Dr M Yasir Yusuf: Zakat Produktif, Merubah Mustahik Menjadi Muzakki
Dr M Yasir Yusuf, MA |
Penyaluran zakat produktif ini berbentuk bantuan modal (berupa uang tunai atau barang) untuk berdagang, pengadaan hewan ternak dan bantuan peralatan untuk mencari nafkah hidup.
Pendistribusian zakat secara produktif merupakan salah satu bentuk usaha
pengurangan jumlah kemiskinan melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pendistribusian zakat produktif ini diberikan kepada aktivitas yang dapat
menghasilkan manfaat dalam jangka panjang dan melepaskan ketergantungan ekonomi
masyarakat miskin dari bantuan pihak lain. Disamping itu Baitul Mal Aceh juga
mempunyai sasaran untuk merubah penerima zakat (mustahik) menjadi pemberi
zakat(muzakki).
“Penerima zakat produktif ini harus memenuhi tiga syarat, Pertama, sudah
mempunyai suatu usaha produktif yang layak.Kedua, bersedia menerima petugas
pendamping yang berfungsi sebagai pembimbing dan ketiga, bersedia menyampaikan
laporan usaha secara berkala setiap enam bulan”, kata M Yasir Yusuf, Dosen
Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh dalam makalahnya pada Konferensi
Internasional tentang Zakat pertengahan Agustus lalu.
DijelaskanYasir, Baitul Mal menetapkan beberapa kriteria bagi individu
(mustahik) yang akan menerima pembiayaan mikro melalui penyaluran zakat
produktif. Pertama, memiliki iman dan taqwa. Kedua, jujur dan amanah.
Ketiga,
dari keluarga yang kurang mampu yaitu pendapatan lebih kecil dari keperluan
harian, pendapatan di bawah Rp.1.000.000 dengan mempunyai tanggungan
sekurang-kurangnya 2 orang, rumah yang ditempati sementara dan tidak layak
ditempati. Keempat, memiliki tempat usaha/berdagang tetap dengan asset yang
sedikit.
Kelima, tidak bekerja sebagai Pengawai Negeri Sipil (PNS) atau
pengawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau pengawai swasta. Semua kriteria
ini akan dipilih oleh Unit Pengelolaan Zakat Produktif (UPZP) sebelum diberikan
pembiayaan mikro melalui modal zakat produktif. Tingkat keberhasilan pembiayaan
mikro yang dijalankan Baitul Mal Aceh dalam sektor perdagangan mencapai 79 %,
ini menunjukkan bahawa program ini berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan
taraf pendapatan masyarakat miskin ketahap yang lebih baik.
Lebih lanjut Yasir mencontohkan pada tahun 2003-2007, Baitul Mal
meluncurkan pembiayaan sektor perternakan, Baitul Mal mengambil langkah
strategis dengan menggunakan pendekatan budaya dalam menyalurkan zakat
produktif. Baitul Mal Aceh menyalurkan pembiayaan mikro dalam bentuk program
ternak lembu untuk masyarakat miskin yang telah menjadi peternak lembu sejak
dulu.
Di Aceh, pekerjaan berternak lembu digeluti secara turun temurun. Salah
satu
kaedah perternakan di Aceh dilakukan dengan cara peumawah, yaitu
seorang pemodal membeli lembu jantan lalu diserahkan kepada peternak lembu
untuk digemukkan dalam kandang secara terus menerus sampai berat badan maksimum
atau layak panen sebagai lembu pedaging, lalu lembu tersebut dijual. Keuntungan
harga jual setelah dipotong modal dan biaya rawatan dibagi sesuai dengan
persetujuan diawal kontrak.
“Apa yang dilakukan oleh Baitul Mal dalam hal pemberdayaan masyarakat
miskin melalui dana zakat telah menunjukkan keberhasilan yang cukup
signifikan,
hal ini didasari oleh keberanian Baitul Mal Aceh untuk mendistribusikan
dana zakat dalam bentuk pembiayaan mikro secara bergulir”lanjutnya.
