Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Jinayah bagi non-Muslim, Upaya Mewujudkan Keharmonisan Antar Agama


Syamsul Bahri
Oleh Syamsul Bahri, MA

Legitimasi Syariat Islam (SI) di Aceh ternyata sangat kuat sehingga tak akan bisa digugat oleh kelompok manapun dan dari negara manapun di dunia ini. Bukti untuk mensahihkan pernyataan ini berupa butir-butir hukum positif di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas telah memberi kemerdekaan kepada setiap daerah di Indonesia untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyatakan “Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa”. 

Selanjutnya ayat 2 menyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya masing-masing ddan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selanjutnya juga dalam pasal 18 A ayat 1 dari amandemen UUD 1945 lebih rinci menyebutkan “hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah propinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. 

Dengan demikian pada dasarnya setiap propinsi di Indonesi diperbolehkan secara yuridis untuk menerapkan hukum sesuai dengan keinginan daerah tersebut, apapun karakternya dan bentuknya, yang penting tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia ini. Apapun itu, termasuk keinginan setiap daerah untuk melaksanakan syariat Islam.

Dengan kekuatan hukum itu Aceh pun dengan sigap telah menancapkan bendera syariat Islam yang sampai sekarang ini telah melahirkan produk-produk qanunnya. Dan setelah terpenuhi syarat dari perundang-undangan itu dengan segenap ‘kebanggaan’ Aceh juga punya payung hukum yang lebih kuat lagi yang berbeda dengan daerah lain yaitu lahirnya undang-undang tentang Kesitimewaan Aceh yang tertera dalam undang-undang No. 44 tahun 1999.

Tidak cukup sampai disitu, bukan hanya dalam ruang lingkup nasional, legalitas pelaksanaan hukum syariat Islam juga telah diperakui kepada dunia dengan terciptanya undang-undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang notabene di fasilitasi oleh dunia, yaitu dalam hal ini adalah Helsinki, Finlandia.

Masih banyak lagi perundang-undangan yang mengatur keistimewaan Aceh ini, saya pikir tidak perlu menderetkan lagi di sini. Intinya sungguhpun didatangkan negara super power semisal Amerika Serikat untuk menggugat pelaksanaan Syariat Islam, justru mereka tidak mampu untuk melakukannya, kecuali bisa menggugat hukum positif di Indonesia terlebih dahulu, dan itu untuk saat ini mustahil terjadi. Dengan demikian perjuangan rakyat Aceh untuk melaksanakan ‘titah Tuhan’ telah terbukti tidak sia-sia, maka siapapun yang bersungguh dia pasti akan bisa. Meskipun tantangannya selangit, tapi dengan semangat dan kerja sama pasti akan berhasil.

Qanun Jinayah
Syariat Islam terus berevolusi mencapai titik-titik kesempurnaannya, baru-baru ini qanun Jinayah telah disahkan oleh DPRA setelah tiga tahun yang lalu mandek. Hukum jinayah merupakan anak keturunan dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Tentu ada yang pro dan kontra, dan itu bukan saja terjadi dari luar propinsi Aceh melainkan sesama orang Aceh juga belum menerima sepenuhnya turunan Syariat Islam yang bernama qanun (hukum) jinayah itu. Saya pikir ini adalah langkah progress rakyat Aceh dalam berdemokrasi, siapapun boleh memberikan kritikan dan saran walaupun itu kepada hukum Tuhan yang dikejawantahkan ke bumi.

Beberapa orang menyangsikan syariat Islam di Aceh telah menjadikan Aceh mundur beberapa langkah, terutama menurut para pegiat HAM dan Demokrasi, hal ini dikarenakan qanun jinayah yang baru selesai diparipurnakan telah menjadikan Aceh sebagai wilayah angker bagi warga non-muslim, karena di sana disebutkan warga non-muslim juga kena jerat hukum kalau melanggar pelaksanaan syariat Islam yang bernama hukum jinayat ini yang telah diatur dalam qanun jinayat tahun 2003, yaitu  No. 12 tentang Khamar( minuman keras dan sejenisnya), qanun jinayat No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (judi), dan qanun jinayat no. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).

