[Qanun Jinayat] Untuk Mencegah Maksiat, Bukan Menghukum
Rapat dengan pendapat Umum di DPRA |
Banda Aceh - Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2009-2014 mengakhiri masa jabatannya
dengan mengesahkan qanun jinayat. Pengesahan qanun jinayat pada 26 September
2014 ini tentu akan menjadi catatan sejarah bagi perjalanan syariat Islam di
provinsi yang dijuluki serambi Mekkah ini.
Qanun ini
mengatur 3 hal masing-masing, Pelaku jarimah, Jarimah (Perbuatan yang dilarang
oleh syariat Islam), dan ‘Uqubat
(Hukuman terhadap pelaku jarimah). Dan seluruh Fraksi-fraksi di DPR Aceh yang
terdiri dari Fraksi Partai Aceh, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar dan Frkasi
PKS-PPP tidak ada perbedaan pendapat terhadap qanun ini.
Pembahasan
hingga pengesahan qanun ini dilalui dengan sangat dramatis, berliku-liku dan
perdebatan panjang, tak jarang pula diiringi dengan aksi unjuk rasa baik dari
mereka yang mendukung maupun dari mereka yang setia menolak setiap kebijakan
yang berkaitan dengan syariat Islam.
Setidaknya
qanun ini sudah pernah disahkan oleh
DPRA periode 2004-2009, namun timbul perbedaan pemahaman antara
legislatif dengan eksekutif saat itu, meskipun sudah disahkan DPRA, Gubernur
Aceh saat itu Irwandi Yusuf menolak untuk membubuhkan tandatangannya, akibatnya
qanun itu nyaris tak berjejak.
Akan tetapi
pada masa Pj. Gubernur Aceh Tarmizi Karim awal tahun 2012 silam qanun ini
kembali mencuat, Tarmizi Karim melalui dinas syariat Islam kembali mengajukan
qanun ini ke DPR Aceh dengan menghilangkan klausul “rajam” yang dinilai menjadi penghalang bagi gubernur
sebelumnya untuk menandatangani qanun itu.
Akhirnya Qanun
jinayat mulai dibahas oleh DPR Aceh dan disepakati meskipun belum sempurna. Banyak
jarimah yang belum sempat dimasukkan kedalam qanun jinayat, sebut saja
pencurian, pembunuhan bahkan narkoba.
Ketua Komisi G
DPR Aceh Ramli Sulaiman berharap qanun ini bisa disempurnakan oleh DPRA periode
2014-2019, diakuinya qanun ini masih terdapat banyak kekurangan yang butuh
penyempurnaan.
“Waktu kami
untuk membahas qanun ini terlalu singkat, kami berharap ini dapat disempurnakan
oleh anggota dewan berikutnya, namun kita berharap yang sudah disahkan ini
hendaknya dijalankan dulu, tentunya setelah melalui proses sosialisasi kepada
masyarakat”ujarnya saat menjawab pertanyaan peserta rapat dengar pendapat umum
di DPR Aceh.
Pengesahan
qanun ini setidaknya menjawab keinginan masyarakat Aceh yang menginginkan
pelaksanaan syariat Islam secara Kaffah (sempurna), karena sebelumnya hanya ada
tiga qanun saja yang digunakan untuk menjalankan pelaksanaan syariat Islam,
yaitu qanun nomor 12, 13 dan 14 tentang Khamar, Maisir dan Khalwat.
Qanun ini
berlaku bagi setiap orang yang beragama Islam yang melakukan jarimah di Aceh,
kemudian juga bagi setiap orang yang beragama non muslim yang melakukan jarimah
di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri
secara sukarela pada hukum jinayat, selain itu qanun ini juga berlaku bagi
non-muslim yang melakukan perbuatan jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam
KUHP atau ketentan pidana diluar KUHP, tetapi diatur dalam qanun ini. Qanun ini
juga berlaku untuk badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.
“Kita
melaksanakan aturan ini karena merupakan amanah dari turunan Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 tahun 2006 pada pasal 129, jadi kita hanya
menjalankan UUPA'' Ujar Prof. Alyasa’ Abubakar, MA, Tim ahli pembahasan qanun
Jinayat.
Sementara itu
jurubicara Fraksi PKS-PPP Makhyaruddin Yusuf berharap qanun ini berlaku untuk
semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu, bahkan ia meminta agar pejabat
yang melakukan jarimah dihukum lebih berat dari masyarakat biasa, hal ini
menurutnya penting untuk menunjukkan bahwa pemerntah Aceh benar-benar serius
menerapkan syariat Islam di Aceh.
“Ini penting
agar masyarakat tidak menilai bahwa hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil saja,
sedangkan mereka yang punya jabatan dan punya uang bisa bebas, oleh karena itu
kami berharap agar untuk pejabat publik dan aparat penegak hukum yang melakukan
pelanggaran harus diperberat hukumannya sepertiga dari yang tertera”ujarnya. [Majalah Suara Darussalam Edisi VI/Abi
Qanita]