'Fi Sabilillah' Dalam Pandangan Ulama Fikih dan Tafsir
Oleh Dr.
Analiansyah, M.Ag
Tulisan ini menjelaskan pengertian fi
sabilillah yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60, yaitu ayat yang
menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat. Secara
etimologi, fi sabilillah berarti pada jalan Allah. Sebagai salah satu
senif penerima zakat, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan siapa orang
yang termasuk fi sabilillah.
I.
Pendapat Ulama Fikih Mazhab
a. Menurut
Mazhab Ḥanafī
Dalam mazhab Ḥanafī
terdapat dua riwayat mengenai pengertian
fī sabīlillāh. Kedua riwayat ini disandarkan kepada Imam Abu Hanifah.
Yang pertama diriwayatkan oleh Muḥammad dan
kedua diriwayatkan oleh Abū Yūsuf.
1). Menurut Muḥammad,
fī sabīlillāh adalah: Orang-orang fakir yang melaksanakan haji
kemudian terputus belanjanya. Muhammad mendasarkan pendapatnya dengan hadis
Nabi saw, yang artinya: Sesunggulanya
seorang laki-laki menjadikan unta miliknya dijalan Allah, kemudian Rasulullah
menyuruh agar menggunakannya untuk keperluan haji.
Terhadap
pendapat Muḥammad, Ibn ‘Ᾱbidīn
mengatakan bahwa keperluan haji dan umrah adalah bagian dari fī sabīlillāh,
termasuk juga orang yang menuntut ilmu. Namun semua ini hanya berlaku pada
selain senif mustaḥīq
(penerima) zakat, seperti wasiat dan lainnya. Sedangkan fī sabīlillāh
dalam ayat 60 surat al-Taubah hanyalah diberikan kepada tentera yang fakir.
Berdasarkan
penjelasan Ibn ‘Ᾱbidīn di atas, penulis menduga, makna fī
sabīlillāh yang diberikan oleh Muḥammad adalah
dalam pengertian yang umum, ia tidak terkait dengan salah satu senif mustaḥīq
zakat. Hal ini dapat diketahui berdasarkan makna fī sabīlillāh yang
diberikan Abū Yūsuf di bawah ini adalah bersesuaian dengan pendapat Ibn ‘Ᾱbidīn,
ditambah lagi dengan kedua makna fī sabīlillāh yang diberikan oleh Muḥammad
maupun Abū Yūsuf bersumber dari Abu Ḥanīfah.
2). Menurut Abū Yūsuf, fī
sabīlillāh adalah: Orang fakir yang berperang. Abū Yūsuf berpendapat
lafadh fī sabīlillāh dalam ayat 60 surat al-Taubah adalah khusus (khas)
ditujukan kepada orang yang berperang. Lafadh fī sabīlillāh dalam
konteks mustahḥīq
zakat tidak dapat dipergunakan untuk pengertian yang umum, yaitu meliputi semua
perbuatan yang menunjukkan ketaatan, meskipun pada dasarnya semua ketaatan
adalah fī sabīlillāh. Lebih lanjut Abū Yūsuf membatasi makna fī
sabīlillāh dalam ayat 60 surat al-Taubah kepada orang berperang yang fakir.
Dasar pembatasan ini adalah hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: Dari Ibn ‘Abbās
ra bahwasanya Nabi saw, mengutus Muaẓ ra ke Yaman, Rasulullah saw bersabda:
... Sesungguhnya Allah menetapkan sedekah (zakat) pada harta-harta mereka yang
diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang fakir di
kalangan mereka. (HR. Bukhari).
Hadis di atas
menjadi pembatas (qayyid) dari kemutlakan lafadh fī sabīlillāh.
