Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dinasti Ottoman, Benteng Terakhir Umat Islam Melawan Imperialisme Barat



Oleh Saief Alemdar
Berbicara tentang sejarah Ottoman, selalu saja menarik, suka atau tidak Ottoman merupakan benteng terakhir yang berhasil menahan dan memperlambat invasi dan imperialism Barat ke Timur lebih dari 300 tahun.

Selama 600 tahun umur Dinasti Ottoman, pada puncak kejayaannya Ottoman berkuasa sampai ke Bulgaria, Mesir, Yunani, Hungaria, Jordan, Lebanon, Palestina, Macedonia, Romania, Syria, sebagian besar Teluk dan sepanjang pantai utara Afrika, bahkan pengaruhnya sampai ke Nusantara.

Di sebagian negara hari ini, Ottoman memang disebut penjajah, namun disebagian negara lainnya Ottoman merupakan kebanggaan dan sumber inspirasi serta obsesi kejayaan masa depan di bawah bayang-bayang kejayaan masa lalu.

So, let’s put aside all the nationalist politics, Ottoman yang pernah mewarnai dunia sekitar 600 tahun itu merupakan salah satu objek yang sangat luar biasa untuk dikaji dan dibaca sejarah dan gerak-geriknya.

Dalam buku The Sultan ini, penulisnya banyak mengisahkan hal-hal yang mungkin tidak ditemukan dalam referensi berbahasa Indonesia atau Arab, atau mungkin referensi Arab dan Indonesia masih belum “seberani” penulis The Sultan dalam memaparkan sejarah Dinasti Ottoman yang dianggap sebagai penjelmaan Khailafah Islamiyyah terakhir di muka bumi.

Pendiri Dinasti Ottoman namanya Usman Ben Ertugrul, (sometimes spelt Ottman or Othman). Usman adalah orang Turki Seljuk yang berasal dari wilayah stepa Asia (Asia Tengah) yang datang ke Anatolia sekitar abad 11 masehi dan menetap disana akhir abad ke 13 dan awal abad 14. Usman terkenal sebagai seorang Ksatria yang tangguh di Anatolia. Kalau kata penulis The Sultan, “Osman was definitely real, but in some ways, he’s like King Arthur in the west: a founder of an idea and a near-mythical figure”.

Selama 600 tahun berkuasa, hanya 1 Sultan Ottoman yang tewas di medan perang dan hanya 1 yang ditawan oleh musuh (PoW). Anehnya, kedua kasus itu terjadi pada ayah dan anak. Pertama, Sultan Murad l, meninggal tahun 1389 dalam Pertempuran Kosovo (Battle of Kosovo), di tangan seorang aristokrat Serbia, Miloš Obilić.

Kedua, anak Sultan Murad l, yaitu Sultan Bayezid l, yang dikenal sebagai Bayezid Yilderim (the thunderbolt). Sultan Bayezid l memang benar-benar telah membuktikan dirinya pantas mendapat gelar “The Thunderbolt”, karena kelincahan dan gerakannya yang sangat cepat dalam berperang dan mengambil keputusan, dan keputusannya tegas, tidak bisa diralat oleh Menteri.

Namun, pada tahun 1402, Bayezid l harus menghadapi ancaman baru, yaitu ancaman panglima perang legendaris Tamerlane (Timur Lenk), panglima perang brutal abad ke-14 yang lahir di tempat yang sekarang bernama Uzbekistan, yang pernah memiliki kekuasaan yang membentang dari India saat ini hingga Turki, dan dari Rusia ke Arab Saudi.

Keduanya bertemu di Pertempuran Ankara (Battle of Ankara), di mana lebih dari 150.000 pasukan, kuda, dan bahkan gajah perang saling memburu nyawa. Perang tersebut berakhir dengan kemenangan Timur Lenk, sekitar 50.000 orang tewas dari kedua belah pihak, dan Sultan Bayezid l tertawan.
 
Peta Dinasti Ottoman. Sumber: Wikipedia
Kalau benar angka 50.000 itu (and there’s no way of knowing), maka ini adalah salah satu perang paling berdarah sebelum abad 20! Banyak yang memprediksikaan kekalahan Bayezid l karena pasukan Timur Lenk menggunakan gajah, itu yang tidak dimiliki pasukan Ottoman. Adapun performa pasukan Ottoman, "Ottoman force fought bravely".

