Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Santri Dukung Pemerintah Aceh Terapkan Qanun Jinayat

Tgk Imran Abubakar

Banda Aceh - Organisasi terbesar santri di Aceh, Rabithah Thaliban Aceh (RTA) mendukung upaya Pemerintahan Aceh untuk memberlakukan Qanun jinayat di Aceh karena ilmplementasi hukum jinayat merupakan bahagian dari implementasi syariat islam kaffah di Aceh. Hal ini dianggap sesuai dengan amanat Undang-Undang.

“Selama ini,  Aceh telah dapat menekan beberapa kejahatan dalam beberapa bidang dengan qanun Aceh.  Misalnya bidang Aqidah.  dengan adanya qanun tentang akidah, Aceh dapat mengontrol semua aliran sesat di Aceh. Dalam bidang khalwat,  dengan adanya qanun tentang larangan khalwat,  Aceh menjadi salah satu daerah yang memiliki semangat kontrol yang kuat terhadap kemaksiatan khalwat.  Dan jauh sekali beda, dengan realita yang terjadi di luar Aceh,  yang tidak memiliki aturan tentang khalwat yang seperti di Aceh, “ ujar Tgk Tgk Imran Abubakar, Minggu, (4/10/2015). 

Aceh adalah laboratorium hukum islam Indonesia.  Dinamika hukum Islam yang paling cepat terjadi di Indonesia adalah Aceh.  Maka pihaknya memberikan appalus untuk masyarakat Aceh yang telah memiliki semangat kuat dalam mendorong perubahan hukum di Indonesia.

“Kekhawatiran terhadap ketidak pastian hukum seperti yang dikemukakan oleh ICJR (Institute Criminal Justice Reform) harus dikaji kembali, karena  Qanun jinayat Aceh telah memiliki qanun materi dan qanun acaranya. Dua alat inilah yang dipakai untuk mewujudkan kepastian hukum, “ pungkas Tgk Imran.

GP Ansor Aceh: Direktur ICJR Tak Paham Hukum
Sementara itu,  ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Aceh, Samsul B Ibrahim menilai gugatan terhadap Qanun Jinayat yang dilakukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tidak berdasar. Seharusnya Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono yang menabalkan diri paham hukum memahami konteks kekhususan Aceh melalui Undang-undang Pemerintah Aceh.

“Itu artinya dia tidak paham hukum. Dia tidak memahami kekhususan Undang-undang Pemerintah Aceh dan esensi dari Qanun Jinayat itu sendiri. Karena kami melihat, sesungguhnya Qanun Jinayat memuat semangat preventif sehingga tercipta kondisi social yang islami,” tutur Samsul, Minggu (4/10/2015).
Samsul B Ibrahim

Masih menurut Samsul, secara umum Qanun Jinayat benar-benar mengandung enam prinsip hukum yakni asas keislaman, legalitas, berkeadilan, kemaslahatan, pembelajaran (tadabbur), bahkan perlindungan hak asasi manusia yang begitu diagung-agungkan oleh Supriyadi.  Dengan demikian, tudingan Supriyadi yang menyebutkan Qanun Jinayat rentan menyasar korban perempuan, anak-anak dan LGBT justru terbantah dengan sendirinya. Dalam konteks perempuan dan anak-anak, justru Qanun Jinayat benar-benar menjadi proteksi hukum. Qanun Jinayat menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan anak.

“Misalnya dalam kasus tuduhan berzina, namun korban mengaku diperkosa. Qanun Jinayat memegang prinsip keadilan dengan memberikan hak kepada perempuan untuk memberikan alat bukti pemerkosaan, dan para penyidik berkewajiban melakukan penyidikan. Ini bentuk proteksi terhadap perempuan,” jelasnya.

“Tapi saya lihat semangat Supriyadi hanya untuk memperjuangkan isu-isu Gay dan Homoseksual. Isu ini tidak pernah bisa berdiri sendiri. Selalu menumpang pada isu-isu perempuan dan anak. Mungkin ada sponsor yang memesan ini kali ya,” sambungnya lagi.
Selanjutnya, Samsul juga membantah tudingan Supriyadi yang menyebutkan bentuk hukuman atas pelanggaran Qanun Jinayat mengandung esensi merendahkan martabat manusia. Dalam Qanun Jinayat sendiri, hukuman yang dimaksud tidak serta-merta berupa cambuk. Sanksi Jinayat pada dasarnya dibagi dalam dua hal. Kedua hal tersebut yakni Hudud dan Ta’zir. Hudud sendiri masih pada tahapan cambuk, bukan rajam atau potong tangan.

