Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Sambungan] Beberapa Potensi Polemik



·       
-- Pemungutan zakat bukan berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Daerah (Qanun) tetapi berdasarkan ketentuan syariah (Al-Qur’an dan Hadits).

·         --Jika Zakat sebagai PAD murni maka dapat dimanfaatkan untuk membiayai tugas-tugas Pemerintah dan Pembangunan, tidak harus terikat dengan 8 asnaf mustahik zakat.

---  Jika zakat sebagai PAD murni, Penyaluran zakat harus menunggu pengesahan APBA/APBK, tidak boleh disalurkan walaupun sesudah zakat terkumpul.

·         ---Jika zakat sebagai PAD murni jumlah yang disalurkan harus terikat dengan plafond yang ditetapkan dalam APBD , artinya jumlah yang disalurkan harus sama dengan jumlah yang diterima.

·         -- Jika Penerimaan zakat di bawah plafond APBD, uang tersebut tetap dapat disalurkan seluruhnya padahal sebagiannya bukan zakat. Begitu juga sebaliknya apabila realisasi penerimaan zakat melebihi dari plafond rencana yang dicantumkan dalam APBD satu tahun, maka telah diterapkan peraturan pengelolaan keuangan daerah kelebihan tersebut tidak dapat dicairkan tetapi menjadi SILPA untuk tahun anggaran yang akan datang.

·         -- Pengeluaran zakat dalam APBD dikelompokkan dalam belanja langsung yang jumlahnya relatif besar, sehingga harus dipenuhi berbagai persyaratan terlebih dahulu seperti pelelangan, pemilihan rekanan serta persyaratan administrasi lainnya yang berlaku. Sedangkan penyaluran zakat sudah ditetapkan asnafnya serta tersebar kepada berbagai lokasi yang dipilih.

·         -- Jika zakat sebagai PAD murni, maka dapat digunakan untuk membayar jasa konsultan perencana, konsultan pengawas atau jasa tender padahal bukan sebagai para mustahik
Jika zakat sebagai PAD murni, maka “zakat” tersebut hanya boleh dikelola oleh Pegawai negeri sipil (PNS) yang disebut sebagai pengguna anggaran sesuai aturan pengelolaan keuangan walaupun bukan sebagai amil. [Hayatullah Pasee/Majalah Suara Darussalam]