KKR Aceh dan Damai Setengah Jadi
Oleh : Ariel Kahhari, SP
Konflik
Aceh pada masa lalu menyisakan banyak cerita. Hingga kini kisah itu masih saja dibicarakan. Mulai
dari cerita penyiksaan, pembakaran, pembunuhan, intimidasi bahkan kisah
pemerkosaan. Bukan bermaksud menyibak luka lama. Tapi membicarakan dan
mengenang deretan kisah tersebut hanya untuk mengingatkan kita jika konflik itu
kejam dan menakutkan. Sementara damai itu indah.
Namanya SN. Dia adalah korban pemerkosaan
saat konflik mendera Aceh. Perempuan yang tinggal di Desa
Kuyun Kecamatan Silih Nara Kabupaten Aceh Tengah itu mengaku ia diperkosa oleh sepuluh
orang oknum aparat keamanan pada bulan suci Ramadhan. Saat itu ia tengah hamil
tujuh bulan. Kondisi itu tidak dapat menyelamatkannya. Ia tetap digilir dari
satu pria ke pria lainnya hingga jatuh pingsan. [1]
Semua berawal
ketika oknum aparat datang ke rumahnya. Ada yang berseragam lengkap ada pula
yang mengenakan pakaian preman. Mereka hendak mencari suami SN. SN mengaku jika
suaminya sedang tidak berada di rumah melainkan sedang melaksanakan shalat
tarawih. Para oknum aparat tidak percaya. Mereka menganggap SN mencoba
melindungi suaminya.
Para oknum
aparat terus memeriksa dan menggeledah setiap sudut rumah. Mereka mulai membanting
serta menendang beberapa perabotan. Pada akhirnya mereka tidak menemukan suami
SN. saat itulah rencana jahat itu muncul. SN dipaksa masuk ke dalam kamar.
Disanalah ia dinodai secara bergiliran. Warga sekitar yang mengetahui kejadian
tersebut hanya bisa diam ketakutan.
SN bukanlah
satu-satunya korban pemerkosaan. Selama konflik mendera banyak perempuan Aceh
yang turut menjadi korban. Selain kasus pemerkosaan masih banyak kisah pilu
lainnya. Menjadi daerah
konflik selama 30 tahun lebih, menjadikan Aceh layaknya ladang pencabutan
hak-hak kemanusiaan. Memang tidak pernah ada data yang konkrit berapa
sebenarnya jumlah korban pelanggaran HAM di Aceh selama diberlangsungnya Program
Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer hingga pemberlakuan Darurat Sipil.
Namun yang jelas program pemerintah yang awalnya ingin melindungi masyarakat tersebut
malah menyebabkan jumlah janda dan anak yatim bertambah drastis. Belum lagi
dampak yang ditimbulkan dari sudut pandang ekonomi, sosial dan sektor kehidupan
lainnya.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) dan kelompok perempuan Aceh mencatat jika selama
lima tahun sejak tahun 1998-2000 setidaknya 56 perempuan di tembak, 15 orang
hilang, 26 dianiaya, 20 diperkosa dan 40 lainnya diserang secara seksual. Tentu
jumlah ini diluar dari angka yang sebenarnya. Ibarat fenomena gunung es, kasus
yang terungkap tentu lebih sedikit dibandingkan dengan kasus yang terpendam. Salah
satu bukti jika konflik telah merenggut banyak korban jiwa dapat dilihat dari
banyaknya kerangka manusia yang ditemukan di sejumlah kuburan massal di wilayah
Aceh.
KKR
dan Damai Setengah Jadi
Setelah melalui jalan panjang dan berliku, pada
15 Agustus 2005 memorandum of understanding
(MoU) damai akhirnya di tanda tangani oleh kedua pihak yang bertikai. Di Helsinki, Finlandia, Pemerintah Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka bersepakat untuk mengakhiri pertikaian dan memilih jalan
damai. Tidak ada yang menyangka konflik yang telah
merenggut banyak korban jiwa, harta benda dan ketenangan itu akhirnya berujung
di meja perundingan. Tidak ada yang memprediksi konflik akhirnya benar-benar
usai. Namun
damai bukan berarti melupakan masa lalu. Malah momentum ini menjadi titik awal
dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.
Di sejumlah negara upaya pengungkapan
kejahatan seperti pelanggaran HAM di masa lalu tetap saja dilakukan. Caranya
dengan membentuk sebuah Komisi khusus. Salah satu negara yang membentuk komisi
tersebut adalah Afrika Selatan yang pernah menjalankan praktek rasis aphartheid. Nelson Mandela yang
hadir sebagai tokoh pemersatu menggagas dibentuknya the truth and Reconciliation Commission atau Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi. Dalam pandangan Nelson Mandela, pelanggaran
HAM harus tetap diungkap dan dipertanggung jawabkan. Forgive not forget kalimat singkat namun bijak yang pernah
diungkapkannya ketika menegaskan jika pelanggaran masa lalu dapat dimaafkan
namun tidak untuk dilupakan.
