Ahmet Davutoğlu: Islam dan Gagasan Politik Luar Negeri Turki
Oleh: Agung Nurwijoyo, S.Sos*
Graham Fueller dalam buku terbarunya “Turkey & Arab Spring: Leadership
in the Middle East” secara khusus dalam chapter 10 mengangkat topic
tentang perkembangan politik luar negeri Turki. Menariknya, dalam bagian
tersebut mengambil tajuk “Forms of Islam: Ahmet Davutoğlu – A Pioneering a
New Turkish Foreign Policy”.
Menarik disebabkan dua hal. Pertama, bagian tersebut mengangkat tajuk
tentang Islam. Kedua, adalah sosok Davutoğlu yang menjadi pionir dalam
gagasan baru politik luar negeri Turki. Secara umum, Davutoğlu tıdak pernah
menganggap bahwa gagasannya adalah gagasan İslamis atau dalam banyak pendapat
disebut sebagai gagasan Neo-Ottoman meskipun gagasan ini ditolak tidak hanya
oleh Davutoğlu tetapi juga AK Parti.
Di bawah AK Parti, kekuatan militer dan birokrasi dalam politik luar negeri
dan kebijakan keamanan nasional beralih kepada kekuatan sipil dan tokoh yang
dipilih melalui jalan demokrasi. Sebagai
contoh terlihat dalam kebijakan luar negeri Turki terhadap Afrika. Hubungan
terhadap Afrika dapat dilihat dalam beberapa segmen. Politik dijalankan melalui
pemerintah di bawah PM Erdoğan. Ekonomi didorong oleh para pebisnis. Masalah
bantuan kemanusiaan meluas pengaruh Turki dengan keberadaan LSM seperti IHH,
TIKA, dan KIZILAY. Dan bidang pendidikan dengan adanya beasiswa baik yang
disediakan pemerintah maupun kekuatan sosial masyarakat seperti kelompok Gülen.
Tidak dapat dipungkiri, dalam 14 tahun (2002 – 2014) di bawah kekuatan Adalet
ve Kalkınma Partisi /AK Parti (Partai Keadilan dan Pembangunan), politik
luar negeri Turki menjadi kekuatan penting yang mengalami perubahan signifikan.
Gaya ini didorong adanya trio kepemimpinan dalam era tersebut yaitu Abdullah Gül,
Recep Tayıp Erdoğan dan Ahmet Davutoğlu. Mereka membuat konsep penting dalam
gagasan politik luar negeri Turki dalam relasi dengan negara tetangga, tingkat
regional dan global.
Konsep tersebut mempunyai akar yang kuat dalam geopolitik Turki mengubah wajah
Turki di dunia. Dalam pandangan umum polugri, perdebatan tidak pernah lepas
dari apa yang dinamakan dengan kepentingan nasional. Namun, dalam beberapa
kesempatan pandangan Turki yang disampaikan Davutoğlu memiliki gagasan yang
berbeda dan keluar dari kebiasaan.
Kemunculan kekuatan polugri Turki tidak bisa dilepaskan dari pemikiran
Davutoğlu. Berangkat dari sebuah buku yang oleh Graham Fueller dan Joshua W
Walker mendapatkan kritik karena buku yang menjadi panduan dalam polugri Turki
era baru ini tidak memilıki transliterasi dalam bahasa İnggris ini gagasan
polugri Turki diterapkan.
Buku “Stratejik Derinlik, Türkiye’nin Ulusrararası Konumu (Strategic
Depth, Turkey’s İnternational Position) menggambarkan bahwa kekuatan
negara dalam politik internasional dipengaruhi oleh geopolitik dan sejarah.
Davutoğlu memaparkan bahwa posisi Turki sangatlah unik. Turki mendapat
keberuntungan dengan posisi geopolitik khususnya dengan mengontrol penuh
wilayah Bosporus dan pengaruh dari sejarah Turki Usmani.
Gagasan “sıfır sorun” (zero enemies) yang genuine digagas
Davutoğlu dianggap berlawanan dengan pandangan keamanan tradisional khususnya
realis. Realis secara tradisional berangkat dari anggapan bahwa negara
dipengaruhi oleh adanya instrumen kepentingan dan ancaman. Davutoğlu berusaha
keluar dari ruang tersebut.