Sementara itu sanksi Ta’zir sendiri terdiri dari Ta’zir Utama dan Ta’zir Tambahan. “Kalau Supriyadi benar-benar memahami subtansi Qanun Jinayat, dia akan paham bahwa hukuman itu tidak serta merta cambuk. Ada proses dan pilihan hukuman yang tepat dan bijak diberikan sebagai bentuk pelajaran social,” tukas Samsul.

Pun bila dalam implementasi saat ini, terdapat beberapa diskriminasi kasus seperti yang terjadi di Banda Aceh terkait kasus Haji Bakry yang belum melalui proses cambuk, akan sangat naïf bila kemudian Supriyadi dan lembaganya menyalahkan Qanun Jinayat. Harusnya, melakukan gugatan hukum Supriyadi dilakukan terhadap Walikota Banda Aceh saat ini, Illiza Sa’adudin Djamal.

“Masak gara-gara ada fair trial atau diskriminasi, kemudian mereka menyalahkan Qanun Jinayat? Kalau begitu, kenapa dia nggak menggugat KUHP yang juga sering diskriminatif terhadap orang miskin. Sekali lagi, itu artinya Supriyadi nggak paham hukum,” tutupnya.

Sebagaimana dilansir viva.co.id (Kamis, 1 Oktober 2015), ICJR (Institute Criminal Justice Reform) menyipakan upaya hukum judicial review terhadap Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono beberapa hal menjadi pertentangan antara Qanun Jinayat dan kerangka hukum nasional Indonesia, termasuk konstitusi dan beberapa ketentuan Internasional yang sudah positif berlaku di Indonesia, yakni:
Pertama, mengenai perumusan norma pidananya, yang berpotensi menyasar kelompok rentan yakni: perempuan, anak dan LGBT.  
"Seharusnya kehadiran Qanun Aceh 6/2014 adalah untuk upaya mengisi kekosongan ketentuan pada KUHP namun dengan tidak bertentangan dengan ketentuan di atasnya, akan tetapi Qanun telah menghadirkan aturan baru yang berbenturan dengan KUHP," kata Supriyadi.

Ada beberapa tindak pidana dalam KUHP yang diatur ulang dalam Qanun. Situasi seperti ini, kata dia telah menimbulkan ketidakjelasan hukum. Kedua, mengenai pemidanaanya yang bersifat merendahkan martabat manusia termasuk penggunaan corporal punishment (pidana cambuk) yang dilakukan di depan umum.

Selain itu, jenis pidana cambuk berbenturan dengan pengaturan dalam KUHP karena hukuman cambuk bukanlah suatu sanksi pidana yang dikenal di Indonesia. KUHP telah mengatur secara limitatif jenis sanksi pidana apa saja yang dapat dikenakan terhadap tindak pidana. Pidana denda yang masuk dalam Uqubat Ta zir, juga terlalu besar (dihitung berdasarkan gram emas) sehingga menjadi beban ekonomi para pelaku pelanggar Qanun yang sebagian besar berada dalam kategori miskin.

Ketiga, berpotensi melanggar fair trial bagi tersangka dan terdakwa karena dalam praktiknya implementasi qanun bersifat selektif, diskriminasi, dan tidak diatur dengan hukum acara yang benar. Sesuai dengan standar hukum acara pidana.

Atas dasar tersebut, sebagaimana dilansir viva.co.id, ICJR menilai bahwa Qanun Jinayat akan berpotensi menjadi masalah dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam isu pidana dan HAM. Beberapa ketentun dalam Qanun Jinayat pada prinsipnya akan merusak kesatuan hukum di Indonesia, lebih jauh menghancurkan rencana besar pemerintah untuk melakukan revisi hukum pidana lewat RUU KUHP.

Gugatan ICJR di atas menyadarkan kita bahwa tidak mudah memberlakukan syari’at Islam di Aceh. Dengan pemberlakuan Syari’at Islam sebenarnya ada janji Allah Swt bahwa akan diturunkanNya keberkahan dari langit dan dari bumi sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa (yang dibuktikan dengan pemberlakuan hokum-hukum Islam dalam konteks kehidupan bernegara). Maka jika kita melihat ada yang menolak implementasi hukum Islam, sebenarnya itulah mereka sedang mencoba menghadang hadirnya keberkahan dari Allah tersebut. Tapi mereka lupa, bahwa Allah akan membelas setiap upaya makar yang menolak implementasi hukumNya di atas permukaan bumi. [Zul]

Posting Komentar untuk "Santri Dukung Pemerintah Aceh Terapkan Qanun Jinayat"