sendiri akan menjadi saingan Bank Aceh Konvensional atau malah mungkin akan membuat Bank Aceh Konvensional rugi?. Kalau mengutip pernyataan Wakil Ketua DPRA, Muhammad Tanwir Mahdi bahwa qanun Bank Aceh Syariah adalah upaya DPRA untuk memberikan kado terakhir bagi Aceh sebelum masa jabatan DPRA sekarang ini berakhir. Dan qanun ini menjadi tuntutan dari masyarakat Aceh yang ingin melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam semua bidang termasuk muamalah (perbankan).

Pembentukan PT Bank Aceh Syariah sebenarnya bukanlah wacana yang baru muncul. Jauh sebelum desakan ulama dan masyarakat muncul, manajemen Bank Aceh sudah memikirkan rencana ini. Hal ini bisa dibaca dalam Rencana Bisnis Bank Aceh (RBB) bahwa spin off (pemisahan unit usaha syariah) ditargetkan tahun 2016. Di dalam RBB pembentukan Bank Aceh Syariah ditempuh melalui jalan spin off tidak melalui konversi. Karena Bank Aceh dimiliki oleh Pemerintah Aceh maka diperlukan adanya qanun Pendirian PT Bank Aceh Syariah sebagai landasan yuridis formal kelahiran PT Bank Aceh Syariah.

Spin off atau Konversi
Pembentukan PT Bank Aceh Syariah bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui pemisahan (spin off) dan kedua melalui konversi.
Pemisahan (Spin Off) dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Perbankan Syariah disebutkan bahwa, “Pemisahan adalah pemisahan usaha dari 1 (satu) Bank menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU Perbankan Syariah, badan usaha baru tersebut harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Ini bermakna bahwa pemisahan unit usaha syariah Bank Aceh pada dari Bank Aceh konvensional melahirkan satu bentuk badan usaha baru dalam bentuk Perseroan Terbatas yaitu PT Bank Aceh Syariah.
Undang-undang Perbankan Syariah merupakan landasan hukum utama yang mengatur pemisahan Unit Usaha Syariah pada Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah. Pasal 68 menyebutkan, dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki Unit Usaha Syariah yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan Unit Usaha Syariah tersebut menjadi Bank Umum Syariah. UU Perbankan Syariah sendiri mulai berlaku tanggal 16 Juli 2008, sehingga Bank Umum Konvensional wajib melakukan pemisahan Unit Usaha Syariah tersebut menjadi Bank Umum Syariah paling lambat tahun 2023.
Pendirian Unit Usaha Syariah (UUS) pada Bank Umum Konvensional (BUK) bersifat sementara untuk mempersiapkan pembentukan Bank Umum Syariah (BUS). Karena itu, PT Bank Aceh yang memiliki Unit Usaha Syariah harus memikirkan rencana pemisahan (spin-off ). Bank Indonesia menetapkan paling lambat tahun 2023, Bank Umum Konvesional harus memisahkan diri dari Unit Usaha Syariah-nya (Pasal 68 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS) juncto Pasal 40 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (PBI 11/2009).
Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pemisahan itu dilakukan sebelum tahun 2023, walaupun nilai aset Unit Usaha Syariah belum mencapai 50 persen dari total nilai aset Bank Umum Konvensional. Dalam PBI 11/2009 disebutkan modal disetor Bank Umum Syariah hasil pemisahan paling sedikit sebesar Rp 500 miliar. Modal tersebut kemudian wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling sedikit Rp 1 triliun dan harus sudah dipenuhi paling lambat 10 tahun setelah izin Bank Umum Syariah diberikan oleh Bank Indonesia.  Apabila Bank Umum Konvensional tidak melakukan pemisahan seperti yang diperintahkan Bank Indonesia, maka akan dikenakan pencabutan izin usaha Unit Usaha Syariah-nya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintah Aceh selaku pemegang saham mayoritas pada PT Bank Aceh membentuk Qanun Aceh Nomor 16 Tahun 2013 tentang Penyertaan Modal pada Badan Usaha Milik Aceh (Qanun BUMA). Dalam qanun tersebut ditetapkan bahwa pada tahun anggaran 2014, Pemerintah Aceh akan menyertakan modal kepada PT Bank Aceh sebesar Rp. 500.000.000.000,- .Penyertaan modal tersebut dimaksudkan sebagai setoran modal awal untuk pemisahan Unit Usaha Syariah menjadi PT Bank Aceh Syariah. Pembentukan PT Bank Aceh Syariah sebagai BUMD harus dilakukan dengan qanun. Maka Pemerintah Aceh mengusulkan raqan PT Bank Aceh Syariah dan sudah maksimal menyiapkan infrastuktur untuk kelahiran PT Bank Aceh Syariah.