Di Indonesia isu KKR pernah mencuat melalui
TAP MPR No VI tahun 2000 tentang Persatuan Nasional. Di dalamnya disebutkan
jika penyusunan legislasi tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsialisi dapat
dilakukan. Dalam mandat tersebut terdapat UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan
HAM. Dimana pada pasal 43 disebutkan bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang
tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc akan ditangani melalui
KKR.
Melalui UU No. 27 Tahun 2004 pembentukan
KKR semakin dipertegas. Namun oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Undang-undang ini dibatalkan dengan alasan terdapat pasal-pasal krusial yang
bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Sejak saat itulah KKR di Indonesia
tidak pernah dapat dibentuk. Selain memberi dampak bagi pembentukan KKR Indonesia,
Keputusan MK ini ternyata berdampak terhadap pembentukan KKR Aceh. Padahal
dalam Undang-Undang pemerintahan Aceh [UUPA] yang merupakan produk hukum hasil
MoU Helsinki secara tegas mencantumkan upaya-upaya dalam menyelesaikan
permasalah pelanggaran HAM di Aceh. Salah satunya melalui KKR.
Pada pasal 229 ayat dua UUPA disebutkan
jika KKR Aceh menjadi bagian integral dari KKR Indonesia. Namun akibat keputusan
MK tersebut hingga kini pembentukan KKR Aceh berjalan di tempat. Nasib KKR Aceh
berakhir sama dengan KKR Indonesia. Sejumlah pihak menilai sebenarnya ada
langkah yang dapat dilakukan agar KKR Aceh tetap bisa dibentuk. Salah satunya
dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang. Jika
keberadaan KKR Aceh dirasa penting maka langkah ini dapat saja diambil.
Mengingat semakin lama KKR Aceh dibentuk maka semakin kecil pula peluang untuk
mengungkapkan kebenaran. Sebab ada fakta
yang akan tergerus oleh waktu.
Sempat muncul
kekhawatiran jika KKR Aceh tidak hanya “dihambat” oleh pusat melainkan juga dilakukan
di tingkat daerah. Namun hal itu terbantahkan setelah DPRA merampungkan qanun
KKR. Pada akhir tahun 2012 DPRA secara aklamasi menyetujui raqan KKR untuk
disahkan menjadi qanun. Pengesahan qanun itu disaksikan oleh para korban
konflik yang hadir memenuhi ruang paripurna DPRA. Namun qanun ini mendapat
sorotan dari kementrian dalam negeri. Kementrian menganggap qanun ini tidak
bisa disahkan karena hingga kini UU KKR juga belum ada.
Namun jikapun suatu saat nanti KKR Aceh
dapat dibentuk, mungkinkah para korban konflik meraih keadilan. Mengingat
mekanisme dalam KKR berbeda dengan pengadilan. KKR akan lebih banyak memberikan
petunjuk terutama dari korban. Sebab lembaga ini memang hanya untuk
mendengarkan kesaksian-kesaksian. KKR bukanlah komisi yang berwenang untuk
membawa pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan. Tetapi hanya sekedar
mengungkapkan kebenaran. Kebenaran yang ingin dirasakan oleh para korban
konflik yang haknya pernah tercabik-cabik
Kini sudah sembilan tahun kedamaian itu bersemi
di Aceh. Usia perdamaian yang masih tergolong singkat mungkin dapat menjawab keraguan
sejumlah pihak. Dulu banyak orang
yang memperkirakan jika perdamaian di Aceh hanya akan berlangsung singkat.
Perdamaian akan sulit dijaga dan dipertahankan. Aceh diyakini akan mengikuti
sejumlah wilayah di dunia yang akhirnya kembali masuk dalam perpecahan setelah
perdamaian. Namun prediski itu salah. Hingga kini damai tetap dapat
dipertahankan.
Tetapi perdamaian
ini masih terasa setengah jadi. Setelah beberapa perangkat pendukungnya belum
juga rampung dihadirkan. KKR Aceh adalah sebuah mimpi dan harapan. Tidak hanya
bagi korban konflik tapi bagi semua pihak. Jika masih ada hak korban konflik yang
terabaikan maka selama itu pula rasa damai akan terasa hambar.
***
Ariel
Kahhari, SP adalah Presenter dan Reporter TVRI Aceh