Meskipun terdapat hadis lain yang menerangkan bahwa zakat halal diberikan
kepada orang berperang yang kaya, makna hadis tersebut berbunyi: Dari ‘Atā’
Ibn Yasār bahwa Rasulullah saw bersabda: Zakat itu tidak halal kepada orang
kaya, kecuali lima kelampok, yaitu kepada orang yang berperang pada jalan
Allah, ‘āmil
(zakat), orang berhutang, orang yang membayarnya dengan hartanya, orang mempunyai
tetangga yang miskin lalu diberikan kepadanya, tapi orang miskin
menghadiahkannya kembali kepadanya. (HR. Abū Dāwud).
Menurut Abū
Yūsuf, yang dimaksud dengan kaya (al-ghanī) dalam hadis ini adalah kuatnya badan dan mampu berusaha,
sedangkan dia tidak memiliki harta, jadi bukan kaya dalam arti memiliki harta.
Penakwilan makna ini didasarkan kepada hadis “Zakat itu diberikan kepada orang
fakir di kalangan mereka: Atas dasar inilah ditetapkan bahwa fī sabīlillāh
adalah orang berperang yang fakir.
Dari
penjelasan yang ada, penulis melihat makna fī sabīlillāh yang diberikan
Abū Yūsuf masih terdapat kekaburan, yaitu apakah zakat pada senif ini
diberikan kepada tentara sukarela, tentara yang mendapat gaji tetap dari
pemerintah atau boleh keduanya. Kemudian, apakah zakat dapat dipergunakan untuk
membeli peralatan (baik peralatan perang atau lainnya) yang digunakan dalam
peperangan. Berdasarkan keadaan ini, penulis berpendapat bahwa makna fī
sabīlillāh yang diberikan Abū Yūsuf masih memerlukan penjelasan tambahan
agar rnenjadi lebih sempurna.
b. Menurut
Mazhab Mālikī
Menurut mazhab
Mālikī, fī sabīlillāh adalah:
Pejuang yang memiliki ikatan diberikan yang menjadi kebutuhan mereka dalam peperangan,
baik keadaan mereka kaya, maupun miskin. Mazhab Mālikī menambahkan, al-ghuzāh
adalah sinonim dari mujahid. Lafadh ini digunakan untuk pengertian orang
yang melakukan jihad berupa peperangan, termasuk juga orang yang berada di
perbatasan, untuk membeli peralatan perang, seperti pedang, tombak dan lainnya,
termasuk juga ke dalamnya adalah mata-mata yang diutus untuk menunjukkan
kelemahan dan posisi musuh. Mazhab ini tidak membatasinya kepada mujahid yang fakir
saja, tetapi termasuk juga mujahid yang kaya ketika peperangan berlangsung.
Mazhab Mālikī
secara tegas mengatakan bahwa zakat senif fī sabīlillāh tidak boleh
dipergunakan untuk membuat pagar tembok yang mengelilingi kota, untuk
berlindung dari orang-orang kafir, dan juga tidak boleh dipergunakan untuk
membuat kendaraan yang digunakan untuk membunuh musuh.
c.
Menurut Mazhab Syāfi‘ī dan Ḥanbalī
Menurut mazhab
Syāfi‘ī dan Ḥanbalī,
fī sabīlillāh adalah: Orang-orang yang berperang dengan sukarela sedang
mereka tidak memperoleh hak; gaji dari negara bagian tentara muslim. Karena
sesungguhnya mereka tidak diberi zakat dari bagian orang yang berperang, karena
memperoleh rezeki dari rampasan perang.
Fī sabīlillāh
ini sama dengan al-ghāzi, yaitu orang yang berperang. Kepada mereka
diberi zakat walaupun dia kaya, serta diberi alat yang dapat membantu mereka
dalam peperangan. Yang menjadi dalil senif fī sabīlillāh boleh
diberikan kepada orang yang kaya adalah hadis ‘Athā’ Ibn Yasār seperti disebutkan di atas. Kedua
mazhab ini berpendapat makna fī sabīlillāh adalah peperangan.
