Menata Kembali 'Adat Ngoen Hukom' Di Aceh
Lambang Kerajaan Aceh, Cap Sikureueng. Foto: Google |
Oleh Nia Deliana*
KALANGAN intelektual lokal
umumnya percaya bahwa adat dan agama di Aceh pernah berhasil berjalan beriringan
dalam membangun sistem sosial dan politik. Keyakinan ini pula yang nampaknya
ingin diwujudkan melalui penegakan shariah Islam di Aceh.
Namun harus diakui, kekurangan
sumber sejarah, sebagaimana yang disadari oleh tokoh-tokoh modern di Aceh, menyebabkan
sulitnya perancangan dan penegakkan hukum yang sesuai dengan konteks sejarah
masa dahulu sekaligus mampu melahirkan analisa-analisa progresifitas yang
menjembatani persoalan sosial dan politik hari ini.
Tidak sama halnya dengan budaya
Afrika yang mengalami proses Arabisasi total, budaya Aceh tampaknya pernah
berjalan secara fleksible dengan budaya-budaya terdahulu, yaitu Hindu. Sulitnya
memisahkan mana budaya Aceh yang secara orisinil terbentuk setelah Islam datang
dengan budaya-budaya Hindu yang telah mengalami proses pengislaman adalah hal
yang mendukung faktor diatas.
Budaya-budaya tersebut misalnya
masih dapat disaksikan dalam upacara-upacara sosial seperti peusijuk, Khanduri
laot, Kanduri Blang, dan lain sebagainya. Hukum-hukum Islam yang ditulis oleh
ulama pada abad ke 17 hingga abad ke 18 barangkali menjadi pedoman populer di
Aceh jika membincangkan legasi hukum yang diterapkan endatu.
Merupakan asumsi yang popular
bahwa persatuan adat dan agama di Aceh telah dicerai-beraikan pada masa
penjajahan. Setiap jari barangkali menuding Snouck Hurgronje sebagai kurator
hukum pribumi handal yang legasi rekonstruksinya masih berlanjut hingga hari
ini. Legasi
dari kebijakan-kebijakan yang berhasil membentuk paradigma permusuhan antara
hukum dan adat.
Kejeniusan pikiran Hurgronje dan
kondisi Aceh yang larut dalam peperangan panjang menyebabkan praktik-praktik
kebudayaan yang dibawa turun-temurun menjadi hilang satu persatu. Lebih parahnya, ditambah lagi dengan kealpaan sumber tulisan yang
menvalidasikan realita hukum yang pernah berjalan bersama kian mencuat, seakan
menjustifikasi kebenaran asumsi penjajahan.
Akibatnya, prolifikasi tulisan
Hurgronje terpaksa menggantikan sumber pribumi dan menjadi satu-satunya
peninggalan yang menjelaskan praktek-praktek hukum dan etnografi Aceh akhir
abad ke-19 dan dibaca oleh banyak generasi Indonesia dan internasional hari
ini.
Pada hakikatnya, penjajahan
Belanda tidak menjadi satu-satunya sebab perceraian antara hukum Islam dan adat
di Aceh. Tanpa disadari, budaya Aceh telah melalui berbagai proses transformasi
dalam kurun waktu lebih kurang 100 tahun terakhir.
Setelah ide-ide Hukum
Hurgronje diberlakukan bagi kalangan pribumi, budaya Aceh secara tidak langsung
telah mengalami transformasi lain yang secara alamiah didominasi oleh pemahaman
dan praktek Islam import dari Timur Tengah. Tentu perkembangan tersebut tidak
terlepas dari pahitnya fakta penjajahan di setiap penjuru negeri Muslim di
dunia.
Sejak masa dibukanya Terusan
Suez pada tahun 1869, interaksi pribumi, terutama dari wilayah-wilayah selain
Aceh, dengan Mekkah dan Madinah meningkat secara signifikan. Wilayah yang juga
disebut al-haramain itu berubah menjadi tempat berkumpul yang krusial dimana
setiap bangsa dengan kenyataan sosial dan politiknya masing masing berbaur dan
berbagi informasi.
Pusat berkumpul lainnya adalah
Kairo dan Hijaz yang merupakan lokasi dimana ide Muhammad Abduh dan Rashid
Redha mengkristal dan dikulminasikan dikalagan pribumi, terutama ketika mesin
percetakan dan selebaran-selebaran koran menjadi kian biasa menyebar dari
seluruh pelosok negeri.
