Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesaksian Anak-anak dan Perempuan Muslim Rohingya Mengarungi Lautan

Dari kiri ke kanan: Muhammad Shorif, Gultaz Beghum, Muhammad Yusuf, dan Nurul Amin duduk di teras Mushalla Tempat Pendaratan Ikan Kuala Cangkoi, Aceh Utara tanggal 26 Mei.
Muhammad Yusuf (10), berusaha tegar ketika menceritakan kembali peristiwa tragis setahun lalu saat sekelompok milisi Buddha bersenjatakan parang, tombak dan pedang membantai ibunya, Asma Hatu, di sebuah kota kecil kawasan Rakhine, Myanmar.

“Kepala ibu saya hampir putus dipenggal pakai pedang,” katanya kepada BeritaBenar di lokasi penampungan sementara di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kuala Cangkoi, Kabupaten Aceh Utara, Selasa, 26 Mei.

Di lokasi ini, terdapat 332 pengungsi Rohingya terdiri dari 107 pria, 37 perempuan, dan 188 anak-anak.

Mereka menempati tiga gedung dan satu Mushalla. Beberapa tenda relawan, posko kesehatan dan pos pengamanan polisi mengelilingi bangunan tersebut.

Para pengungsi diselamatkan nelayan Aceh saat terombang-ambing dalam perahu kayu di Selat Malaka, 10 Mei.

Dalam perahu, terdapat 247 warga Bangladesh – yang sejak 19 Mei lalu ditampung di bekas kantor Imigrasi Lhokseumawe di Desa Punteut.

Di lokasi itu, Yusuf tinggal bersama adik perempuannya, Gultaz Beghum (8) dan pamannya, Muhammad Zakaria (16).

Yusuf dan Zakaria tidur di sebuah gedung bersama puluhan migran Rohingya lain. Sedangkan, Gultaz tidur di Mushalla dengan Muhammad Shorif (16), seorang dari sedikit pengungsi Rohingya yang mampu berbicara bahasa Inggris.

“Saya sudah menganggap Gultaz seperti adik kandung saya sendiri,” ujar Shorif yang membantu BeritaBenar menerjemahkan saat wawancara dengan Yusuf dan sejumlah anak dan perempuan Rohingya.

Shorif meninggalkan tempat pengungsian UNCHR di Myanmar karena ingin melanjutkan sekolah di Malaysia.
Yusuf menuturkan pada hari ibunya dibunuh secara sadis, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Saat itu, dia sedang mendampingi ibunya berbelanja di pasar.

“Ketika orang-orang Budha datang menyerang, ibu menyuruh saya lari. Saya sempat melihat ke belakang saat ibu dianiaya,” katanya menyirat kesedihan sambil berusaha menahan air mata.

Yusuf segera pulang ke rumah. Ia mengajak adiknya meninggalkan desa. Warga desa lain juga lari menyelamatkan diri khawatir serangan milisi Budha bersenjata.

Kakak beradik itu luntang-lantung di jalan selama beberapa bulan, sampai akhirnya suatu malam mereka tertidur dalam gudang dekat pelabuhan.

“Ketika terbangun, kami sudah berada dalam perahu. Kami menangis, tapi orang-orang dewasa dalam perahu mengancam akan membuang kami ke laut jika kami menangis,” tutur Gultaz.

Mereka dibawa ke tengah laut. Di sini, sebuah perahu besar menunggu. Di dalamnya terdapat ratusan pengungsi Rohingya dan warga Bangladesh. Di sini mereka bertemu Zakaria, paman mereka, yang sudah lebih dulu diangkut ke dalam perahu.

Setiap hari dianiaya
Dua bulan lebih, Yusuf dan Gultaz mengaku menyaksikan orang-orang dianiaya oleh kapten dan tujuh anak buahnya. Mereka mempunyai senjata tajam, cemeti besi, dan pistol.

“Saya dan adik beberapa kali dipukul dengan cemeti besi oleh kapten dan anak buah perahu,” jelas Yusuf sambil memperlihatkan bekas luka di paha dan punggungnya.

“Kalau ada minta tambahan nasi atau pergi ke toilet, kapten dan anak buahnya langsung memukul. Tidak ada yang tak berani menangis karena kalau menangis, mereka memukul lebih keras lagi,” tambah Gultaz.

