Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menunggu Ayah di Indra Patra

Oleh: Maulidia Indah Putri

Kedua mataku masih menerawang ke depan, menunggu Ayah di INDRA PATRA.
Seburat jingga kemerah-merahan yang awalnya menghiasi warna langit sore,kini berubah menjadi langit hitam kelam dan selama itu pun aku masih disini duduk di kursi putih sambil bertasbih menunggu ayah.
Foto Google

Flash back
Terik matahari menemaniku bermain di pantai Indrapatra. Benteng pertahanan itu kujadikan rumah-rumahan layaknya seorang putri cantik dari kerajaan. Aku tertawa riang saat semilir angin mengibas rambut hitamku. Dari kejauhan tampak ayah melambaikan tangan kearahku. Aku pun membalas hal yang serupa. Melambai dengan tangan kiriku, sedang tangan kananku memegang tongkat pengganti kaki kananku. Aku pun berjalan pelan menghampiri ayah. Ayah tersenyum. Senyuman yang mampu membuat aku bertahan saat semua orang mengejekku,senyuman yang mampu menghentikan tangisku saat semua orang memanggilku si kaki pincang. Senyuman yang membuat aku ikut tersenyum saat berpikir kehidupn ini tak adil dan senyuman yang bisa membuatku bahagia walau tanpa ibu.

“ayah masak mie untuk anak ayah, sekarang ayo kita makan masakan special untuk putri ayah” ! ucapnya seraya mengendongku. Aku hanya tersenyum menampakkan gigi susuku.
Ayah mendudukkanku di kursi putih tepat di depan rumahku. Di kursi itu aku sering menghabiskan waktu bersama ayah,memandang laut indah indrapatra. Aku meniup mie itu dan ingin langsung memakannya. Tapi, tangan ayah mencegatku.
“Berdo’a dulu nak”!seru ayah sambil tersenyum lembut.” Oh,Nadia lupa ayah”! ujarku sambil tersenyum, Allahumma bariklana fimardhaktana wakina azabannar,Amin!
Aku melahap mie buatan ayahku, dan sesekali menyeruput air kelapa, aku dan ayah bercerita dan tetawa bersama. Meski ibu telah pergi tuk menghadap ilahi, tapi ayah dapat mengganti ibu. Banyak temaku yang mengejekku, tapi aku tidak peduli, karna aku tahu kana da ayah yang menghapus air mataku, jiwa ayah yang menemaniku dari subuh sampai malam dan malam berganti subuh begitupun seterusnya.
Bintang malam itu menghiasi langit yang kelam. Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. Air laut Indrapatra mulia surut,gelombangnya semakin besar dan epat diatsnya Nampak bulan sabit berwarna kuning mencurahkan hadirnya kesan keindahan di jiwa. Aku duduk di kursi putih sambil menikmati keindahan malam di laut Indrapatra.
“ini sudah pukul 9 malam, nak! Sebaiknya kau masuk, angina malam tidak bagus untukmu “! Suara yang amat kukenal itu terdengar jelas di telingaku. Suara ayah yang tak bisa kudengar lagi.
“Ayah, lihatlah pemandangan ini! Aku sangat menyukainya ayah”! ujarku sambil tersenyum . ayah mengerti nak, kau tak berbeda jauh darimu! Dulu ibumu juga suka melihat suasana pantai Indrapatra ini”.
“Benarkah? Pasti ibu bahagia disana melihat kita melakukan apa yang ibu sukai”! kataku penuh semangat. Itulah alasan ayah, kenapa tidak meninggalkan tempat ini. Ucap ayah sambil menatap lurus kea rah pantai.
“Alasan? Maksud ayah? Tanyaku penuh arti.
Dulu, ibumu sangat menyukai tempat ini. Ibumu memang lahir dan tinggal disini, untukmelindungi serangan dari Belanda nenekmu membawa ibumu ke benteng ini. Ayah menelan air liur yang sudah mengumpal di mulutnya. Kerongkongannya terasa sakit, dan matanya berkaca-kaca. “Akhirnya nenek dibunuh oleh tentere Belanda di depan ibumu”, sambung ayah. Ibumu menangis meronta, sejak saat itu ibumu tidak mau meninggalkan tempat ini yang penuh dengan kengan pahit dan kenangan indah bersama ayah.
“ayah”!seruku. ayah memelukku dan mencium dahiku dengan lembut. “ayah pun tak ingin meninggalkan tempat ini”, lanjutnya sambil membelai rambutku dengan penuh kasih. Suasana malam itu menjadi kenangan terakhir sebelum ayah pergi meninggalkanku selamanya.
Secercah cahaya memasuki celah-celah rumah pondokku. Saat aku tersadar ayah tidak lagi disampingku, hanya bantal guling berwarna biru yang tersisa.
“Ayah...!Ayah…”! aku memanggil ayah, setelah keluar dari kamar yang berukuran 2x2 m, di jendela yang menghadap ke pantai ku lihat ayahsedang membenarkan jarring yang rusak. Sebenarnya jarring itu sudah lama, dan sangat tampak jelas jarring itu sudah rapuh talinya karna sudah lama, warnanya pun sudah menua.
“setelah ini ayah akan pergi ke laut, mencari ikan untuk ayah jual, hingga hasilnya dapat ayah belikan baju untuk putri ayah ini”! ucap ayah sambil tersenyum lembut. Jadi, ayah akan meninggalkanmu sendiri disini? Mataku sudah berkaca-kaca.
“mana mungkin ayah meninggalkan putri ayah sendirian? Ayah akan menitipkanmu pada bu yusra, ayah kamu tidak nakal, ayah janji setelah ini akan kembali.
“ayah janji”? tanyaku ragu.
“iya, ayah janji “! Seru ayah sambil memelukku.
Dapatku lihat jelas rasa lelah di wajah ayah, wajahnya mulai berkeriput, keringat membasahi tubuhnya, dan bibirnya bergetar, ayah pun melepaskan pelukannya dan mengambil sampan untuk pergi meninggalkanku disini.
“Ayah pergi ya”! teriak ayahku saat sudah di hamparan laut , tanganya melambai-lambai kearahku. “aku akan menunggu ayah “! Balasku sambil setengah berteriak dan ikut membalas lambaiannya .
Flash back end
“AKU AKAN MENUNGGU AYAH”! ucapku dengan suara parau, sejak kepergian ayah 3 tahun yang lalu, ayah tidak pernah kembali lagi. Dan setiap sore aku akan duduk di kursi putih menunggu ayah, hingga aku bisa berpelukan dengannya lagi dan menatap laut indrapatra bersama-sama lagi.

Penulis: Santriwati Kelas II MAS Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee, Siem, Darussalam, A. Besar

Editor: Muhammad Chaldun