Kebijakan Luar Negeri Turki sebelum era AK Parti, dalam durasi waktu yang
panjang, terkonsentrasi dalam usaha merespon adanya ancaman. Resistensi
terhadap ancaman tersebut lahir dari Russia, “Islam”, kelompok Kurdi, kelompok
minoritas dan negara tetangga yang tidak bersahabat bagi Turki.
Pandangan zero problems mulai dijalankan semasa Menteri Luar Negeri
Abdullah Gül dengan membangun rasa sensitif terhadap sesama Muslim di kawasan
dan kemampuan untuk berdiplomasi dengan Uni Eropa. Dalam 7 tahun sejak 2002,
Turki menjalin kedekatan dengan Taheran (Iran), Damaskus (Suriah), dan Moskow
(Russia) sedemikian baik hubungan baik yang dijalin dengan Washington DC (AS),
Tel Aviv (Israel) dan Brussels (Belgia / Ibukota Uni Eropa).
Sosok Davutoğlu yang juga merupakan professor ilmu hubungan internasional
tersebut mengembangkan gagasan yang keluar dari patron teori dengan visi yang
tidak lepas dari pandangan sejarah, geopolitik, relasi dunia muslim dalam
tatanan hubungan internasional dan juga relasi yang kuat sesama kultur yang
beragam.
Turki adalah sentral.[1]
Turki adalah negara yang memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam arena
geopolitik dalam beragam wilayah termasuk Eropa, Balkan, Timur Tengah, Mediterania,
Kaukasus, Asia Tengah, Eropa, dan juga Afrika. Bagi Davutoğlu, Turki bukan
hanya sekedar “jembatan” antara Timur dan Barat. Apa yang berusaha diserap
Turki adalah sebagai negeri yang memiliki tradisi multiculturalism,
multi-ethnicity dan multi-faith.
Menolak disebut ‘Neo-Usmani’, Davutoğlu menyatakan bahwa Turki memperluas
makna diaspora Turki: “Diaspora is no longer just our citizens. We consider
all societies with which we lived for centuries as part of our diaspora.”
Dalam pandangan Davutoğlu, zero problems tersebut dipahami bahwa konflik
regional, konfrontasi, dan perang ciptakan kondisi tidak stabil, merusak dan
berbahaya bagi negara dan regional yang berdampak kepada masyarakat. Polugri
Turki seolah berusaha berlawanan dengan patron AS. Turki memilih jalan
negosiasi dengan berdialog sesame aktor dan setiap kelompok dibandingkan
melalui jalan yang biasa dilakukan AS melalui tekanan, boikot, sanksi, ancaman
dan invasi militer. Davutoğlu ingin menciptakan pola ‘proactive peace effort’.
Pola polugri ini berdampak kesuksesan dalam penerapannya. Menjadi mediator
antara AS dan dunia Arab pasca-invasi AS ke Irak, antara Israel dan Hamas,
antara AS dan Iran serta antara Israel dan Suriah. Benar bahwa Davutoğlu
membuka ruang dialog yang besar dalam polugrinya. Namun, dalam menghadapi
prilaku Suriah dan Israel, Turki memberikan respon yang berbeda.
Turki memutus hubungan diplomatik dengan Israel. Pemutusan hubungan
diplomatik dilakukan setelah Israel menolak untuk meminta maaf terhadap Turki
atas apa yang dilakukan tentara Israel (Israel Defense Forces/IDF) dalam kasus
Freedom Flotilla 2010. Meskipun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa dalam
hubungan ekonomi kedua belah negara mengalami peningkatan dalam masa pemutusan
hubungan diplomatik tersebut.
Begitupun respon Turki terhadap Suriah di bawah rezim Bashar al Assad.
Ketika Davutoğlu baru dilantik menjadi PM Turki, Turki dihadapkan pada
pergerakan kelompok IS (Islamic State, dulu ISIS) di daerah perbatasan
Turki-Suriah yang banyak didiami etnis Kurdi di daerah Kobbani. Dalam kondisi ini, Pasukan koalisi yang
dipimpin AS menolak untuk memberikan intervensi militer terhadap wilayah
tersebut.