Hujum Jinayah bagi non-Muslim, untuk kemaslahatan
Maka inilah yang kiranya menjadi kebimbingan kita saat ini, karena hukum ini juga diberlakukan kepada warga beragama lain, namun tak perlu tergesa-gesa, semua itu bisa diselesaikan dengan baik. Pertanyaan yang perlu diajukan disini, sejauh manakah kemaslahatan kepada (rakyat) Aceh jika qanun jinayah juga diberlakukan bagi warga non-muslim? Inilah diskusi menarik kita saat ini, bukan karena terma ini sedang hangat dibicarakan, melainkan kita perlu melihat lebih jauh, juga adakalanya seperti melihat dari kacamata orang lain, bercermin dari orang lain, dan tentunya agar lebih leluasa bergerak untuk masa akan datang.

          Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin kita perlu melirik sedikit psikologis kita kepada syariat Islam. Memang benar bahwa syariat Islam telah diperjuangkan semenjak kemerdekaan Indonesia ini, tak tanggung-tanggung, darah air dan air mata menjadi saksi keinginan kuat rakyat Aceh, karena secara kepribadian rakyat Aceh merasa diuntungkan dengan adanya syariat Islam ini. Dengan sebab selain terpenuhinya hak-hak beragama juga terjaga rakyat Aceh dari melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu orang lain yang sudah tentu berdosa.

Terkait qanun jinayah yang sudah lama ditunggu-tunggu inipun rakyat Aceh pada umumnya menerima dengan lapang dada dan berbangga hati. Yang penting kita tidak sedang bertanya, apa keuntungan pelaksanaan jinayah ini kepada Allah? itu telah menjadi topik persoalan lain. Hanya manusia yang memperoleh kemaslahatannya, dan dengan mempraktikkan hukum-hukum ini tentunya Allah memberikan kenikmatan/kemaslahatan lagi yang cukup banyak.

Lantas sekali lagi apa kemaslahatan (lebih lanjut disebutk keuntungan) bagi masyarakat Aceh kalau ada non-muslim dicambuk di depan publik? Untuk menakut-nakuti non-muslim lain kah, agar meraka tidak datang kemari dengan baik dan tidak melanggar qanun jinayah ini. Sebagian kita beranggapan ini justru menjauhkan keuntungan itu.
Dan anehnya, sebagian orang berpendapat sebenarnya warga non-muslim boleh mengikuti hukuman jinayat berdasarkan hukum positif Indonesia (misalnya hukumannya dipenjara) atau qanun jinayah ini. Kalau ini masih menjadi pilihan, untuk apa juga qanun ini ditujukan juga kepada mereka.

          Hukum Allah itu logis ya, kalau menghukum warga ‘kaphe’ membawa kemaslahatan bagi Aceh, itu masih tidak begitu dikhawatirkan, karena berbicara hukuman juga berbicara manfaat atau kemaslahatan, tapi justru dengan menghukumi mereka kita telah membuat satu ketidakadilan kepada umat lain di dunia ini, toh mereka punya hukum sendiri, dan lagi-lagi Aceh bisa terstigma negatif akibat ‘ketidakperdulilan” kita kepada umat non-muslim.

Mampukah kita diam ketika saudara muslimah kita dijahati karena menggunakan kerudung atau jilbab di negara sekuler, dan sukakah kita kalau mereka memproduksikan larangan berjilbab kepada muslimah ini? saya pikir bagi kita kuat iman dan rasa persaudaraan yang besar sesama Islam tidak akan tega hati melihat hal ini, lantas mengapa kita akan memperlakukan warga non-muslim sama seperti kita memperlakukan diri kita sendiri. Bukankah kita saja dulu yang mempraktekkan turunan syariat Islam itu, mengapa harus kena orang lain.