Akan tetapi Yasir menjelaskan menurut Undang-undang dan pendapat
para ulama zakat produktif baru boleh
dilaksanakan apabila memenuhi dua syarat. Pertama, apabila sudah memenuhi semua
keperluan mustahik zakat dan masih adanya kelebihan harta zakat.Kedua,
pemberian zakat produktif berpeluang memberikan keuntungan. Namun Tanpa
memenuhi kedua syarat di atas, Baitul Mal Aceh telah melakukan pendistribusian
zakat secara produktif untuk permodalan bagi usaha mikro.
Menurutnya ada dua alasan mengapa Baitul Mal Aceh tetap mendistribusikan zakat secara produktif pada pembiayaan
mikro. Dua alasan ini boleh dilihat dari
pendekatan maqasid syari’ah.
Pertama, memenuhi syarat-syarat untuk
boleh menyalurkan zakat dalam bentuk produktif menggunakan akad al qard al hasan dan mudharabah sebenarnya
sulit dipenuhi oleh institusi zakat manapun baik
di Indonesia maupun di luar Indonesia. Hal ini disebabkan jumlah penduduk miskin cenderung semakin bertambah seiring dengan
perubahan struktur ekonomi masyarakat lokal
dan global, sedangkan penerimaan harta zakat bertambah secara perlahan. Jika harus menunggu zakat surplus,
semua mustahik mendapatkan bahagian haknya dan
sampai tidak ada lagi mustahik yang patut menerima zakat, maka pola pendistribusian zakat produktif tidak
akan terwujud sama sekali. Padahal pendistribusian
zakat dalam bentuk produktif pada usaha mikro adalah bagian dari penghapusan angka kemiskinan yang menjadi tumpuan maslahah
dan maqasid syari’ah dari
penyaluran zakat.
Kedua, pendistribusian zakat dalam bentuk modal kerja melalui pembiayaan
mikro tidak bertentangan dengan konsep maslahah ammah yang ingin
dicapai. Zakat yang diberikan melalui pembiayaan mikro kepada satu mustahik zakat
dalam jumlah tertentu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi mustahik
berusaha secara lebih maksimum dengan adanya kecukupan modal bagi usaha. Hal
ini dimaksudkan guna membebaskan dirinya dari kemiskinan dan pada akhirnya
diharapkan mustahik zakat melalui usaha mikro akan menjadi muzakki zakat
dikemudian hari. Hal ini pula tidak akan merosak maslahah individu dari
mustahik zakat lainnya. Sebab modal zakat produktif yang telah diberikan
tersebut akan dikembalikan semula oleh mustahik kepada institusi zakat
untuk disalurkan kembali kepada mustahik zakat lainnya.
“Dari sisi pencapaian manfaat apabila pemberian zakat produktif
dilakukan secara berkelanjutan, maslahah
yang bersifat al daruriyah bagi mustahik akan
terselesaikan secara perlahan tetapi pasti. Setiap mustahik yang telah
menerima zakat produktif akan berusaha secara mandiri sehingga tidak lagi bergantung
pada zakat. Ketika mustahik mandiri dalam berusaha, maka ia terbebaskan
daripada kemiskinan. Ini lebih
bermanfaat berbanding membagikan zakat dalam bentuk konsumtif kepada mustahik
zakat yang berakibat adanya ketergantungan mereka pada pendistribusian
zakat berikutnya. Sehingga mustahik zakat tidak akan pernah
keluar dari jurang kemiskinan”
Namun demikian menurut Yasir institusi zakat bisa saja mendistribusikan
zakat semuanya dalam bentuk konsumtif kepada mustahik guna memenuhi
perintah agama dan undang-undang, akan
tetapi kerja tersebut belumlah dikatakan bermanfaat dalam jangka panjang yang
menjadi ruh dari pendistribusian zakat. Padahal kalau dilihat dari maqasid
syari’ah kewajiban zakat pada asasnya adalah untuk mengurangi jumlah
masyarakat miskin. [Abi Qanita/Majalah Suara Darusssalam]