MUI kritik keras kerja sama Jokowi dengan republik Syi'ah Iran terkait isu "Radikalisme"
Presiden RI atau yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai "Ulil
Amri" Indonesia, Ir. Joko Widodo, telah melakukan kesepakatan
peningkatan kerja sama bilateral dengan Hassan Rouhani, presiden Iran.
Selain bidang ekonomi, kerja sama ini termasuk menyangkut isu
radikalisme dan pemberantasan terorisme.
Hal ini mendapat respon keras dari Anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat, Dr. H. Abdul Chair Ramadhan SH., yang menilai kerja sama ini adalah tindakan yang sangat terburu-buru dan akan membawa banyak mudharat (keburukan) dibanding kebaikan.
Sebab menurut penulis buku “Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI” ini, defenisi radikalisme yang dipahami oleh Iran (Syi'ah) tidak sama dengan yang dipahami Indonesia.
“Kita harus paham dulu, apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syi'ah, semua yang melawan usaha-usaha Syi'ahisasi dinilai intoleran dan takfiri. Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal. Dan gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme, begitu cara pikir Iran,” ujar Abdul Chair Ramadhan yang dimuat oleh Hidayatullah.
Abdul Chair menyebut jika isu "Radikalisme" ini akan dimanfaatkan oleh Syi'ah-Iran sebagai senjata untuk melindungi Syi'ahisasi dan memberangus setiap upaya penolakan terhadap penyebaran Syi'ah.
Kerja sama dengan Iran ini menurut Abdul Chair, termasuk salah satu bagian keberhasilan Syi'ah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia.
Kekhawatiran Abdul Chair bukan tanpa alasan. Di Timur tengah, republik Syi'ah Rafidhah Iran tengah gencar menancapkan taring politiknya di berbagai negara dengan menggunakan tangan antek lokal atau milisi Syi'ah radikal-bersenjata setempat. Sedangkan di Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan penyebaran agama Syi'ah Rafidhah makin gencar dengan banyaknya beasiswa ke Iran dan propaganda ideologi Syi'ah.
Abdul Chair juga menyayangkan presiden Jokowi yang tidak paham persoalan menyangkut masalah keumatan. Padahal pemerintah harusnya bisa berkonsultasi dahulu dengan berbagai pihak seperti MUI. (hidayatullah/rslh)
Hal ini mendapat respon keras dari Anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat, Dr. H. Abdul Chair Ramadhan SH., yang menilai kerja sama ini adalah tindakan yang sangat terburu-buru dan akan membawa banyak mudharat (keburukan) dibanding kebaikan.
Sebab menurut penulis buku “Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI” ini, defenisi radikalisme yang dipahami oleh Iran (Syi'ah) tidak sama dengan yang dipahami Indonesia.
“Kita harus paham dulu, apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syi'ah, semua yang melawan usaha-usaha Syi'ahisasi dinilai intoleran dan takfiri. Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal. Dan gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme, begitu cara pikir Iran,” ujar Abdul Chair Ramadhan yang dimuat oleh Hidayatullah.
Abdul Chair menyebut jika isu "Radikalisme" ini akan dimanfaatkan oleh Syi'ah-Iran sebagai senjata untuk melindungi Syi'ahisasi dan memberangus setiap upaya penolakan terhadap penyebaran Syi'ah.
Kerja sama dengan Iran ini menurut Abdul Chair, termasuk salah satu bagian keberhasilan Syi'ah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia.
Kekhawatiran Abdul Chair bukan tanpa alasan. Di Timur tengah, republik Syi'ah Rafidhah Iran tengah gencar menancapkan taring politiknya di berbagai negara dengan menggunakan tangan antek lokal atau milisi Syi'ah radikal-bersenjata setempat. Sedangkan di Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan penyebaran agama Syi'ah Rafidhah makin gencar dengan banyaknya beasiswa ke Iran dan propaganda ideologi Syi'ah.
Abdul Chair juga menyayangkan presiden Jokowi yang tidak paham persoalan menyangkut masalah keumatan. Padahal pemerintah harusnya bisa berkonsultasi dahulu dengan berbagai pihak seperti MUI. (hidayatullah/rslh)