Kalau sebuah negara non-muslim (barat) memperlakukan umat Islam intoleran, mencabut hak-hak individual manusia, tentu kita tidak akan datang lagi, misanya berkunjung, melanjutkan studi ke negara-negara mereka ini, yang tidak memperbolehkan jilbab, begitu juga mereka akan meragukan untuk mengunjungi kita, dan tentu akan mempengaruhi kepada kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak.

Nah, kalau justru tidak mendapatkan apa-apa atau tidak ada kerja sama, dari mana kita peroleh keuntungan? imbasnya rakyat juga akan dirugikan, dalam arti terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Karena jelas kita bukan seperti Arab Saudi, produsen raksasa minyak bumi, yang dari sononya mereka telah menerapkan hukum hududnya. Maka pantas orang lain mengkritik kita dari sudut pandang mereka sendiri. Ini pula yang menjadi alasan pegiat HAM di Aceh saat ini yang beranggapan qanun jinayah telah melanggar hak asasi manusia.

Mengapa kita sering membawa perkara hudud menjadi suruhan Tuhan, dengan alasan hukum Allah harus ditegakkan, padahal produk jinayah ini justru hukum manusia secara mata kasar. Satu persepsi mengatakan “Revolusi” syariat Islam jangan menjauhkan syariat dari agama Islam yang rahmatan lil’alamin, yang memiliki karakteristik pluralistik, tasamuh, dan penuh kedamaian. Umat Islam dan praktik hukum keberagamaanya bisa diteliti dari segala sisi, bukan hanya salah-benar dan halal-haram, dan umat Islam sebagai subjeknya adalah yang diuntungkan dari melaksanakan ajaran Islam itu. Bukan hanya hitam diatas putih, atau sebagai slogan bahwa kita termasuk daerah yang menerapkan hukum Tuhan.

Demi keharmonisan antar agama
Secara sosiologi dengan memberlakukan hukuman kepada warga non-muslim akan terjadi ketidakharmonisan sosial antar umat beragama, bukan karena orang itu tidak melaksanakan syariat Islam, melainkan ia punya hak mendatangi wilayah Aceh ini juga, atau karena telah menjadi penduduk Aceh. 

Akibatnya berpengaruh secara politik dan ekonomi, para investor akan urung menanamkan saham dan usahanya di Aceh kalau di Aceh ini tidak toleran kepada umat lain. Dan secara ekonomi momentum wisata Islami yang digagas sebagai pemasukan kas daerah dan tersedia lapangan kerja menjadi terhambat. Bukan karena mereka datang kemari hendak melakukan perbuatan melanggar agama ya (jinayah), tetapi dengan sebab teologis normatif seperti ini menjadikan mereka urung datang, karena kekhawatiran-kekhawatiran tertentu.

          Revolusi syariat Islam semakin jelas ke permukaan global, ada yang menyebutkan perkara ini sebuah permulaan untuk membentuk “negara Islam” di Aceh. Sejatinya qanun jinayah memang menjadi pilihan warga Aceh dan berhak untuk melaksanakannya dan secara prinsipil orang lain tidak perlu menggugatnya. Tapi karena produksi lokal telah ‘mengancam’ hubungan global, maka sah-sah saja qanun jinayah untuk warga non-muslim ini di dikritisi.

Untuk itu, pembaca berhak menganalisis lebih jauh, sebatas mana uqubat untuk warga non-muslim membawa kemaslahatan untuk rakyat Aceh, bukan berkeinginan agar qanun tersebut di ‘mansuh-kan’ melainkan agar kita bisa menyumbangkan pikiran kita untuk pelaksanaan Syariat Islam menjadi lebih sempurna, kemudian bisa menjawab kekhawatiran-kekhawatiran orang lain, pun orang lain (non-muslim) akan menerimanya dengan logis dan lapang dada.

Syamsul Bahri, MA adalah Dosen Tidak Tetap dan pengasuh mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh pada Fak. Ilmu Ekonomi dan Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh.