Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Ingin Menggugat As-Syafi'i

Oleh Tgk. H. Muhammad Iqbal Jalil
Dosen Ma'had Aly Mudi Mesra Samalanga 

Dalam kitab Tarikh Tasyri' karya Syekh Khudhari Bik disebutkan bahwa perubahan stabilitas politik di awal abad ke-4 H tidak sampai memberi dampak kepada merosotnya dinamika intelektual. 

Dinamika intelektual tetap berkembang, terlebih pada masa Dinasti Saljuk di Timur dan Daulah Fathimiyyah di Mesir dimana pada masa itu banyak muncul ulama besar dan pemikir yang handal. 

Hanya saja perlu diakui bahwa kemandirian dalam berijtihad telah melemah di fase ini dan umat Islam pada umumnya telah konsisten mengikuti mazhab tertentu dari mazhab yang telah ada sebelumnya.

Sebenarnya ada salah seorang Ulama Syafi'iyyah di periode ini yang mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan mazhab. Beliau adalah Abu Abdillah bin Yusuf Al-Juwaini, ayahanda dari Imam Haramain. 

Beliau memulai percobaannya dengan mengarang kitab Al-Muhith, di mana dalam mengarang kitab itu beliau bertekad untuk tidak mengikatkan diri dengan mazhab. Beliau ingin berdiri di posisi hadis dan tidak ingin sedikit pun melangkahinya serta menjauhkan diri dari sikap fanatik kepada mazhab.

Kitab karangan Imam Al-Juwaini ini kemudian dicounter oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi dalam risalahnya sejumlah 3 juzu'. Dalam risalah ini Imam Baihaqi mengkritisi Imam Al-Juwaini terhadap pemahaman baru darinya dan menjelaskan bahwa yang berpegang teguh dengan hadis sebenarnya adalah Imam As-Syafi'i. 

Penolakan Imam As-Syafi'i terhadap hadis yang dikemukakan oleh Imam Al-Juwaini disebabkan karena ada ilal (kecacatan) yang hal itu maklum di kalangan orang-orang yang mumpuni dalam bidang hadis. 

Jadi Imam Syafi'i tidak sekedar memahami ada hadis dalam masalah ini, tapi juga memiliki tambahan pemahaman bahwa hadis itu tidak dapat dijadikan dalil.

Setelah risalah ini sampai ke Imam Al-Juwaini, beliau sangat senang dan mengucapkan ; "haza barakatul 'ilm, Ini adalah keberkahan ilmu" seraya mendoakan Imam Baihaqi. Saat itu juga beliau mengambil kesimpulan untuk tidak lagi melanjutkan karyanya yang telah keliru dalam menggugat Imam Syafi'i.

Dari kisah ini saya teringat dengan pernyataan guru kami, Aba. H. Helmi Imran bahwa kalau ada orang yang bertanya,

"Ustaz, kalau seandainya bertentangan antara pendapat Imam Mazhab dengan hadis shahih mana yang harus didahulukan?"

Kita perlu merespon balik;

"Apakah Saudara yakin bahwa pendapat Saudara pasti shahih sehingga berani mengklaim telah terjadi pertentangan antara pendapat Imam mazhab dengan hadis shahih."

Kenapa pertanyaan ini penting? Karena terkadang pertentangannya bukan antara pendapat Imam mazhab dengan hadis shahih, tetapi pertentangan antara pemahamannya terhadap hadis shahih yang tidak dibekali dengan ilmu yang mumpuni dengan pemahaman imam mazhab yang telah memiliki segala perangkat ijtihad. 

Terkadang yang terjadi adalah pertentangan antara seseorang yang hanya memahami hadis saja dengan pemahaman seorang ulama yang mengetahui hadis, juga mengetahui penafsirannya dan derajat kehujjahannya.

Intinya sebelum menggugat As-Syafi'i, mungkin  perlu terlebih dahulu kita menggugat diri kita sendiri. Jangan-jangan kita terlalu merasa pandai, namun belum pandai merasa dimana sebenarnya di posisi kita dibanding Imam As-Syafi'i dan para A'immatul Huda lainnya.

Wallahu A'lam bish Shawab!

Posting Komentar untuk "Ketika Ingin Menggugat As-Syafi'i "