Tidak mengherankan jika
kemudian periodikal-periodikal semacam al-Manar (Kairo), al-Munir
(Sumatra Barat), al-Huda al-Iqbal (jawa), al-Imam (Singapura) dan
lain sebagainya memenuhi penerbitan-penerbitan di Nusantara baik secara terbuka
atau rahasia. Kelompok ini diwakili oleh pejuang-pejuang reformis dari Sumatra
Barat, Melaka, dan Singapura yang terinspirasi oleh reformis-reformis
modernisme Timur Tengah seperti Jamal al-Din al Afghani (1838-1897), Muhammad
Abduh (1849-1905), dan Rashid Ridha (1865-1935).
Menariknya, pada saat yang
sama, pemikiran-pemikiran terhadap purifikasi Islam yang mengakar dari reformasi
di desa Najd, salah satu perkampungan di
Semenanjung Arab, oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) pada pertengahan
abad ke-18, yang menemukan momentumnya sepanjang abad ke-19 juga tidak
terkucilkan dari interaksi-interaksi dengan para jemaah haji yang berada
dikawasan Timur Tengah. Pemikiran yang lebih populer dengan sebutan wahabi ini
kemudian juga ikut dibawa ke Indonesia oleh mereka yang telah menunaikan haji
atau mereka yang telah menunaikan pendidikan ditempat tempat tersebut diatas.
Maka tidak mengherankan jika
kemudian yang berkembang di kawasan Indonesia adalah idealime yang lebih
komplikasi, hasil dari telaah-telaah tumpang tindih antara pemikiran dari pihak
reformis yang berusaha menyesuaikan modernisme dan agama dengan pemikiran pihak
yang juga menyebut diri reformis yang melawan segala manisfestasi penjajahan
dan berpedoman pada pemusnahan budaya-budaya lokal yang dituduh tidak Islami.
Tanpa ingin mengingkari adanya aplikasi bidah dalam beberapa budaya tertentu,
tidak berarti ideologi-ideologi untuk pemusnahan keseluruhan peninggalan budaya
lokal dapat dibenarkan.
Berbeda dengan Aceh yang terus berada dalam
kondisi peperangan, Pulau Jawa yang telah terlebih dahulu tunduk pada
penjajahan barangkali menyebabkan betapa mudahnya penyerapan ide-ide versi
Timur Tengah yang digaungkan oleh para reformis-reformis disana. Itu disebabkan
oleh impian mereka untuk mengusir penjajah dari negeri sendiri sudah begitu
lama tertunda.
Dan ide-ide yang mereka dengar
dan baca dari seorang revolusioner seperti Muhammad Abduh dan Rashid Redha
telah mewakili apa yang tidak mampu mereka tunaikan di negeri sendiri. Namun,
mereka lupa, bahwa ketika mereka kembali ke tanah air, ide-ide tersebut perlu
diakomodasikan dengan ketentuan-ketentuan budaya Islam lokal yang pada
realitanya semakin terpinggirkan.
Ketika ide-ide reformisme
semakin mengaum di Nusantara pada awal abad ke-20, perseteruan antara ulama
tradisional terhadap ide modernisme yang dibawa oleh para reformis tersebut,
yang tidak hanya menganjurkan persatuan antara ilmu pendidikan Barat dan Islam
tapi juga mengajak pada perbaikan pandangan keagamaan melalui jembatan-jembatan
modern sekaligus penolakan terhadap kurafat, kian menajam.
Tidak jauh berbeda dengan yang
terlihat hari ini, hal-hal baru yang dibawa oleh golongan yang disebut juga
Kaum Muda tersebut dicemooh oleh ulama tradisional yang bahkan sampai melabel
mereka wahabi, antek kafir, murtad, dan lain sebagainya. Tentang perseteruan
ini saya kira, Hamka telah mengulas dengan baik dalam bukunya, Ayahku.
Namun sebaliknya, jika respons
ulama tradisional terhadap perkembangan praktek-praktek wahabi sepertinya
mendapatkan tempat yang lebih, itu hanya dalam konteks melawan situasi
penjajahan dan legasi yang ditinggalkan, bukan disebabkan oleh ideologi wahabi
dianggap sebagai ajaran paling benar dari tuhan, apalagi karena ideologi bahwa
orang Arab lebih superior dalam mendakwahkan ajaran-ajaran Islam sebagaimana
yang dipercayai oleh beberapa orientalis Barat.
Namun perlu diingat bahwa
ketika dunia Muslim sedang bergelut dengan perubahan ideologi semacam ini, Aceh
masih merupakan kawasan yang paling terisolasi, bahkan dari perjalanan haji
sekalipun. Oleh karena itu, beberapa perkembangan keagamaan yang terjadi perlu
dibicarakan dengan meletakkan Aceh diluar itu semua.