Turki yang diajak untuk menjadi salah satu mitra koalisi tersebut
memberikan persyaratan untuk bergabungnya Turki dalam pasukan koalisi.
Persyaratan Turki yang juga diutarakan dalam wawancara pertama dengan CNN
diantaranya adalah Turki bersedia untuk bergabung dengan pasukan koalisi jika
memang tujuan utama dari pasukan koalisi adalah mengganti rezim berkuasa Suriah
yang telah banyak memakan korban jiwa masyarakat Suriah.
Uniknya, posisi tawar ini juga tidak membuat bentuk hubungan antara Turki
dengan AS menjadi memburuk. Di periode yang sama, hubungan antara Turki dan
Russia berada dalam bentuk relasi yang sangat baik terbangun. Pola dialogis
dalam membangun polugri ditambah dengan mindset bahwa peran Turki adalah
sentral memberikan keuntungan tersendiri bagi Turki dalam hubungan
internasional.
Davutoğlu tidak bisa dipungkiri adalah arsitek dalam politik luar negeri
baru Turki. Beliau lahir di Konya yang merupakan kota relijius di tengah Turki.
Davutoğlu menyelesaikan studi menengah di sebuah sekolah berbahasa Jerman di
Istanbul dan mendapatkan gelar Ph.D dalam bidang hubungan internasional serta
memulai karir di bidang akademik.
Dalam perjalanannya, Davutoğlu mempelajari bahasa Arab dan menghabiskan
masa tiga tahun mengajar dan sempat menempati posisi penting di Departemen Ilmu
Politik International Islamic University of Malaysia / IIUM (Universitas Islam
Antarbangsa / UIA). Dalam pandangan Fuller, masa inilah yang menjadi penting.
Hidup di luar Turki menambah pengalaman intelektual Davutoğlu. Kondisi Malaysia
membantu terbentuknya pandangan Pan-Islamis Davutoğlu.
Davutoğlu sempat mengajar selama 4 tahun di Akademi Militer Turki dan
Akademi Perang di Istanbul dimana membuka ruang bagi Davutoğlu dalam menjalin
relasi dengan kultur Militer yang berorientasi kuat pada Kemalist. Fuller
menambahkan bahwa pandangan Davutoğlu merelasikan antara teori dan visi berdasarkan
sejarah, geopolitik, dunia Muslim dalam hubungan internasional dan sejarah
relasi antar budaya. Hal ini menciptakan dasar teori dari kebijakan Turki.
Demikian yang menjadikan Davutoğlu sebagai penasihat PM Erdoğan dalam
pemerintah Turki pada 2002 dan menjadi menlu Turki pada 2009 serta Perdana
Menteri Turki pada 2014 sekaligus ketua AK Parti.
Dewasa ini, Davutoğlu dapat menjadi satu gambaran tentang bagaimana
keterkaitan antara Islam dan kompetensi. Tidak hanya dalam hal tersebut,
melainkan juga dalam kaitannya dalam kontribusi. Islam menjadi satu ınner-circle
yang mendorong seorang Muslim untuk bisa memberikan ruang dalam kontribusi
bagi ummat. Relasi kompetensi yang memperkuat dalam pandangan dalam kebijakan
luar negeri Turki.
Sosoknya terekam dalam buku biografinya berjudul Hocam dimana dalam
sebuah wawancara, Davutoğlu ditanya “nerede yaşamak isterdiniz?” (Dimana
Anda ingin tinggal?) Sang PM pun menjawab, “Her sabah kalktığımda güneş
doğarken Küdüş, Medine ve İstanbul'un tarihi siluetini aynı anda görebileceğim
bir mekanda.” (Setiap terbangun di pagi hari siluet sejarah Yerusalem,
Madinah dan Istanbul dalam satu tempat saya bisa melihatnya)
*Alumnus S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Uİ, Mahasiswa S2 Studi Kawasan Timur Tengah dan Afrika Gazi Üniversitesi Turki. Sumber: Islamicgeo