Zakat Uang Kertas Dalam Perspektif Kitab Kuning
Tgk Taufik Yacob |
DALAM sebuah hadis Rasulullah. Saw bersabda “Sesungguhnya masa itu terus
berputar.” Perputaran waktu yang dimaksud tentu bukan hanya pergantian siang
dan malam, pertukaran minggu dan bulan dan bukan pula hanya sedar informasi
akan adanya hari esok, karena itu bukanlah berita besar padahal seorang nabi
sesuai dengan gelarnya adalah pembawa berita besar (an-Naba’).
Berputarnya waktu merupakan berita besar yang disampaikan oleh rasulullah. Saw
kepada kita, karena perputaran waktu itu berimplikasi pada segala sesuatu yang
berhubungan dengan waktu itu sendiri sehingga manusia perlu mempersiapkan dirinya
menghadapi masa yang terus berputar.
Salah satu implikasi dari berputarnya waktu adalah perobahan profesi, usaha dan
jenis harta manusia sehingga diperlukan kajian hukum yang relevan tentang
status profesi, usaha dan harta manusia dalam konteks kekinian, tentang
hukumnya, kategorinya dan kewajiban yang mengikatnya menurut syar’i.
Di masa Rasulullah. Saw masih hidup, profesi unggulan manusia ketika itu adalah
peternakan, perkebunan dan perdagangan. Jenis harta utama mereka adalah
binatang ternak, kebun kurma dan an-Naqd (uang emas dan perak). Semua jenis
profesi dan harta unggulan manusia ketika itu dikenakan zakat sebagai kewajiban
syar’I yang mengikatnya.
Sekarang, keadaan berubah 180 derajat. Profesi unggulan manusia adalah
perusahaan konstruksi, pejabat Negara, pegawai negeri/perusahaan, perdagangan
valuta asing dan lain-lain. Harta utama manusia adalah saham, dan al-Warq
an-Naqdy (uang logam dan uang kertas).
Status hukum zakat al-Warq an-Naqdy sekarang mengalami kemandekan,
khususnya di Aceh sehingga terjadi kerancuan yang sangat memprihatikan dalam
masyarakat. Banyak terjadi dalam Gampong-gampong di Aceh orang miskin memberi
zakat untuk orang kaya sementara orang kaya tidak mau mengeluarkan zakat dengan
dalih profesi dan harta mereka tidak termasuk dalam kategori wajib zakat.
Bagaimana pandangan kitab kuning mengenai status hukum al-Warq an-Naqdy?. Istilah
al-Warq an-Naqdy sangat sulit didapatkan dalam literature fiqh klasik.
Hal ini disebabkan penggunaan al-Warq an-Naqdy sebagai alat tukar
terjadi setelah perang dunia pertama sehingga tidak dibicarakan oleh para
fuqaha sebelumnya.
Tidak adanya pembahasan mengenai
zakat al-Warq an-Naqdy dalam literature fiqh klasik menyebabkan
sebagian para ulama sekarang berpendapat tidak wajib zakat pada al-Warq
an-Naqdy. Pendapat mereka didukung oleh dalil-dalil dan al-Mafhum
al-Mukhalafah dan al-Mafhum al-Muwafaqah (pengertian tersirat) dari
ibarat-ibarat kitab dalam fiqh klasik. Seperti ibarat (Fath al-Mu’in
hal. 230):
ووجبت
في ثمانية أصناف من المال: النقدين والأنعام والقوت والتمر والعنب لثمانية أصناف
من الناس.
“Dan zakat itu wajib pada delapan jenis
harta yaitu: an-Naqdain (emas dan perak), binatang ternak, makanan pokok, kurma
dan anggur diberikan kepada delapan golongan manusia.”
Sesuai dengan perkembangan zaman para fuqaha kontemporer memasukkan pembahasan
tentang zakat al-Warq
an-Naqdy dalam
kitab-kitab mereka. Di antara kitab-kitab fiqih kontemporer yang membahas
tentang uang kertas adalah al-Fiqh alaa al-Mazahib al-Arba’ah, karya
Abdurrahman al-Jaziry dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Wahbah
az-Zuhaily.
