Interpretasi Baru Senif Penerima Zakat
“Karena hal tersebut, paling kurang sebagian dari hasil ijthad
ini, dirasakan sudah tidak sesuai dengan keadaan dan keperluan masyarakat masa
sekarang, yang sudah banyak berbeda dengan keadaan masa Sahabat dan imam mazhab
beberapa abad yang lalu”
----- Prof Dr Al Yasa’ Abubakar, MA, Guru Besar UIN Ar-Raniry
Banda Aceh - Pada dasarnya Alquran tidak menjelaskan apalagi memerinci
makna dari lafaz-lafaz yang digunakan untuk delapan kelompok (senif) penerima
zakat, Sementara definisi dalam fikih merupakan hasil ijtihad para ulama dalam
rentang sejarah yang relatif panjang.
Hal itu dikatakan Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Ar-Raniry, Prof Dr Al Yasa’ Abubakar, MA yang tampil di sesi pertama memaparkan
makalahnya berjudul “Senif Penerima Zakat: Sebuah Upaya untuk Reinterpretasi”.
“Karena hal tersebut, paling kurang sebagian dari hasil ijthad
ini, dirasakan sudah tidak sesuai dengan keadaan dan keperluan masyarakat masa
sekarang, yang sudah banyak berbeda dengan keadaan masa Sahabat dan imam mazhab
beberapa abad yang lalu”, ujar Al Yasa’ yang juga ketua Dewan Pertimbangan
Syari’ah Baitul Mal Aceh ini.
Oleh sebab itu, Al
Yasa’ menuturkan, ia tertarik meneliti bagaimana senif-senif ini didefinisikan
oleh para ulama, dan apakah mungkin untuk diubah dan dikembangkan guna
disesuaikan dengan keadaan dan keperluan masyarakat masa sekarang, yang dapat
disebut sebagai masyarakat industri yang sedang menuju ke era informasi atau
bio teknologi.
Menurut Al Yasa’, ayat
Alquran yang biasa dikutip untuk menjelaskan kelompok orang-orang yang berhak
menerima zakat adalah surat at-Taubah ayat 60 yang menjelaskan senif penerima
zakat yaitu : Sesungguhnya sedekah (yang wajib, harta zakat) itu hanyalah
untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, para amil
(pengurus/pengelolanya), para muallaf, riqab (memerdekakakan hamba
sahaya), gharim (orang-orang yang berutang), sabilillah (orang-orang
yang [sedang] berjuang pada jalan Allah), dan ibnu sabil (orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, [yang memerlukan pertolongan]).
Kitab tafsir dan fiqih, kata Al Yasa’, pada umumnya, menafsirkan lafaz al-shadaqat dalam
ayat-ayat ini dengan sedekah wajib. Alasannya sedekah sunat boleh
diserahkan kepada siapa saja sesuai dengan keinginan si pemberi. Berhubung
penerima sedekah dalam ayat ini dibatasi hanya kepada orang atau
kelompok tertentu, maka sedekah disini tentu harus dibatasi pada sedekah
wajib, yaitu zakat.
Al Yasa’ mengatakan, para ulama juga cenderung berpendapat
bahwa zakat tersebut harus diserahkan kepada orang, bukan untuk membiayai
kegiatan.
Oleh sebab itu, menurut Al Yasa’, untuk empat kelompok yang
disebutkan ayat, yaitu fakir miskin,
amil dan mu`allafatu qulbuhum,
karena diawali dengan kata depan “li” maka zakat tersebut harus diserahkan
kepada mereka sebagai hak milik.
“Alasannya kata depan “li” menurut bahasa memberi makna
kepemilikan . Sedang untuk empat kelompok lainnya, riqab, gharim, sabilillah dan
ibnu sabil, penyebutan mereka di dalam ayat diawali dengan kata depan “fi””,
ujarnya.
Al Yasa’ mengatakan, kata depan ini digunakan untuk
menunjukkan arti kepemilikan atau boleh juga dalam arti hanya mengambil
manfaat.
“Maksudnya boleh saja harta zakat tersebut tidak diserahkan
kepada kelompok yang empat ini, tetapi dibayarkan/diserahkan kepada pihak lain,
dan mereka hanya menerima manfaatnya saja”, kata Al yasa’ menerangkan.
Dalam materinya ini, Al Yasa’ Abubakar mengutip panjang
lebar pendapat para ulama fikih dan tafsir tentang definisi senif penerima
zakat.
Definisi baru muallaf,
lebih relevan
Salah satu bahasan yang menarik perhatian peserta konferensi
ini adalah bahasa seputar definisi muallaf disamping bahasan definisi
senif-senif yang lain.