Meskipun ada komunitas yang
menetap di Mekkah dan memiliki jaringan dagang dan politik yang kuat di Penang
dan Singapura, transfer ide-ide semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan dalam
waktu singkat. Pada hakikatnya, belum ada kajian extensif mengenai respon di
Aceh terhadap reformisme Islam pada abad ke-19.
Beberapa sumber menyebutkan
bahwa Aceh baru terekspos dengan ideologi pembaharuan tersebut pada awal abad
ke-20 sebagaimana yang terlihat dari adanya kontak pendidikan dengan
madrasah-madrasah modern di Sumatra Barat. Atau ide reformis tersebut baru
terlihat batang hidungnya sejak tahun-tahun akhir penjajahan Belanda.
Ini bisa dibuktikan dengan
keterlibatan Syeikh Muhammad Salim al-Kalali (w.1946), seorang Arab dari
Singapura yang wafat di Aceh. Bersama dengan reformis terkenal lainnya, Syeikh
Jalaluddin Thahir (1869-1956) dan Syed Syeikh al-Hadi (1867-1934), ia
mengkontribusikan sejumlah dana dan tulisan untuk penerbitan al-Imam (1906-1909),
sebuah koran yang terinspirasi oleh surat kabar al-Manar dan koran-koran
reformis lainnya. Sejauh apa peredaran koran ini di
Aceh belum dapat dipastikan.
Pasca kemerdekaan, seorang tokoh
Aceh bernama Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi (1904-1975), seorang yang
pernah berguru bahasa Arab dengan Syeikh Muhammad Salim al Kalali, juga
disenaraikan sebagai salah satu reformis yang terinspirasi pembaharu pembaharu
dari Timur Tengah.
Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943)
adalah seorang reformis dari Sudan yang mengajar di madrasah al-Irsyad (Jawa)
dimana beliau mengecap pendidikan keduanya setelah dayah, sosok dan tempat yang
disebut-sebut telah membentuk perangai pemikiran keagamaanya yang moderat. Ini
pun dikuatkan kemudian dengan keputusannya menjadi anggota Muhammadiyah ketika
kembali ke Aceh. Tafsir al Bayan yang ia lahirkan telah menjadi rujukan
keilmuwan Tafsir di Nusantara hingga hari ini.
Tidak diketahui seberapa besar
dampak pemikiran beliau kepada rakyat Aceh. Namun fakta bahwa organisasi
Muhammadiyah tidak mendapatkan tempat yang istimewa dikalangan intelektual Aceh
sendiri menuntun pada keraguan adanya intervensi atau asimilasi pemikiran
moderat as-Shiddieqy terhadap masyarakat Aceh. Apalagi kemudian pada tahun 1951
ia memilih melanjutkan kariernya di Yogyakarta.
Kepergian penjajahan Belanda dan
Jepang dari tanah air secara total pada tahun 1947 tidak lantas menyelesaikan
segalanya. Banyak kawasan termasuk Aceh, harus menjalani kebijakan-kebijakan
warisan kolonial dan terpaksa menghadapi realita untuk memperbaiki setiap sendi
ekonomi, pendidikan, politik, dan aspek-aspek lain yang telah terguncang
sepanjang masa penjajahan. Hingga saat ini pun, aspek-aspek diatas belum bisa
disembuhkan sepenuhnya secara merata di seluruh pulau di Indonesia, apalagi di
Aceh.
Namun disisi lain, sejak tahun
1960an, importasi ide-ide Islam dari Timur Tengah semakin tak terbendungkan. Tanpa
bisa dihindari, panggilan-panggilan yang bernafaskan reformisme bercampur aduk
dengan suara-suara wahabi yang menyebabkan peningkatan analisa terhadap
teks-teks qurani yang merespon pada adjustifikasi modernisme di satu sisi, tapi
disisi lain juga menyebabkan penistaan terhadap bukti-bukti bahwa di Aceh, adat
dan hukum pernah bagaikan dua koin yang tak terpisahkan.
Mungkin kita ingat senarai
perdebatan mengenai Islami atau tidakkah peusijuk di Aceh yang sudah
terdengar sejak tahun 1980an. Sebagian kalangan menolak bahkan melarang
pelaksanaan peusijuk di Aceh, sebuah budaya yang telah lama menjadi bukti
kemampuan adat lokal berjalan beriringan dengan agama. Pun hingga hari ini,
masyarakat Aceh sendiri masih terpecah belah dalam memahami dan mengaplikasikan
peusijuk.
