Mengantisipasi Misionarisme Kristen
Syamsul Bahri |
Oleh Syamsul Bahri, MA
Penulis
adalah Dosen Tidak Tetap di UIN Ar-Raniry Banda Aceh/ peneliti di Lembaga Studi
Agama dan Masyarakat (LSAMA) Aceh.
Agama merupakan
salah satu bidang yang cukup menarik untuk diteliti. Ketika menjadikan agama
sebagai ladang penelitian rasanya seperti mengungkapkan sedikit demi sedikit
perihal utuh kehidupan manusia, dan semuanya dibungkus dengan ragam pendekatan
kajian agama, seperti sosiologis, antropologis, psikologis, filosofis dan lain
sebagainya.
Karena
agama adalah subjek penelitian, maka beberapa perilaku praktik keagamaan akan
jelas terukur, sistematis dan bisa dipertanggungjawabkan.
Layaknya meneliti
bidang sosial, hubungan sesama manusia akan terungkap dengan berbagai rupa.
Begitu pun agama, meskipun ia berada dalam wilayah privasi manusia, berwujud abstrak,
namun realitanya adalah dinamika hidup manusia yang akan mempengaruhi segala
aspek, terutama perubahan budaya dan tingkah laku.
Terpilihnya
Ahok sebagai Gubernur memang sangat pelik bagi umat Islam. Secara
teologis-normatif umat Islam memang
dilarang mengangkat pemimpinnya dari non-muslim, tapi apa hendak dikata,
Indonesia bukan negara Islam melainkan negara Pancasila, yang dengannya Ahok
mendapat legalitas menjadi pemimpin.
Pelantikan Ahok tahun ini tergolong sangat
fenomenal, hal ini disebabkan banyak tantangan dari ormas Islam yang mesti
dihadapi, seperti Front Pembela Islam (FPI). FPI nyatanya menolak kepemimpinan
Ahok ini, bahkan secara dramatis mengangkat kepemimpinan sendiri dari ormas
Islam itu.
Bagi
sebagian muslim, kepemimpinan Jokowi telah “ternoda” dengan hadirnya Ahok
sebagai gubernur, dengan megahnya acara pelantikan yang dihelat itu justru
mengiring keruntuhan “keimanan” Jokowi. Kepercayaan sebagian masyarakat kepada
Jokowi sudah sedikit luntur gara-gara formalitas pelantikan ini. Lebih daripada
itu, ada isu yang mencuat di lapangan bahwa Jokowi sebentar lagi akan meliberalisasikan
Indonesia. Mungkin secara implisit pernyataan ini ditujukan kepada sikap Jokowi
yang dikenal pluralis dah humanis.
Kenyataan
akademitif berkata lain, tanpa mempersoalkan tekstualitas ayat qauliyah—karena
juga beragam tafsir—yang menyatakan larangan mengangkap pemimpin non-muslim,
juga selain dari pendekatan sosial dan antropologis manusia, kondisi sosial
keagamaan umat muslim Indonesia akhir-akhir ini sedikit ‘tegang’ dan ‘panas’.
Beberapa sumber menyebutkan dengan
lahirnya Ahok sebagai orang nomor satu di Ibukota, akan tumbuh subur lagi
misionarisme Kristen, yakni sebuah aksi ideologi yang tidak diperkenankan oleh
penganut Islam.
Kemudian akan mengurangi lagi jumlah persentase muslim
Indonesia. Akibatnya kaum yang radikal dalam Islam tidak nyaman dengan realitas
ini, sehingga cara-cara tidak lazim bisa saja dipergunakan suatu waktu. Inilah
persoalan yang menjadi perhatian kita, terutama tokoh muslim Indonesia, yang
perlu sekali duduk menyimpulkan pendapat ini.
Identifikasi
Misionaris
Agama
langit (samawi) identik dengan agama misionaris (dakwah), kecuali agama
Yahudi. Islam adalah agama dakwah, yang mana ajarannya disebarkan setiap hari
dimanapun muslim itu berada, baik kepada umat muslim maupun kepada non-muslim.
Cara dakwah (misonarisme) pun berbagai macam, mulai dari dakwah bil lisan
di lapangan sampai dengan dakwah bil kalam melalui tulisan-tulisan.
Begitu juga agama Kristen, ia punya misi mengkristenkan pemeluk agama lain.
Metode dakwah (penginjil) mereka juga sama dengan yang dilakukan oleh umat
Islam, hanya saja proporsinya yang berbeda. Kedua agama ini menduduki peringkat
utama dalam usaha menyebarkan agamanya masing-masing.
Masalahnya
terkadang muncul dilapangan, umat Kristiani tidak secara terang-terangan
menyebarkan agamanya. Hal ini disebabkan aksi mereka tidak mendapat tempat yang
baik dalam masyarakat Indonesia, bahkan bisa berujung kepada kematian kalau
terbukti memurtadkan umat Islam dan tidak ditangani secara langsung oleh pihak
berwajib. Umat kristiani masih sangat terkekang menjalankan misinya di
Indonesia, mereka hanya ada pada sudut-sudut tertentu dalam komunitas muslim.