Yusuf mengaku ayahnya, Muhammad Nuru, sejak tiga tahun lalu bekerja di Malaysia sebagai seorang buruh bangunan. Dia dan adiknya sedikit lega saat mengetahui perahu yang mengarungi Teluk Bengali dan Selat Malaka akan pergi ke Malaysia.

Shorif menjelaskan hampir semua pengungsi dalam perahu mengalami penganiayaan. Ia beberapa kali dipukul dan ditinju. Kaki kanannya masih bengkak sehingga berjalan agak pincang. Tubuhnya kurus akibat kekurangan makanan.

“Dulu waktu tinggal di kamp pengungsi UNCHR, saya tiga kali juara lomba lari. Tubuh saya lebih gemuk dan saya kuat. Tapi sekarang saya lemas, tak berdaya,” katanya.

Kondisi agak beruntung dialami Nurul Amin (9). Ia pergi dari Myanmar bersama ibu dan enam saudaranya. Ayahnya bekerja secara ilegal sebagai buruh di Malaysia. Dia mengaku ibunya memutuskan lari dari Myanmar setelah tahun lalu desa mereka diserang milisi Budha.

“Nenek meninggal dunia karena tak sanggup lari saat orang-orang Budha menyerang dan membakar desa kami,” tuturnya. “Banyak warga desa yang dibunuh mereka.”

Namun nasib tragis dialami Nur Qadhar (16) yang menjadi sebatang kara sejak tiga tahun silam, setelah milisi Budha menyerang dan membakar rumah-rumah Muslim Rohingya yang dibumihanguskan, tahun 2012.

“Sore itu, saya pergi bermain bola di desa tetangga. Saat saya pulang, ternyata ayah, ibu, tiga abang dan kakak saya sudah meninggal dunia karena dibakar dalam rumah,” tutur Nur, penuh emosi.
Februari lalu, seseorang mengajaknya pergi jalan-jalan. Ternyata, pria itu membawa ke pelabuhan. Di tempat itu, telah menunggu sejumlah pria tegap. Mereka memaksa Nur naik perahu.
Setelah menempuh perjalanan dua jam, ia ditransfer ke perahu besar di tengah laut.

Hanya bisa berdoa dan menangis
Rabya Khatun (25), meninggalkan Myanmar pada suatu malam bersama empat anaknya -- Nurul Johar (16), Rokeya Begum (8), Lalu (6), dan Rainang Bibi (4) pertengahan Februari lalu. Bersama keluarga miskin ini, juga ikut adik kandungnya, Muhammad Ismail (17) tahun.

Tiga tahun sebelum Rabya memutuskan pergi, suaminya Muhammad Rasyid tewas ditembak polisi Myanmar saat milisi Budha dibantu pasukan keamanan pemerintah Myanmar menyerbu desanya. Puluhan rumah musnah dibakar. Belasan warga tewas dalam serangan itu.

Rabya mendiskusikna dengan Ismail. Setelah tiba di desa dekat pantai, dia bergabung dengan warga lain. Mereka dibawa naik perahu kecil ke laut. Di tengah laut, sudah menunggu sebuah perahu besar. Setelah hampir dua bulan, orang-orang dibawa dengan perahu kecil terus bertambah hingga mencapai sekitar 600 orang.

“Saya dan adik saya sering dipukul pakai rotan, kami juga sering ditendang bila menjulurkan kaki atau merebahkan badan,” tutur Rabya.

“Tapi anak-anak saya yang kecil tidak pernah dipukul. Kami hanya bisa menangis dan berdoa.”
Sepekan sebelum terdampar di Aceh, kapten perahu mengatakan mereka akan segera tiba di Malaysia.

“Saya sangat senang mendengar akan tiba di Malaysia. Di sana ada abang kandung dan ibu saya. Saya terus berdoa semoga bertemu lagi dengan ibu dan abang saya,” kata Rabya.
“Allah belum mengizinkan kami ke Malaysia.

Berada di Aceh bagi Yusuf, Gultaz, Shorif, Zakaria, Nur, Rabya, dan Ismail merupakan sebuah rahmat. Mereka mengaku betah tinggal di Aceh karena warganya sangat baik dan suka menolong. Pengungsi Rohingya menolak pulang ke Myanmar.

“Daripada kami disuruh pulang ke Myanmar, lebih baik Presiden Indonesia membaris dan kemudian menembak kami semuanya di sini, di negara Muslim,” ujar Nur.

sumber: http://www.benarnews.org/indonesian/berita/kesaksian-rohingya-mengarungi-lautan-05272015161721.html