Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bahagia dan Kecewa Kudeta Turki

Oleh Usamah Elmadny 

Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan berita-berita kudeta yang terjadi  di Turki,  15/7, atau Jumat malam waktu setempat itu. Lamat-lamat setelah mencermati perguliran berita tersebut di medsos,  saya pun menjadi takjub. Seakan konflik politik di negeri Erthagul itu berpindah ke laman medsos orang-orang Aceh. Mencermati dinamika berita kudeta Turki di medsos  orang-orang Aceh seakan di Aceh sedang terjadi demam Turki.

Respon publik Aceh terhadap kejadian di negeri yang terletak di dua benua itu (Benua Asia dan eropa)  lumayan besar. Sampai tulisan ini saya siapkan, para netizen di Aceh masih menjadikan berita itu sebagai tranding topik. Mereka  --- yang saya kategorikan sebagai kelompok bahagia dan kelompok kecewa --- terkesan saling menyerang, mengejek bahkan membenci di medsos. 

Kelompok bahagia adalah sekelompok masyarakat Aceh yang begitu senang karena Sultan Recep Tayeb Erdogan, Presiden Repulik Turki yang juga Ketua Partai Keadilan dan Pembangunan ( AKP) --- partai berkuasa di Turki ---  selamat dari kudeta. Sedangkan kelompok kecewa adalah beberapa orang Aceh  atau ada juga orang luar tetapi merasa diri sebagai orang Aceh yang tidak suka  terhadap stile dan prototipe Erdogan serta  sejumlah capaian kemajuan Pemerintah Turki saat ini, termasuk , misalnya, tindakan Erdogan mengembalikan  Turki ke jalan yang benar sesuai dengan akar sejarah Turki. 

Saya memang telah lama mencermati kecenderungan sikap dan ideologi sejumlah pemilik akun sosial di Aceh,  Kemudian peristiwa kudeta gagal di Turki dan sejumlah status yang di upload di medsos terkait kejadian tersebut  membuat saya semakin mudah mengidentifikasi “libido” sosial politik sejumlah pihak di Aceh yang selama ini memiliki akun di medsos.

Ternyata mereka-mereka yang kecewa dan gundah gulana dengan gagalnya kudeta di Turki adalah mereka-mereka yang selama ini mengunakan akun pribadinya untuk menyerang setiap kebijakan penerapan syaria’at Islam di Aceh. Selama ini saya mengamati si pemilik akun tersebut begitu nyinyir dan terus menerus mengolok pelaksanaan syariat Islam di Aceh dengan cara-cara yang masif dan terstruktur.

Nah, mereka-mereka inilah seperti yang terdeskrepsikan di status mereka di medsos terlihat sedih dan kecewa banget. Seakan dari narasi status yang mereka kirim, mereka hendak berkata, “Kenapa sih sampai gagal menjatuhkan Erdogan?”. Sebaliknya, yang begitu berbahagia dengan gagalnya kudeta  militer di Turki ternyata adalah pemilik akun sosial yang selama ini simpatisan bahkan pendukung pelaksanaan syaria’at Islam di Aceh. 

Gejala kecenderungan ideologi sejumlah netizen di Aceh dalam mensikapi kudeta Turki itu rasanya seperti mewakili representasi suasana di Turki. Di mana sejumlah pihak meyakini, bahwa di balik kudeta gagal tersebut ada seorang tokoh yang bernama Fathullah Gulen, seorang “ulama” pendukung sekularisme  yang awalnya adalah mitra Erdogan tetapi di kemudian hari menjadi musuh bebuyutan karena berbeda persepsi dalam mensikapi sejumlah kebijakan Pemerintah Turki yang islamis. 

Sebagai bentuk kemarahannya kepada Erdogan, Gulen terus aktif melalui jaringannnya membentuk  paralell state  (negara tandingan) secara masif di Turki. Gerakan Gulen ini kabarnya telah menyusub  ke berbagai instansi negara, termasuk jajaran hakim, jaksa, polisi dan tentera sehingga sangat merepotkan Pemerintahan Erdogan. Hampir dipastikan, menurut sejumlah berita, tentera yang terlibat kudeta beberapa hari lalu adalah Gulenisme.

Puncak konflik Erdogan – Gulen adalah ketika pada tahun 2010 Gulen mengkritik kebijakan Erdogan mengirim Kapal Mavi Marmara  untuk menembus blokade Jalur Gaza dalam rangka membantu rakyat Pelistina dari kepungan Zionis Israel. Penolakan Gulen terhadap pengiriman Mavi Marmara ke Jalur Gaza seakan menjadi konfirmasi betapa Gulen memiliki hubungan baik dengan Israel sebagaimana diberitakan sejumlah pihak. Maka ketika akhirnya Gullen sampai hari ini memilih tinggal di Pennsylvania, AS, maka semakin  terkonfirmasi pula perihal adanya affairs antara Gulen dengan AS dan Israel.

Sebenarnya sangat jelas posisi berdiri yang diambil Erdogan dan Gulen terkait Islam dan masa depan umatnya melalui berbagai sikap dan pilihan politik mereka di Turki. Maka, dngan demikian “konflik” di dunia maya  Aceh antara  kelompok kecewa dengan kelompok bahagia sesungguhnya merupakan  representasi benturan antara ideologi Erdogan dan Gulen yang telah menglobal sampai ke Aceh. Dan ini adalah sesuatu yang wajar, karena benturan antara semangat berislam Rakyat Turki  versus  struktur sekularisme beserta segenap loyalisnya yang memang telah lama didesain bersamaan dengan runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani itu, dapat saja menginspirasi keberbagai belahan dunia. Lebih-lebih ke Aceh.