Barangkali karena agama ini tergolong minoritas di Indonesia, sehingga apapun
yang dilakukan mereka terkait misionarisme bisa terdeteksi oleh kaum muslim,
sehingga ruang gerak mereka terbaca oleh media dan akhirnya diketahui oleh
masyarakat.
Berbeda
90 derajat dengan muslim, mereka dengan leluasa menyampaikan dakwahnya tanpa
tersendat dari pihak eksternal. Muslim telah menguasai media-media tanah air,
baik media elektronika maupun media cetak. Beginilah kenyataan misionarisme di
Indonesia, yang mayoritas semakin mainstream dan minoritas masih berusaha
mendobrak tradisi muslim ini.
Namun bukan rahasia lagi biasanya yang minoritas
semakin hari semakin membaik, cara kerjanya
makin rapi, terorganisir, dan setahap- demi setahap bisa mencapai
tujuannya. Sedangkan kelompok mayoritas biasanya terlena dengan kemapanan dan
enggan melakukan cara-cara baru terkait dengan misionarisnya.
Buktinya semenjak
Indonesia merdeka sampai dengan era reformasi (1998) umat Islam berjumlah
sekitar 98 persen, setelah era tersebut umat Islam semakin berkurang menjadi 86
persen. Inilah yang dikhawatirkan oleh pemuka-pemuka agama Indonesia, apalagi
semua ini sangat tergantung dan dipengaruhi oleh siapa yang menjadi pemimpin.
Banyaknya
jumlah misionaris Kristen belakangan ini saya pikir tidak lepas dari jangkauan
agama dari praktik kesehariannya. Secara empiris, berpindahnya muslim kepada
krsiten (murtad) adalah berasal dari kalangan bawah masyarakat. Artinya mereka
tergolong dari orang-orang miskin, terlantar, dan intelektualitas mereka
dibawah rata-rata (awam).
Mungkin cara semacam itu sudah lazim kita ketahui,
namun ada modus lain. Operasi krsitenisasi ini dibalut dengan iming-iming
wisata gratis. Misalnya seperti telah dipublikasi koran Republika; “Sebelumnya, upaya kristenisasi berkedok
hiburan dan wisata menimpa warga Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor.
Mereka diiming-imingi tawaran wisata ke Bali dan Yogyakarta.” caranya pun cukup
sistematis, “Saban Sabtu atau Ahad, ada saja kelompok-kelompok kecil
menyambangi.
Mereka membawa buku dengan sampulnya yang memperlihatkan tema-tema
umum, seperti sosial dan politik. Kecamatan Babakan Madang, Bogor, turut
menjadi objek dakwah mereka.” ucap Salah satu ulama setempat, KH Mukti Ali, (Republika,
28 Novermber 2014).
Modus yang hampir sama juga terjadi di Aceh, namun
tidak diketahui siapa pelakunya, yaitu upaya pemurtadan melalui buku dan CD di
Aceh Jaya dan Pidie Jaya. Ketua
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Jaya, Tgk Faisal Abdullah kepada
Serambi, Senin (1/12) mengatakan, buku tersebut sengaja disebarkan seseorang
sebagai upaya pemurtadan umat Islam di kawasan itu. (Serambi Indonesia, 3
Desember 2014).
Kondisi
demikianlah yang dimanfaatkan penginjil karena masyarakat akar rumput biasanya
golongan-golongan yag membutuhkan penolongnya (messianistik). Mereka cukup
antusias mengamati masyarakat-masyarakat yang membutuhkan “uluran tangan Jesus”
ini. Sedangkan tidak demikian kalau berpindahnya kristiani kepada muslim (muallaf).
Jadi bukan mustahil tahun 2050 jumlah persentase muslim dan kristen menjadi
sama, fifty-fifty.
Untuk
itu ada beberapa hal yang mesti dilakukan oleh setiap muslim, terutama
pengambil kebijakan dinegeri ini. Mengantisipasi murtadnya seorang muslim tidak
hanya dilakukan dengan dakwah penguatan akidah, apalagi dakwah bil lisan—yang
menurut saya tidak terlalu fokus—meskipun itu perlu, tapi unsur lain penting
juga diperhatikan misalnya penguatan ekonomi masyarakat setempat, penyediaan
lapangan kerja.
Aspek ekonomi ini sering dimanfaatkan oleh misionarisme karena
dinilai lebih meyakinkan, karenanya pejabat setempat harus memastikan warganya
agar tercukupi sandang, pangan dan papan.
Merevitalisasi peran pemuda kampoeng
juga cukup penting, pemuda yang paham masalah agama harus di tempa ilmu-ilmu
komunikasi lainnya, dan mereka harus aktif satu sepemahan dengan tetua kampung
dalam hal antisipasi akidah ini. Selanjutnya tempat-tempat wisata perlu
diperhatikan dari unsur-unsur kristenisasi.
Tempat wisata boleh jadi rawan
pemurtadan, karena tempat ini diperuntukkan untuk umum, tanpa ada proses
selektif. Hal ini bukan berarti melakukan penjegalan, tapi antisipasi dari
hal-hal pengkristenan harus dilakukan.