Dalam qanun Pembentukan PT Bank Aceh Syariah juga harus memuat aspek hukum terkait perlindungan kreditur dan pihak lain yang memiliki hak istimewa yang bisa saja mengalami kerugian akibat pemisahan perusahaan. Dalam  spin off  bank, pihak-pihak yang harus mendapatkan perlindungan hukum antara lain kreditur bank, masyarakat penyimpan dana, debitur yang telah memberikan hak jaminan (terutama jaminan kebendaan) kepada bank, dan para pemegang saham bank yang melakukan pemisahan.
Sedangkan konversi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan dari satu sistem ke sistem yang lain. Artinya PT Bank Aceh berubah secara total menjadi PT Bank Aceh Syariah tanpa melahirkan badan hukum lainnya. Konversi bank konvensional menjadi bank syariah sangat tergantung kesepakatan bank dengan pemegang saham bank tersebut. Hampis semua pengamat perbankan mengatakan bahwa konversi mempunyai resiko besar. Jika konversi dilakukan, maka bank tersebut harus meminta persetujuan kepada pemegang saham dan nasabah apakah masih mau menempatkan dana di bank tersebut atau tidak pasca konversi. Jika tidak maka dana pihak ketiga akan menguap. Dan konversi membutuhkan waktu yang panjang.
Belum lagi hasil riset yang dilakukan Adiwarman Karim konsultan di Aceh bahwa hanya 50 % masyarakat Aceh yang mau terjadinya pemisahan antara Bank Aceh dengan Bank Aceh Syariah. Sedangkan 50 % lagi masih menginginkan Bank Aceh konvensional tetap eksis.
Oleh karena itu, setidaknya ada tiga argumentasi perlunya percepatan lahinya PT Bank Aceh Syariah secara mandiri di Aceh, yaitu; Pertama alasan agama yang merupakan pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat Aceh akan jasa-jasa perbankan Syariah yang semakin meningkat seriring dengan tujuan pembangunan Provinsi Aceh untuk menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai dinul Islam disemua sektor kehidupan masyarakat termasuk sektor ekonomi.
Kedua, yuridis. Kehadiran Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006. Di dalam UU No.11 Tahun 2006  BAB XXII terdapat 19 pasal (pasal 154-173) yang mengatur  tentang perekonomian. Di dalam bagian kedua tentang Arah Perekonomian disebutkan dalam ayat (1) Perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan dan ketiga adalah kebutuhan masyarakat.
Ketiga, tuntutan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang damai, adil dan sejahtera dalam naungan syariah Islam membutuhkan jasa perbankan syariah. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa meningkatkatnya minat masyarakat untuk bisa memurnikan kegiatan ekonomi mereka dari perbankan konvensional. Terbebaskan dari praktek bunga yang tergolong ke dalam riba
Tentu harapan besar, semoga qanun ini tetap dibahas, kalau kemudian PT Bank Aceh tidak prospek lagi di Aceh tinggal melebur saja ke Bank Aceh Syariah nantinya karena kedua PT Bank Aceh dan PT Bank Aceh Syariah adalah milik Pemerintah Aceh. Wallahu’alam