Hal ini
dapat dipahami secara langsung dari lafadh itu sendiri. Karena
kebanyakan ayat yang terdapat dalam al-Qur’an menunjukkan kepada makna itu,
seperti firman Allah dalam surat al-Ṣaffāt ayat 4
dan al-Baqarah ayat 190. Makna surat al-Ṣaffāt
ayat 4 adalah: Sesungguhnya Allah mengasihi
orang-orang yang berperang pada jalan-Nya dengan berbaris-baris. Adapun makna surat al-Baqarah ayat 190, berbunyi: Perangilah olehmu
pada jalan Allah.
Mazhab ini
tidak menggolongkan ke dalam fī sabīlillāh selain dari peperangan, meskipun
terdapat dua buah hadis yang mengatakan bahwa haji merupakan bagian dari fī
sabīlillāh. Mazhab ini mengatakan bahwa hadis itu adalah ḍa‘īf (lemah),
sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk menetapkan bahwa haji merupakan
fī sabīlillāh yang menerima zakat.
Khusus dalam
mazhab Ḥanbalī, mengenai permasalahan haji, apakah termasuk
fī sabīlillāh atau bukan, terdapat dua pendapat, yaitu:
1)
Pendapat pertama mengatakan bahwa fī
sabīlillāh juga termasuk untuk keperluan haji. Sebagaimana terdapat hadis Nabi
yang artinya: Sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang laki-laki menjadikan
unta miliknya pada jalan Allah namun istrinya ingin melaksanakan haji, maka Nabi
saw. berkata kepada isterinya: Tunggangilah unta itu untuk pergi haji, karena
haji itu bagian dari sabīlillah. (HR. Abū Dāwud).
Pendapat yang
pertama ini tidak disebutkan siapa nama ulama yang mengeluarkannya.
Mengomentari hadis ini, Mufliḥ al-Maqdisī
berpendapat bahwa hadis ini hanya berlaku dalam hal wasiat. Seperti orang
berwasiat memberikan seekor unta untuk keperluan fī sabīlillāh, maka boleh
dipergunakan untuk keperluan haji.
Jadi hal ini bukan dalam hal penerima zakat.
Karena pada dasarnya semua kebaikan itu adalah fī sabīlillāh. Sedangkan fī
sabīlillāh dalam ayat ini menunjukkan kepada makna khusus, yaitu pejuang
pada jalan Allah. Sekiranya memberikan zakat untuk orang yang melaksanakan
ibadah haji, lebih utama memberikannya kepada fakir.
2). Pendapat kedua mengatakan bahwa
haji tidak termasuk ke dalam fī sabīlillāh. Karena sabīlillāh
telah mutlak digunakan kepada orang yang berperang. Karena sesungguhnya bukan
kemaslahatan bagi kaum muslimin pada haji orang fakir. Islam tidak membebankan
kewajiban haji kepada orang fakir.
II.
Menurut Ulama Tafsir
a.
Menurut Al-Ṭabarī
Menurut Ṭabarī,
makna lafadh fī sabīlillāh adalah tentara yang berperang pada jalan
Allah. Dalil yang menunjukkan kepada makna ini adalah hadis Nabi saw, yang
maknanya: Dari ‘Atā’ bin Yasār, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda:
Zakat tidak halal bagi orang kaya, kecuali kepada lima kelompok, yaitu
seseorang yang berjuang di jalan Allah, seseorang yang bekerja sebagai ‘āmil,
orang yang berhutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau
seseorang yang memiliki tetangga yang miskin, dia menyedekahkan untuk orang
miskin tersebut kemudian orang miskin itu menghadiahkan kembali kepada orang
kaya.
Hadis lain lainnya adalah: Dari Abī
Sa‘īd al-Khudrī beliau berkata, Nabi saw bersabda: Zakat tidak halal bagi orang
kaya, kecuali kepada tiga kelompok, yaitu: pada jalan Allah, ibn sabīl atau seseorang
yang bersedekah untuk tentangganya kemudian tetangganya itu menghadiahkan
kembali kepadanya.
Dalam kedua hadis di atas, tidak
terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa fī sabīlillāh adalah tentara
yang berperang. Tampaknya Ṭabarī memahami bahwa fī sabīlillāh yang
dimaksudkan dalam kedua hadis di atas adalah tentara yang berperang pada jalan
Allah.
