Menanti 'Political Will' Pemerintah Aceh Dalam Upaya Pengumpulan Zakat
Oleh
Teuku Zulkhairi, MA
Kemiskinan
selalu saja menjadi dilema sebuah bangsa untuk bangkit dan maju. Kemiskinan
juga selalu menjadi kendala untuk merealisasikan ide-ide pembangunan yang dicanangkan
pemerintah.
Dalam Islam dikatakan, “kemiskinan bisa mendekatkan pada kekufuran”. Dalam konteks Aceh, upaya-upaya menanggulangi kemiskinan memang selayanya terus dikuatkan dalam rangka memperkuat posisi Aceh serta khususnya sebagai aplikasi dari perintah agama, bahwa Syari’at Islam yang diterapkan di Aceh sudah seharusnya mampu mengurangi angka kemiskinan.
Dalam Islam dikatakan, “kemiskinan bisa mendekatkan pada kekufuran”. Dalam konteks Aceh, upaya-upaya menanggulangi kemiskinan memang selayanya terus dikuatkan dalam rangka memperkuat posisi Aceh serta khususnya sebagai aplikasi dari perintah agama, bahwa Syari’at Islam yang diterapkan di Aceh sudah seharusnya mampu mengurangi angka kemiskinan.
Dengan
memaksimalkan potensi zakat untuk pengentasan kemiskinan di Aceh, kita akan
membuktikan bahwa pengentasan kemiskinan di Aceh juga menjadi agenda syari’at
Islam yang selama ini cenderung dipahami hanya sebagai “peraturan hukum
menghukum semata”.
Realitas
angka kemiskinan di Aceh
Namun
demkian, realitas selama ini pemerintah belum memaksimalkan potensi zakat yang
dibuktikan dengan masih lemahnya regulasi zakat. Pemerintah masih hanya
mengandalkan dana-dana seperti Otsus, dana bagi hasil migas dan sebagainya. Tidak
ada kemauan politik (poltical will )
pemerintah untuk urusan zakat. Dan hasilnya, ternyata kemiskinan di Aceh tidak
juga berkurang.
Bahkan
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, tahun 2012
yang lalu Aceh menempati peringkat ke lima sebagai Provinsi paling miskin se
Indonesia. Persentase penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis
Kemiskinan) di Aceh pada bulan Maret 2012 sebesar 19,46 persen. Secara
persentase, menurut Hendra Saputra dan Kafrawi Razali (2012), penduduk miskin
di Aceh pada bulan Maret 2012 mengalami penurunan sebesar 0,11 persen
dibandingkan dengan bulan Maret 2011 lalu.
Namun tidak demikian dengan jumlah
penduduk miskin per jiwa, jumlah penduduk miskin tahun lalu sebesar 894.810
jiwa orang bertambah menjadi 909.040 jiwa orang pada tahun ini. Dan secara
Nasional, Provinsi Aceh “naik peringkat” sebagai provinsi yang memiliki
persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia. Tahun 2013 yang lalu, Aceh
menduduki peringkat ke-lima dibawah Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan
NTT.
Ini
tentu sangat ironis. Tidak adanya maksimaliasi potensi zakat sangat besar
kemungkinannya menjadi penyebab gagalnya semua proyek pengentasan kemiskinan di
Aceh selama ini. Kondisi ini berbanding lurus dengan visi politik pemimpin Aceh
dibawah kepemimpinan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf yang sejak masa kampanye
mereka memiliki visi untuk mengentaskan kemiskinan di Aceh.
Dari
berbagai usaha dan upaya pemerintah Aceh dalam menanggulangi kemiskinan,
potensi zakat masih jauh dari perhatian yang maksimal yang dibuktikan dengan
minimnya pengerahan political wiil pemerintah dalam mencapai target
pengumpulan zakat secara maksimal. Padahal, menurut keterangan kepala Baitul
Maal Aceh, Dr Armiadi Musa, MA (Serambi Indonesia, 2013), potensi
zakat di Aceh sangat luar biasa jika mampu dikelola secara massif akan bisa
membiyai sebesar Rp. 3,656,552 untuk setiap warga miskin setiap
bulannya. Jumlah ini melebihi target pemerintah Aceh yang pernah berjanji akan
memberikan 1 Juta/KK bagi warga miskin di Aceh.
Potensi
zakat Aceh diperkirakan mencapai Rp 1,92 Trilyun, namun ternyata realisasi
Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Aceh tahun yang lalu (2012), baik Baitul Maal
Aceh dan Baitul Maal Kabupaten/Kota hanya 125 M saja atau 6,5 % (Serambi
Indonesia, 2013). Dengan realisasi yang seminim ini, bagaimana mungkin kita
bisa berharap Baitul Maal bisa mengentaskan kemiskinan di Aceh ? Sangat
mustahil.
Secara
yuridis, zakat dan pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007
tentang Baitul Mal. Pasal 21 ayat (1) Qanun 10/2007 menetapkan, “Setiap orang
yang beragama Islam atau badan yang dimiliki oleh orang Islam dan berdomisili
dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang memenuhi syarat sebagai muzakki
menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat.”