Memahami struktur dan anatomi konflik di Turki tersebut, maka kita pun menjadi paham mengapa dalam  seketika “panas” di Turki tersebut merambat  menjadi “demam” di Aceh. Karena di Aceh hari ini ---- sebagaimana juga di Turki --- juga sedang terjadi tarik menarik antara kelompok pro sekuler dengan kelompok pro syariah. 

Aceh dan Turki

Di luar hal tersebut di atas, sebenarnya juga ada hal lain yang dapat memantik simpati Aceh kepada Turki. Dengan kata lain ada interkoneksi yang dapat saja Aceh menjadi  “demam” karena sebuah peristiwa di Turki.

Zaman dulu, Kerajaan Aceh Darussalam tercatat memiliki hubungan diplomatik yang sangat harmonis dengan Kesultanan Turki Usmani. Kisah Meriam Lada Sicupak, misalnya, menjadi bagian dari bukti sejarah hubungan baik tersebut. Kala itu, Kesultanan Turki juga mengirim para ulama dan tenaga teknis militernya untuk membantu Aceh. Sampai hayatnya orang-orang Turki yang ke Aceh tersebut tidak kembali kekampung halamannya. Mereka berpusara di Gampong Bitai Banda Aceh.  Oleh sejumlah orang Turki yang datang saat tsunami mengakui bahwa kuburan nenek mereka di Bitai itu yang membuat Aceh begitu spesial bagi mereka.

Ketika Musibah Tsunami paruh akhir 2004, hubungan Aceh – Turki kembali terbuhul. Republik Turki secara besar-besaran kembali membantu rakyat Aceh yang tertimpa musibah. Para pengungsi sunami masih ingat betul dengan bantuan air bersih, perumahan, roti Turki yang khas dan berbagai bantuan lainnya.

Sampai hari ini di Aceh juga masih  terdapat simbol cinta Turki – Aceh. Simbol cinta itu adalah Kebab.  Di beberapa pojok Kota Banda Aceh, terutama di saat malam, kita dengan mudah mendapati pedagang Kebab dan ternyata dari hari ke hari banyak lidah orang Aceh yang semakin familiar dengan kuliner dari negeri Konstantinopel itu.

Saya katakan simbol cinta Turki – Aceh, karena sesungguhnya kehadiran Kebab di Aceh bukan semata peristiwa intervensi kuliner dari luar semata, tapi pada awalnya kehadiran Kebab bermula dari adanya benih cinta dan asmara antara laki-laki Turki yang datang saat Tsunami dengan perempuan Aceh. Kemudian beberapa dari mereka menikahi perempuan Aceh dan untuk menyambung hidup mereka buka usaha kebab.

Dengan fakta historis yang demikian, rasanya susah untuk menghentikan  jantung orang Aceh berdetak ketika setiap kali mendengar sebuah peristiwa terjadi di Turki.

Simpati untuk Erdogan

Di samping benang merah sejarah di atas, sosok Recep Tayeb  Erdogan yang menjadi Presiden Turki saat ini juga menjadi daya tarik dan sumber inspirasi tersendiri bagi sejumlah pihak di Aceh. Bukti teranyar adalah adanya sekelompok anak muda yang secara berkala mencetak kaos bergambar Erdogan. Mereka juga memiliki akun sosial dengan nama “Sahabat Erdogan”.

Kelompok inilah  di Aceh secara berkala mensosialisasi dan mempublikasikan berbagai gebrakan dan kemajuan capaian Pemerintahan Erdgan. Bagi kelompok ini, Erdogan bukan semata-mata pemimpin Republik Turki, tetapi Erdogan adalah cikal bakal Khalifah Usmani versi baru. Mereka yakin Erdogan denagan Partai AKP nya akan mampu mengembalikan kewibawaa dunia Islam.  Kata-kata Erdogan, “Dimana ada suara azan, di situlah tanah airku”, seakan menjadi pasword bahwa Erdogan bukan hanya pemimpin nasaional Turki, tetapi dia adalah bakal calon sultan untuk dunia Islam. 

Dalam Buku Erdogan Muazin Istambul Penakluk Sekularisme disebutkan bahwa Erdogan menyebut dirinya sebagai pemimpin religius di negera sekuler, dengan salah satu agenda prioritasnya menjaga agama dan orang-orang yang  menjalankannya. Bukan sebaliknya, memerangi agama sebagaimana selama ini dilakukan sejumlah rezim di Turki.

Sikap Kita?

Lalu bagaimana sikap kita di Aceh dengan perstiwa kudeta militer di Turki itu?.

Pertama, sebagai sesama negeri muslim dan kita memiliki beberapa hubungan emosional lainnya dengan Turki, tentu kita mersa prihatin dengan kejadian tersebut. Sebagai pengusung dan pendukung demokrasi, maka atas nama demokrasi, pada tempatnyalah bila kita mendukung Erdogan yang dipilih oleh rakyatnya secara sah dan demokratis. Dengan demikian kita berharap agar demokrasi di seluruh dunia ke depan tidak pernah lagi dicederai oleh kekerasan. Janganlah karena kebencian personal kepada Erdogan, lalu kita membenarkan militer mengoyak-ngoyak demokrasi.

Kedua, sebagai intermezo, saya coba ingatkan para pengikut Fathullah Gulen di Aceh. Hati-hati dengan aktifitas Anda, jangan terlalu antipati dengan syariat Islam di Aceh,  saya khawatir bila anda terlalu berlebihan dapat saja pendukung dan simpatisan Erdogan di Aceh akan menyeret dan mencekek Anda sebagaimana mereka lakukan terhadap tentera pelaku kudeta di Turki. []


sumber: http://www.usamahelmadny.com/2016/07/bahagia-dan-kecewa-kudeta-turki.html

Posting Komentar untuk "Bahagia dan Kecewa Kudeta Turki"