Berdasarkan hal inilah beliau menetapkan makna fī sabīlillāh yang
dimaksudkan dalam ayat 60 surat al-Taubah adalah tentara yang berperang. Dalam
penjelasannya, Ṭabarī tidak menerangkan apakah tentara
yang dimaksud di sini adalah tentara yang memiliki ikatan, yaitu yang mendapat
gaji tetap dari Negara, atau tentara sukarela. Hal ini menimbulkan kekaburan
makna fī sabīlillāh yang beliau buat.
b. Menurut al-Qurṭubī
Dalam menjelaskan makna fī
sabīlilāh, Qurṭubī mengutip pendapat para sahabat dan
tābi‘īn. Dari riwayat yang beliau sebutkan, fī sabīlillāh memiliki dua
makna, yaitu:
1.
Tentara
yang berperang pada jalan Allah yang memiliki ikatan. Kepadanya diberi zakat,
baik dalam keadaan fakir maupun kaya. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama.
Makna ini berdasarkan hadis dari ‘Aṭā’ Ibn Yasār dan Abī Sa‘īd al-Khudrī,
sebagaimana telah disebutkan di atas.
2.
Haji
dan umrah.
Pemaknaan lafadh fī sabīlillāh kepada makna tentara
yang berperang pada jalan Allah dikemukakan oleh jumhur ulama. Sedangkan
pemaknaan fī sabīlillāh kepada haji dan umrah dikemukakan oleh Ibn ‘Umar
serta riwayat dari Aḥmad dan Ibn Isḥaq. Dalam
hal ini, Qurṭubī hanya memaparkan dua riwayat
tersebut tanpa membantah atau menguatkan salah satu pendapat. Dengan demikian
tidak dapat diketahui secara pasti apakah dia mendukung kedua riwayat tersebut
atau tidak.
c. Menurut Muḥammad Rasyīd Riḍa
Rasyīd Riḍa
menerangkan bahwa sabīl adalah jalan. Jadi sabīlillāh adalah
jalan al-i‘tiqādī al-‘amalī yang menyampaikan kepada keridaan-Nya. Dalam
al-Qur’an kebanyakan istilah jihad dan perang digunakan istilah fī
sabīlillāh. Berdasarkan hal itu para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan fī sabīlillāh dalam ayat ini adalah peperangan.
Rasyīd Riḍa mengutip
pendapat beberapa ulama tentang makna fī sabīlillāh ini, namun dalam
kesimpulan akhirnya beliau mempunyai pendapat sendiri. Pendapatnya ini berbeda
dengan pendapat ulama-ulama yang dikutipnya. Rasyīd Riḍa mengatakan
fī sabīlillāh dalam ayat 60 surat al-Taubah meliputi kemaslahatan kaum
muslimin secara umum, yaitu yang dapat menegakkan urusan agama dan Negara,
selain kepentingan pribadi. Termasuk di dalamnya adalah syi‘ar haji dan
menegakkan kepentingan umum, seperti mengamankan jalan menuju ke haji dan
menyediakan air dan urusan lain yang menyebabkan kenyamanan bagi orang yang
berhaji jika tidak terdapat dari sumber lain.
d.
Menurut Muḥammad ‘Alī al-Sāis
Muḥammad ‘Alī
al-Sāis hanya mengutip pendapat ulama fiqh empat mazhab tanpa mentarjīḥ (menguatkan) salah satu pendapatpun. Dalam memberi makna lafazh
fī sabīlillāh, beliau hanya menampilkan pendapat empat ulama mazhab, yaitu
mazhab Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī dan Ḥanbalī. Dalam hal ini penulis tidak menemukan alasan mengapa
beliau hanya mengutip pandapat ulama mazhab, tanpa mentarjīḥ salah
satu pendapat yang beliau anggap lebih benar.
Wallahu a’lam
bishshawab.
Penulis adalah Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh