Ulama Aceh Haramkan Perayaan Tahun Baru Masehi
Tgk.H. Faisal Ali Wakil Ketua MPU Aceh. Foto: Hayatullah Pasee |
Banda Aceh - Ajaran
Islam secara tegas melarang umatnya untuk tidak meniru – niru, mengikuti atau
menyerupai umat lain. Sebagaimana Rasulullah Sawa bersabda,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dari
hadist tersebut, maka sudah jelas, sebagai seorang muslim, baik laki – laki
maupun perempuan tidak boleh mengikuti kebiasaan dan kebudayaan nonmuslim
seperti merayakan Tahun Baru Masehi. Apalagi, Islam memiliki penanggalan
sendiri dan pergantian tahun diperingati setiap 1 Muharram. Bahkan pemerintah
telah menetapnya sebagai hari libur nasional.
Menjadi
sebuah kewajaran jika Aceh, sebagai daerah yang melaksanakan syariat Islam,
melarang perayaan Tahun Baru Masehi dengan mengeluarkan seruan, dilakukan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda)
Kota Banda Aceh mengeluarkan seruan bersama yang meminta agar masyarakat tidak
merayakan Tahun Baru masehi (Miladiyah) 1 Januari 2015.
Langkah
tersebut, mendapatkan dukungan dari para ulama di Provinsi Aceh, salah satunya
datang dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H. Faisal
Ali.
Menurut
ulama muda Aceh yang akrap disapa Lem Faisal ini, perayaan Tahun
Baru Masehi, bukan ajaran Islam. Umat Islam sangat tidak pantas untuk
merayakannya. Apalagi, perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan
sama sekali bukan dari Islam.
Dirinya
menyerukan kepada msyarakat Aceh untuk menghindari kegiatan tidak bermanfaat
dan hura – hura pada malam tahun baru masehi. Lebih baik, mengisinya dengan
kegiatan bermanfaat dan mendekatkan diri ke Allah Swt.
Umat
Islam di Aceh, jangan sampai ikut – ikutan merayakan pergantian malam
pergantian tahun 2014 ke 2015 secara berlebihan, seperti bakar mercon, tiup
terompet, serta tindakan yang melanggar syariat Islam, seperti pasangan beda jenis
berdua-duaan di tempat sepi atau berduaan di atas kendaraan sambil keliling
kota.
“Jangan
merayakannya dengan kegiatan tidak bermanfaat, apalagi menjurus pada kegiatan
maksiat,” ingatnya kepada masyarakat Aceh.
Meski
pemerintah menetapkan 1 Januari sebagai hari libur nasional, namun tetap saja
tidak berarti umat Islam dibenarkan untuk merayakan malam pergantian tahun, sebagaimana
lazim dilaksanakan nonmuslim, khususnya umat kristiani setiap tahun.
Apalagi,
di ibu kota Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh, telah ada seruan untuk tidak
merayakan tahun baru. Tinggal sekarang dilakukan pengawasan ketat oleh
pemerintah, untuk memastikan seruan bersama tersebut dipatuhi dengan baik oleh
masyarakat.
Disamping,
perlunya keterlibatan orangtua untuk melakukan pengawasan terhadap anak–anak
mereka untuk tidak keluar rumah pada malam pergantian tahun. Seruan saja tidak akan efektif jika tidak ada
peran aktif dari keluarga, khususnya para orang tua. [Tgk
Hermansyah].