Mau Menikah, Kok Gak Bisa Baca Al-Qur’an?
Oleh: Muhammad Nasril, Lc. MA - Penghulu pada KUA Nisam Aceh Utara
Menuju ke jenjang pernikahan merupakan
sebuah tujuan yang sangat mulia. Mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan juga sebagai
benteng untuk menghindari dari perbuatan maksiat. Menikah bukan sekedar
ikut-ikutan, akan tetapi menikah
merupakan bagian dari ibadah yang harus dipersiapkan sebaik mungkin. Baik persiapan
fisik, materi, ilmu, spiritual dan bekal-bekal lainnya untuk meraih keridhaan
Allah SWT. Kemampuan membaca Al - Qur’an
bagi calon suami maupun istri merupakan
suatu keharusan dalam membangun rumah tangga.
Selain bernilai ibadah bagi
yang membacanya, Al - Qur’an juga bisa
menenangkan hati yang membaca, seperti firman Allah SWT “Dan
Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi obat (penawar) dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian.” (QS al-Isrâ’ 17: 82) dan Sabda Rasulullah SAW “Sebaik-baik obat adalah al-Qur`an.” (HR Ibnu Majah).
Dalam
hadits lain Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa membaca satu huruf dari Al -
Qur’an maka dia mendapat satu kebaikan,
sedangkan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat, saya tidak
mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif satu huruf, Lam satu huruf,
dan Mim satu huruf.(HR Tirmidzi) dan banyak dalil-dalil lainnya tentang
keutamaan membaca Al-Qur an. Sudah seharusnya kita meluangkan waktu untuk
belajar, membaca dan mentadabbur al-Qur an.
Fenomena akhir-akhir ini,
banyak calon pengantin (Catin) baik pria maupun wanita yang tidak mampu membaca
Al - Qur’an dengan alasan bermacam-macam, ada yang mengatakan karena dulu konflik
jadi tidak sempat belajar mengaji, sibuk bekerja untuk memenuhi kehidupan dan
alasan-alasan lainnya. Fenomena ini sangat meresahkan jika dibiarkan begitu
saja.
Mampu membaca Al-Qur’an memang bukan bagian dari rukun atau syarat
sahnya nikah, akan tetapi Al-Qur’an adalah pedoman hidup umat Islam, sungguh
sangat tidak pantas untuk diabaikan hanya karena alasan konflik dan sibuk bekerja.
Kewajiban bisa membaca Al-Qur’an bukan semata-mata karena hendak menikah, akan
tetapi sebagai seorang muslim/muslimah sudah seharusnya mampu membaca Al -Qur’an
dengan baik dan benar, minimal di dalam
shalat, yaitu surat Al-Fatihah yang wajib dibaca pada saat melaksanakan ibadah
shalat lima waktu.
Banyak calon pengantin yang
tidak bisa membaca/menghafal Al-Fatihah dengan benar, padahal Al-Fatihah
merupakan salah satu rukun shalat. Dulu, mungkin aib bagi orang yang mau menikah
tapi tidak bisa membaca Al-Qur’an, sehingga tidak heran kalau calon pengantin
jauh-jauh hari sibuk mencari Tengku Imam untuk belajar mengaji dan dasar-dasar
agama sebagai bekal baginya kelak.
Orang
tua yang tidak bisa mengaji, secara tidak langsung sedikit banyak akan
memberikan dampak negatif kepada anak, seperti si anak tidak mau mempelajari Al
- Qur’an karena si anak tahu kalau ayahnya
tidak bisa mengaji, begitu juga bagi ibu yang merupakan sekolah pertama bagi
anak-anak, bagimana ia mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anaknya sedangkan ia sendiri tidak
bisa.
Pemerintah
telah berusaha untuk mendukung calon pengantin supaya bisa membaca Al-Qur’an melalui bimbingan dan penasehatan calon
pengantin. Akan tetapi upaya pemerintah akan sia-sia kalau belajar baca Al-
Qur’an hanya sekedar tidak enak dengan Tengku
Imam dan penghulu di KUA.
Seandainya
pemerintah mewajibkan lulus baca al Qur’an sebagai syarat nikah seperti para Caleg,
tentu hal ini akan banyak yang protes dan banyak pula yang belum menikah sampai
sekarang.
Kalaupun
bagi yang tidak bisa membaca al-Qur an, nikahnya tidak ditunda karena dikhawatirkan
akan menimbulkan mudharat yang lebih besar yaitu perzinaan, akan tetapi
setidaknya ia sebelum hari ‘H’ pernikahannya, para catin sudah berusaha untuk belajar membaca Al
-Qur’an, Seperti mendatangi Tengku, Ustad atau guru untuk belajar baca
Al-Qur’an. Mencoba melihat perintah untuk menikah bagi mereka yang memiliki Ba
ah (kemampuan), pada syarat pasutri yaitu Islam, setidaknya ia memiliki
pengetahuan dasar tentang Islam, termasuk diantaranya bisa membaca Al-Qur’an karena
bekal ini salah satu hal yang penting dalam membangun rumah tangga.
Tidak
ada kata terlambat dalam belajar, semestinya malu kalau seorang calon orangtua
tidak bisa mengaji, dibandingkan dengan anak-anak TPA yang pandai membaca Al-Qur’an.
Kalau melihat umur standar dalam pernikahan di Indonesia sesuai dengan UU No. 1
Tahun 1974 yaitu 21 tahun, berarti lebih kurang kita memiliki waktu selama 20
tahun untuk belajar, agar bisa membaca Al-Qur’an.
Walaupun
ia bukan rukun nikah tapi bisa dijadikan sebagai batas waktu maksimal harus
bisa membacanya. Mempelajarinya tidak hanya sebelum nikah tapi juga setelah
menikah nantinya, bagi suami-istri ini merupakan salah satu jalan mewujudkan
sakinah dalam rumah tangga, betapa tidak, setelah seharian sibuk beraktifitas
kemudian meluangkan waktu untuk belajar Al-Qur’an bersama, suami menyimak
bacaan Istri dan juga sebaliknya sambil mengoreksi satu sama lainnya, durasi
waktu tidak perlu lama untuk awal-awal, bisa jadi sehari semalam minimal
sepuluh menit.
Dari kegiatan seperti ini akan melahirkan
keterbukaan dan keakraban dengan pasangan, juga bisa menjadikannya sebagai
waktu yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam rumah
tangga setelah selesai baca Al-Qur’an. Kemudian majlis ilmu ini sebagai taman
syurga yang dicatat sebagai amal shalih dan juga sebagai pendidikan dini bagi
anak-anak, karena sudah dibiasakan dari awal oleh orangtuanya.
Untuk
itu belajarlah Al-Qur’an dari sekarang, jangan sampai ketika akan menikah tidak
bisa membaca kalam ilahi, bahkan sekarang disebahagian daerah untuk masuk sekolah
harus bisa membaca Al-Qur’an.
Langkah
seperti ini sangat bagus dan patut didukung semua pihak. Begitu juga Geuchik
gampong, Tuha Peut dan tengku Imum masing-masing desa memiliki peran penting
untuk mendukung mereka supaya bisa baca al-Qur’an, seperti mengadakan pengajian
rutin bagi pemuda, khusus bagi yang mau menikah dan belum bisa baca Al-Qur an,
harus belajar lebih ekstra lagi.