Begini Kata PBNU Soal Penganut Paham Liberal
Wakil Ketua Umum PBNU Asad Said Ali (kanan). ANTARA/Zabur Karuru |
TEMPO.CO, Semarang -
Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama As`ad Said Ali menegaskan
organisasi keagamaan NU tidak mempraktekkan paham liberal. As`ad
menilai, jika ada orang yang mengaku NU tapi paham yang dianutnya
liberal, itu adalah sempalan NU.
"Silakan keluar dari NU," kata As`ad seusai seminar nasional "Islam dalam Benturan Peradaban: Proyeksi Pecahnya NKRI" yang digelar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Rabu, 25 Maret 2015.
Pernyataan As`ad tersebut menjawab pertanyaan seorang mahasiswa dalam forum seminar. Mahasiswa itu mempertanyakan adanya orang-orang NU yang sudah banyak menganut Islam liberal. As`ad menyatakan saat ini NU menghadapi dua arus, yakni liberalisme dan gerakan radikal. Jika liberalisme mempraktekkan kebebasan, radikalisme bergerak untuk tujuan membentuk negara Islam.
As`ad menawarkan solusi adanya dialog peradaban dengan konsep Nusantara. Sebab, Islam di Indonesia bisa damai karena memiliki sejarah dan kultur Indonesia.
Menurut As`ad, liberalisme adalah praktek yang mengagungkan kekuasaan individu. Bahkan liberalisme di negara-negara Barat cenderung mempraktekkan kebebasan tanpa batas. Padahal, kata As`ad, di NU ada berbagai hukum yang tidak hanya bersifat individu.
Ia mencontohkan, NU mengenal fardlu kifayah, yakni hukum kewajiban bagi orang mukalaf/akil baligh untuk mengerjakan. Namun, bila salah satu dari mukalaf sudah ada yang melakukannya, akan gugur hukum wajibnya.
As`ad menyatakan setiap aliran ada baik-buruknya. Ia pun meminta agar kebaikannya saja yang diambil, sedangkan keburukannya dibuang. As`ad menyatakan pasca-Reformasi 1998 memang banyak sekali muncul aliran akibat adanya liberalisasi politik. Begitu beberapa undang-undang yang mengekang kebebasan dicabut maka ada euforia kebebasan.
Pada saat yang sama, regulasi yang diterapkan sudah tidak memiliki pengganti yang memadai. "Kecenderungannya, orang pandai menuntut tapi tidak bertanggung jawab," katanya.
"Silakan keluar dari NU," kata As`ad seusai seminar nasional "Islam dalam Benturan Peradaban: Proyeksi Pecahnya NKRI" yang digelar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Rabu, 25 Maret 2015.
Pernyataan As`ad tersebut menjawab pertanyaan seorang mahasiswa dalam forum seminar. Mahasiswa itu mempertanyakan adanya orang-orang NU yang sudah banyak menganut Islam liberal. As`ad menyatakan saat ini NU menghadapi dua arus, yakni liberalisme dan gerakan radikal. Jika liberalisme mempraktekkan kebebasan, radikalisme bergerak untuk tujuan membentuk negara Islam.
As`ad menawarkan solusi adanya dialog peradaban dengan konsep Nusantara. Sebab, Islam di Indonesia bisa damai karena memiliki sejarah dan kultur Indonesia.
Menurut As`ad, liberalisme adalah praktek yang mengagungkan kekuasaan individu. Bahkan liberalisme di negara-negara Barat cenderung mempraktekkan kebebasan tanpa batas. Padahal, kata As`ad, di NU ada berbagai hukum yang tidak hanya bersifat individu.
Ia mencontohkan, NU mengenal fardlu kifayah, yakni hukum kewajiban bagi orang mukalaf/akil baligh untuk mengerjakan. Namun, bila salah satu dari mukalaf sudah ada yang melakukannya, akan gugur hukum wajibnya.
As`ad menyatakan setiap aliran ada baik-buruknya. Ia pun meminta agar kebaikannya saja yang diambil, sedangkan keburukannya dibuang. As`ad menyatakan pasca-Reformasi 1998 memang banyak sekali muncul aliran akibat adanya liberalisasi politik. Begitu beberapa undang-undang yang mengekang kebebasan dicabut maka ada euforia kebebasan.
Pada saat yang sama, regulasi yang diterapkan sudah tidak memiliki pengganti yang memadai. "Kecenderungannya, orang pandai menuntut tapi tidak bertanggung jawab," katanya.
sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/25/078652870/Begini-Kata-PBNU-Soal-Penganut-Paham-Liberal