Tampaknya, keberlanjutan
pengabaian lokalisasi budaya Islam lokal di Aceh lebih banyak disebabkan oleh
konflik kebijakan antara Indonesia dan Aceh sejak awal tahun 1950an. Kemudian
disusul oleh konflik lainnya yang berlangsung selama 30 tahun. Kita tidak
mungkin lupa, bagaimana para pejuang-pejuang GAM atas nama Islam menghukum
perempuan-perempuan di Aceh karena pakaian mereka, membakar mall dan
tempat-tempat yang dinilai tidak Islami.
Namun disisi lain, mereka juga
melarang anak-anak belajar dibawah kurikulum Indonesia dan ikut terlibat dalam
pembakaran sekolah dan pemutusan sarana publik seperti listrik dan lain
sebagainya. Selain itu, klaim bahwa arak-arakan dan penelanjangan di sepanjang
desa bagi penzina merupakan ketentuan adat kampung, perlu dikaji kembali karena
hingga saat ini dasar klaim tersebut ini belum bisa ditemukan dimanapun kecuali
secara oral, dan itupun berasal dari mereka yang hidup selama masa pertikaian
GAM dan RI.
Tentu kita tidak patut
menyalahkan apa yang terjadi pada masa kelam ini pada satu pihak saja, karena
perkembangan seperti ini secara alami selalu mengekori sebuah peperangan.
Namun, kesan yang ditimbulkan,
secara langsung atau tidak, telah membentuk paradigma masyarakat umum akan
‘metode’ penegakkan hukum Islam yang masih terus melekat dalam memori
masyarakat kita. Paradigma yang mirisnya, semakin menambah daftar kealpaan
fleksibilitas antara adat dan hukum Islam.
Masih berlanjut hingga hari
ini, ketidak-populeran budaya
tradisional dikalangan masyarakat bawah juga dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan budaya pemerintah Indonesia yang tidak memberi ruang bagi
pelaksanaan-pelaksanaan aturan yang seharusnya didampingi dengan budaya-budaya
lokal. Misalnya undang undang pemerintahan desa tahun 1975 pasal 75 ayat 5 yang
tidak menyertakan fungsi keunchik dan imam sebagai dua bagian tidak terpisahkan
dalam budaya Aceh.
Undang-undang tersebut meski
telah diatur kembali dalam UU/11/06,
disusul kemudian dengan kebijakan pemerintah daerah yang tertuang dalam qanun
no 9 tahun 2008 tentang pembinaan
kehidupan adat istiadat, dan qanun nomor 10 tahun 2008, tentang lembaga
adat, fungsi Imeum masih belum bisa dijalankan sesuai dengan kandungan
lokal.
Lebih menyedihkan lagi,
perkembangan zaman menjadi sebab lainnya mengapa memori adat dan hukum Islam di
benak masyrakat Aceh kian terpinggirkan.
Sebagaimana menurut Prof.
Al-Yasa’ Abubakar dalam salah satu tulisan dalam blognya,
alyasaabubakar.blogspot.com, ada banyak generasi Aceh yang tidak lagi mengenal
cerita-cerita moral Islami dari hikayat-hikayat Aceh secara khusus dari pihak
dilingkungannya melainkan beberapa sahaja yang mendengarnya melalui bacaan atau
ceramah. Anak-anak tingkat TK/SD lebih mengenal program program kartun popular
dari televisi dan lebih dipengaruhi oleh program-program semacam ini.
Hari ini, masyrakat Aceh masih
tidur dalam mimpi bahwa hukum dan adat sudah berjalan sebagaimana mestinya di
Aceh. Tapi pada kenyataanya, ada banyak pseudo-teori asas hukum dan adat Aceh
yang masih harus diperbaiki secara bersama-sama, yang harus melibatkan setiap
pemikir dan pekerja dari berbagai bidang disiplin untuk merajut kembali apa
yang telah lama hilang dan mensosialisakan proses dan hasilnya kepada
masyarakat bawah, dipinggiran kota dan pedesaan yang telah lama tidak tersentuh
dengan cahaya-cahaya pengetahuan kekinian.
Setiap program rekontsruksi
identitas harus melibatkan praktik dan perspektif ke-Islaman lokal yang masih
mampu dijejaki. Ini merupakan salah satu jalan yang tidak hanya akan mencerdaskan
bangsa tapi juga membangun jalan menuju kemakmuan fisik dan mental.
*Penulis adalah Aktifis PuKAT (Pusat Kebudayaan
Aceh dan Turki), berdomisili di Banda Aceh.