Sultan Bayezid tewas dalam penjara musuh, yang menyebabkan terjadinya civil war dan perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya selama 11 tahun, sampai akhirnya pangeran Muhammad l (Kakeknya Muhammad Fatih) berhasil memenangkan perang tersebut dan menobatkan dirinya sebagai Sultan Ottoman.

Ketika menyebut Ottoman tentunya kita langsung berpikiran itu bangsa Turki, bahkan dalam literatur Eropa sering menyebut demikian, Ottoman ya Turki. Ternyata komponen Ottoman tidak murni Turki. Cukup sering dalam literatur Renaisans Eropa, sultan disebut sebagai "Great Turk"', sebuah gelar yang tidak ada artinya bagi istana Ottoman.

Sebenarnya Dinasti Ottoman itu sudah melampaui nasionalisme, agama dan kesukuan, semua ada disitu. Pasukan yang berperang dalam peyerangan Konstantinopel (Fall of Constantinople) yang terkenal melawan Kekaisaran Bizantium pada tahun 1453 tidak semuanya 'Turki', bahkan tidak semua pasukan yang mengepung Bizantium itu Muslim!

Lebih dari 30 orang Sultan Ottoman itu merupakan anak dari Harem Sultan, hal ini jarang diungkit, kenapa? Karena Harem itu semuanya bukan orang Turki, bahkan mungkin sebagian besarnya terlahir bukan sebagai seorang muslim. Para Harem itu berasal dari Yunani, Serbia dan Ukraina. Jadi ya sebagian besar DNA Sultan Ottoman itu lebih dominan berasal dari Yunani daripada Turki.

Seperti halnya pasukan khusus legendaris Ottoman, the Jannisaries, termasuk arsitek terkenal Ottman, Mimar Sinan, yang memulai karirnya sebagai anggota Jannisari, hampir semuanya anak-anak Kristen yang masuk Islam dari Balkan. Mungkin analogi modern terbaik untuk menggambarkan apa pun tentang Ottoman sebagai “Turki” adalah seperti mengatakan bahwa apa pun dari Great Britain adalah Inggris.

Sejak Ottoman muncul sebagai salah satu Dinasti besar di dunia, yaitu dari abad 15-19, Ottoman memiliki 3 musuh utama yang selalu menjadi rivalnya dalam sejarah, yaitu: Dinasti Safavid Persia di Timur; Tsar Rusia di Utara; dan The Habsburgs di Barat.

Dinasti Safavid Persia tidak pernah menjadi sekutu Ottoman sepanjang sejarah, mereka merupaka rival sejati. Entah karena memperebutkan kekuasaan di Kawasan seperti hari ini, atau karena satu Sunni dan satunya Syiah, atau karena memang satunya minyak satunya lagi air!

Demikian pula, ketika Tsar Rusia mulai menyebarkan kekuatan mereka ke selatan menuju Semenanjung Krimea dan Laut Hitam, Ottoman mulai kehilangan tempat dan dipaksa untuk berperang berkali-kali dengan tsar. Yang paling terkenal di Barat adalah Perang Krimea (Krymskaya voyna. 1853-1856), dimana Perancis dan Inggris bergabung dengan Ottoman untuk membantu Ottoman melawan “the rising star”, Russian Empire.

The Habsburg dan Ottoman sering sekali berperang, sampai-sampai Wina dua kali dikepung oleh pasukan Ottoman, bahkan ada perang yang disebut dengan “The Long Turkish War” (1593-1606) yang berakhir Peace of Zsitvatorok. Namun demikian, dalam perang terakhir Ottoman (Perang Dunia Pertama), Ottoman berada di kubu yang sama dengan Austro-Hungarian Empire, yang dipimpin oleh the Habsburg.

Keduanya kalah dalam perang Dunia Pertama dan keduanya pun masuk ke dalam Sejarah, The Empire was dismantled by the victorious Allied powers of First World War, dan sejarah baru dimulai. Maha Benar Allah dalam Firmannya Surat Ali Imran ayat 140

Posting Komentar untuk "Dinasti Ottoman, Benteng Terakhir Umat Islam Melawan Imperialisme Barat"