Al Yasa’ dalam materinya antara lain misalnya, mengenai Muallaf
menurut Al Yasa’ setelah menganilisa pendapat al-Qardhawy maka definisi muallaf
dapat disusun ulang menjadi lima buah saja yaitu, orang-orang yang dengan
diberikan sebagian zakat kepada mereka maka:
a) Mereka akan masuk Islam atau dapat menggunakan
pengaruhnya untuk mendorong para pengikutnya masuk menjadi muslim;
b) Orang yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh tetapi tidak
dekat dengan Islam (bahkan mungkin mengganggu umat Islam, yang dengan
memberikan zakat kepada mereka), maka mereka tidak lagi mengganggu umat Islam;
c) Orang yang baru masuk Islam yang keislaman/ kedekatannya
dengan umat belum kuat, yang dengan pemberian zakat kepada mereka, diharapkan
akan lebih mendekatkan mereka dengan umat Islam;
d) Para tokoh dan pemimpin atau bahkan umat Islam yang iman
dan kesadaran keislamannya relatif masih lemah; pemberian zakat diharapkan akan
meneguhkan mereka di dalam Islam dan bahkan akan menjadikan mereka dapat
membantu umat Islam yang lain;
e) Orang yang diperlukan bantuan dan pengaruh mereka untuk mendorong
orang lain mau mengeluarkan zakat atau mendorong orang lain untuk mampu
mengumpulkan zakat.
“Untuk Aceh senif Muallaf dibatasi pada orang yang
ke-Islamannya belum
lebih dari tiga tahun, berdomisili di kabupaten tempat
Baitul Mal tersebut dan
mengajukan permohonan kepada baitul Mal untuk menerima zakat”,
ujar Alyasa’.
Namun, kata Al Yasa’, untuk melengkapi pembahasan tentang
pengertian senif penerima zakat di atas, ada beberapa hal lain yang patut
diperhatikan sebagai berikut;
(a) Dalam mazhab Syafiiah ada kecenderungan bahwa zakat
tidak boleh dibawa keluar dari wilayah tempat dia dipungut, lepas dari berapa
ukuran luas daerah tersebut (kampung, kabupaten, provinsi, negara), sedang
dalam mazhab lainnya syarat tersebut tidak ada.
(b) Dalam mazhab Hanafiah semua orang yang berhak menerima zakat
(delapan senif) haruslah fakir atau miskin, dan cenderung harus diberikan kepada
orangnya, bukan pada kegiatan.
(c) Dalam mazhab Syafiiah ada kecenderungan setiap senif
zakat hanya boleh menerima maksimal 12,5 % (1/8 dari zakat yang terkumpul),
sedang dalam mazhab lain cenderung tidak disyaratkan, disesuaikan dengan
keperluan dan ketersediaan zakat;
(d) Kuat kecenderungan bahwa ke depan nanti, amil haruslah
badan yang bersifat permanen, sehingga kas zakat tidak pernah kosong,
pengumpulan dan penyaluran dilakukan dengan perencanaan dan pengawasan yang
baik, dan tentu akan berjalan sepanjang tahun, sehingga masalah apakah uang
zakat akan tersimpan lama oleh amil tidak lagi menjadi isu penting;
(e) Ada kecenderungan bahwa zakat tidak seluruhnya harus dibagikan
kepada mustahik sebagai milik; sebagian zakat boleh disalurkan dalam bentuk
kegiatan sehingga mustahik hanya menerima manfaat dan bukan uangnya; sebagian
zakat juga boleh disalurkan dalam bentuk pinjaman sehingga mustahik harus
mengembalikannya kepada amil (setelah kesukarannya teratasi), dan amil akan
meminjamkannya kembali kepada mustahik yang baru, dan begitulah seterusnya.
Memperhatikan ‘illat
Di akhir pemaparan makalahnya, Al Yasa’
menyimpulkan bahwa Pertama, walaupun kelompok penerima zakat dibatasi pada
delapan senif, tetapi dengan memperhatikan `illat yang dikandung oleh
masing-masing senif.
“Maka pengertian senif ini dapat
dikembangkan dan diperluas sehingga mencakup banyak kelompok orang dan banyak
kegiatan pokok (penting, mendasar) yang diperlukan umat”, ujar Alyasa’ lagi.
Selain itu, Al Yasa’ juga mengatakan bahwa pada saatnya nanti zakat akan terkumpul dalam jumlah yang relatif banyak, maka amil (baitul mal) berpotensi menjadi lembaga keuangan yang besar dan disegani. Untuk itu kita harus mulai berpikir bahwa pada saatnya nanti zakat akan disimpan dan dkelola sebagai modal permanen milik umat yang tidak boleh dibagi habis.
Modal ini akan dikembangkan dengan cara menginvestasikannya, dan yang akan dibagikan kepada mustahik hanyalah jasa atau hasilnya saja.
“Sekiranya dibandingkan, keadaan ini lebih kurang sama dengan kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab yang tidak mau membagi tanah pertanian yang dibebaskan di Irak (tanah Sawad). Beliau menetapkan tanah tersebut akan dikelola oleh negara (menjadi milik umat) sedang untuk pihak yang seharusnya menerima pembagian tersebut dia berikan hasilnya, secara berkala dengan perimbangan tertentu”, ujar Al Yasa’. [Zulkhairi/Majalah Suara Darussalam]