Sebenarnya, Qanun 10/2007 pasal
45-49 telah mengatur pasal mekanisme penyidikan dan penuntutan terhadap
pelanggaran zakat dan pengelolaannya di Aceh yang memberi kewenangan bagi
Baitul Maal untuk melapor setiap individu atau perusahaan yang ingkar zakat.
Namun realitasnya, kewenangan ini bagi macan ompong karena tanpa disertai oleh
bargaining dan political will yang kuat dari pemerintah Aceh.
Sampai
disini, ternyata persoalannya adalah karena pemerintah Aceh belum melihat
secara serius potensi zakat ini. Hingga hari ini, Pemerintah Aceh, baik
eksekutif maupun legislatif belum terlihat usaha mereka untuk menggalang secara
penuh kekuatan dan bargaining politik (political will) untuk
mencapai target pengumpulan zakat secara massif (dari segala lini). Padahal,
Islam sudah menjelaskan kepada kita bahwa zakat yang merupakan salah satu rukun
Islam ini gunanya adalah untuk mengentaskan kemiskinan.
Efeknya,
hingga hari ini perusahaan-perusahaan dan usaha-usaha yang menghasilkan
keuntungan besar lainnya di Aceh banyak yang tidak membayar zakat. Begitu juga hotel-hotel
di Aceh yang meskipun mereka maraup banyak keuntungan dari kegiatan rutin yang
dibuat oleh instansi-instansi pemerintah di tempat mereka, tapi banyak mereka
tidak mau membayar zakat. Demikian pula orang kaya dan pegawai negeri dan serta
kerja profesi lainnya yang meskipun gaji mereka tinggi namun mereka masih
berlindung pada “dalil khilafiyah” untuk tidak membayar zakat profesi.
Kesempatan emas Zikir
Kita
yakin, kondisi ini pasti akan berubah atau berakhir seandainya ada political
will pemerintah Aceh untuk menggarap potensi zakat secara massif.
Apalagi, pemerintah Aceh kita tahu memiliki dukungan sipil dan juga kekuatan
politik yang sangat dominan dan kuat di lembaga legislatif sehingga sangat
memungkinkan mendesak berbagai pihak yang kontra zakat untuk menunaikan
kewajibannya.
Regulasi
zakat yang kuat dibuktikan dengan adanya paksaan kepada orang-orang atau
perusahaan dan usaha yang sudah wajib mengeluarkan zakat untuk menunaikan
kewajibannya ini sebagai sarana penyucian harga sekaligus sebagai realisasi dan
implementasi rukun Islam yang ke tiga.
Jika
regulasi zakat ini bisa diperkuat pada 2014 ini atau tahun 2015 nanti, maka
regulasi ini insya Allah akan sangat membantu Zikir dalam mewujudkan
janji-janji politiknya selama era kepemimpinan Zikir di Aceh.
Jadi,
jangan sampai setelah pada 2013 ini lembaga zakat swasta di larang eksis di
Aceh berdasarkan Qanun Qanun nomor 10 tahun 2007, lalu kewenangan Baitul Maal
juga tidak diperkuat dengan political wiil pemerintah Aceh.
Lebih
dari itu, lex specialist Aceh di mata pusat sebenarnya juga bisa
dibuktikan oleh pemerintah Aceh dengan membawa tawaran yang kompromis dan
solutif bagi Aceh agar kepengelolaan pajak di Aceh bisa dibagi. Misalnya dengan
tawaran, pajak yang dipungut dari Aceh misalnya agar tidak perlu semuanya
dibawa ke Jakarta dan diatur di sana sebelum kemudian dibagi lagi ke
daerah-daerah.
Pemerintah Aceh misalnya bisa meminta pemerintah Pusat agar 50
persen atau lebih Pajak yang dipungut di Aceh bisa dikelola oleh Baitul Maal
untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat Aceh. Dengan jalan seperti ini, lex
specialist Aceh tidak lagi hanya digunakan untuk simbol-simbol saja oleh
Pemerintah Aceh. Tapi juga yang terkait langsung dengan upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat Aceh.
Selain
memperkuat regulasi zakat di Aceh, peran Baitul Maal di seluruh Aceh saat ini
juga harus didiskusikan dan ditata kembali dengan cara menghimpun berbagai
ide-ide dan masukan konstruktif dari berbagai kalangan. Kita berharap agar
Baitul Mal sebagai pelaku di lapangan dari regulasi yang dibuat pemerintah bisa
mendapatkan kepercayaan masyarakat (public trust).
Kita berharap
Baitul Mal harus responsive, artinya peka terhadap urusan masyarakat dan
membantunya dengan cepat tanpa pengurusan yang berbelit-belit dan elitis
sehingga Baitul Maal betul-betul bisa merakyat dan meraih kepercayaan segenap
masyarakat Aceh. Dengan penguatan regulasi zakat dan pembenahan Baitul Maal di
seluruh Aceh, kita yakin insya Allah kemiskinan di Aceh akan bisa dientaskan.
Amiin