Dalam kedua kitab tersebut dijelaskan bahwa manyoritas ulama berpendapat al-Warq
an-Naqdy wajib dizakati, bahkan Abdurrahman al-Jaziri menyatakan bahwa
semua ulama tiga mazhab (Hanafy, Maliki dan Syafi’I) sepakat tentang kewajiban
zakat pada uang yang menjadi alat tukar di masa sekarang. Hanya para ulama
mazhab Hambali yang menafikan kewajiban zakat pada uang yang beredar sekarang. Sangat
tidak masuk akal bila pada manusia ada jenis harta yang bisa ditukar dengan
perak secara mudah tapi tidak diwajibkan zakat padanya.
Berikut kutipan teks kitab al-Fiqh alaa al-Mazahib al-Arba’ah, karya
Abdurrahman al-Jaziry dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh yang membahas
tentang zakat uang kertas/logam.
جمهور
الفقهاء يرون وجوب الزكاة في الأوراق المالية، لأنها حلت محل الذهب والفضة في
التعامل، ويمكن صرفها ب صرف بدون عسر، فليس من المعقول أن يكون لدى الناس ثروة من
الأوراق المالية، ويمكنهم صرف نصاب الزكاة منها بالفضة، ولا يخرجون منها زكاة؛
ولذا أجمع فقهاء ثلاثة من الأئمة على وجوب الزكاة فيها؛ وخالف الحنابلة فقط، (الفقه
على المذاهب الأربعة:1: 549)
“Jumhur ulama berdapat
wajib zakat pada uang kestas, karena uang kertas menggantikan posisi emas dan
perak sebagai alat tukar dan mudah untuk ditukarkan dengan perak. Sangat tidak
masuk akal bahwa pada manusia ada sekumpulan harta berbentuk kertas yang bisa
ditukar dengan nishab zakat perak dan mereka tidak mengeluarkan zakatnya.
Karena itulah para fuqaha tiga mazhab sepakat tentang kewajiban zakatnya. Hanya
ulama mazhab Hambali saja yang tidak sepakat.”
وبما أن هذا النظام ظهر حديثاً بعد الحرب العالمية الأولى، فلم يتكلم فيه
فقهاؤنا القدامى، وقد بحث فقهاء العصر حكم زكاة هذه النقود الورقية ، فقرروا وجوب
الزكاة فيها عند جمهور الفقهاء (الحنفية والمالكية والشافعية)؛ لأن هذه النقود إما
بمثابة دين قوي على خزانة الدولة، أو سندات دين، أو حوالة مصرفية بقيمتها ديناً
على المصرف.
ولم ير أتباع المذهب الحنبلي الزكاة فيها حتى يتم صرفها فعلاً بالمعدن النفيس
(الذهب أو الفضة) قياساً على قبض الدين.
والحق وجوب الزكاة فيها؛ لأنها أصبحت هي أثمان الأشياء، وامتنع التعامل
بالذهب، ولم تسمح أي دولة بأخذ الرصيد المقابل لأي فئة من أوراق التعامل، (الفقه
الاسلامي وادلته :2 : 727)
“Karena
peraturan tentang uang kertas baru muncul setelah perang dunia pertama maka
para fuqaha klasik tidak membahas tentangnya. Para fuqaha kontemporer telah
membahas tentang hukum zakat pada uang kertas, mereka menetapkan bahwa uang
kertas wajib dizakati menurut jumhur fuqaha (Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafi’iyah) karena uang merupakan utang kuat atas kas Negara atau promes
atau wesel perbankan yang merupakan hutang yang mesti dibayar sesuai dengan
nilainya. Para pengikut mazhab Hambali berpendapat uang kertas tidak wajib
dizakati sehingga ia ditukar dengan emas atau perak, karena diqiyaskan kepada qabadh
hutang. Pendapat yang benar adalah wajib zakat pada uang kertas, karena ia
merupakan alat tukar yang sempurna yang menggantikan posisi emas dan perak
sebagai alat tukar dan semua Negara tidak mengizinkan selain uang resminya
dijadikan sebagai alat tukar.”
Maka dapat disimpulkan, pertama, bahwa tidak ada pembahasan
tentang zakat uang kertas dalam literature fiqh klasik, karena ia baru muncul
setelah perang dunia pertama. Kedua,
mayoritas fuqaha kontemporer menetapkan wajib zakat pada uang kertas. Ketiga,
Menurut Abdurrahman al-Zajiri, semua ulama mazhab
Hanafi, Maliki dan Syafi’I menetapkan kewajiban zakat pada uang kertas. Wallahu A’lam bi
As-Shawab.