Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dayah Membangun Persaudaraan Islam

Oleh Teuku Zulkhairi

Salah satu hal penting dibudayakan di dayah adalah kekuatan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Ukhuwah Islamiyah ini mampu mereka bangun di internal dayah dan dengan masyarakat sekitar dayah. Ini membedakan dayah dengan lembaga pendidikan umum lainnya yang terkesan “terasing” dari realitas kehidupan masyarakat.

Terhadap realitas ini, M. Hasbi Amiruddin (2004) menjelaskan, para ulama dayah senantiasa menyambung persaudaraan dengan masyarakat. Mereka mengunjungi masyarakat atau keluarga, memberi nasehat apabila ada orang yang berselisih paham atau perkelahian dalam masyarakat dan kadang-kadang para ulama dayah pun mengundang masyarakat ke rumahnya (ke dayah). Menurut M. Hasbi Amiruddin, persaudaraan yang dilakukan ulama dayah baik dengan santri maupun dengan masyarakat tetap dilakukan.

Pengakuan ini nampaknya cukup berasalan, khususnya apabila kita menyelami jauh kehidupan masyarakat dayah. Pengalaman penulis sendiri, saat mengaji di Dayah Babussalam Matangkuli-Aceh Utara dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, penulis merasakan sendiri bagaimana indahnya persaudaraan Islam yang dibangun dalam komunitas dayah (antara santri dan guru/teungku), serta persadudaraan yang dibangun dayah sebagai sebuah institusi pendidikan dengan masyarakat sekitar dayah.

          Kuatnya persaudaraan yang dibangun di internal dayah, misalnya saat seorang santri tidak memiliki uang untuk membeli bekal untuk makan (lauk pauk), para santri yang berkecukupan saat itu langsung berbagi makanannya baik oleh sebab diminta maupun tidak diminta. Dan ini cukup banyak terjadi mengingat kebanyakan santri dayah adalah berasal dari keluarga miskin dan perantau. Cukup banyak pula santri yang memang tidak memiliki bekal sama sekali untuk belajar mondok di dayah (maksudnya orang tuanya tidak mampu membiayainya). Terhadap fenomena ini, para teungku dan pimpinan dayah cukup sering membantu santri ini seperti dengan menunjukkan padanya pekerjaan-pekerjaan yang bisa mendatangkan keuntungan secara materi. Disuruh pergi ke sawah, diberikan beban-beban yang ujungnya agar ia memperoleh sedikit bekal untuk terus bertahan hidup di dayah. Intinya, santri miskin yang belajar di dayah akan dibantu oleh dayah untuk tetap bertahan di dayah sampai kemudian ia mandiri.

Penulis yang saat belajar di dayah berasal keluarga yang kurang secara ekonomi merasakan betul bahwa ada dukungan luar biasa dari segenap komunitas dayah agar penulis bisa tetap belajar di dayah selama mungkin meskipun dihadang oleh kesulitan secara finansial. Misalnya, di musim panen padi, pimpinan dayah akan memilih santri-santri dari keluarga miskin untuk mencari zakat ke masyarakat-masyarakat beberapa kecamatan sekitar dayah yang sedang panen padi. Meski saat itu penulis menyaksikan ada juga masyarakat yang enggan membayar zakat ke dayah, namun tidka sedikit yang memberi zakat padi untuk kami bawa pulang ke dayah.

Zakat padi yang terkumpul ini selanjutnya dijual dan kami mendapatkan hak/imbalan amil (pengumpul) zakat. Imbalan ini bukan saja membantu kami untuk terus bertahan di dayah (karena memang orang tua kami tidak mampu memberi belanja), namun juga bahkan kami mampu membeli pakaian baru dan kitab-kitab untuk digunakan dalam rangka menuntut ilmu.

Dan setelah penulis belajar hingga kelas III (tahun ke 3), saat itu peluang mengajar anak-anak Taman Pengajian Alquran (TPA) pun atau mengajar privat di rumah warga pun terbuka. Selesai mengajar sore, pemilik rumah menyediakan kami makan malam. Dan itu cukup membantu kami untuk terus bertahan di dayah, selain tentu saja kami akan mendapatkan honor bulanan sekitar Rp 100.000 per bulan.

Terhadap hal ini, penelitian yang dilakukan Muhammad AR (2010)[1] menjelaskan, di antara proses dayah dalam menyebarkan nilai-nilai persaudaraan Islam adalah taat kepada Allah, mengharap ridha Allah Swt, pemantapan ikatan di antara guru dengan santri, mengamalkan akhlak dari Sunnah Nabi, hormat menghormati, ziarah menziarahi, mengutamakan adab, maaf bermaafan, shalat berjama’ah dan mengajar. Dengan cara dan langkah inilah menurut Muhammad AR, sehinngga dayah mampu menyebarkan nilai-nilai persaudaraan Islam dengan para santri. Inilah akulturasi persaudaraan Islam yang disebarkan oleh dayah terhadap santri yang menimbulkan rasa hormat dan kasih sayang antara sesama mereka di dayah. Hubungan guru dan santri tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun.

Kuatnya soliditas persaudaraan Islam di kalangan internal dayah memberikan pengaruh yang signifikan bagi kalangan dayah untuk juga memperteguh persaudaraan Islam di tengah-tengah masyarakat.  Dalam hal ini, masih menurut Muhammad AR, ada beberapa kaedah yang diamalkan oleh kalangan dayah dalam menyebarkan persaudaraan Islam terhadap masyarakat setempat, yaitu melalui pengajaran, memenuhi undangan untuk melaksanakan Fardhu Kifayah, dan terlibat dalam setiap aktivitas sosial dan keagamaan.

 Muhammad AR melanjutkan, dengan mengajarkan masyarakat setempat baik mereka pergi ke dayah atau sebaliknya Teungku Chik yang pergi ke kampung mereka, maka persaudaraan Islam antara mereka akan semakin akrab.

Selain itu, yang paling berpengaruh pada kuatnya hubungan persaudaraan Islam antara dayah dengan masyarakat terletak pada standar biaya pendidikan dayah yang sangat terjangkau sehingga membuat lembaga pendidikan dayah sangat dekat masyarakat. Dayah berhasil membangun image dirinya sebagai lembaga pendidikan yang merakyat sehingga persaudaraan Islam kian mudah dibangun.

Berikutnya, keterbukaan lembaga pendidikan dayah dengan masyarakat sekitar dayah membuat persaudaraan Islam menjadi semakin terpelihara. Dayah terbukti tidak tertutup (ekslusif) dan senantiasa membuka diri sehingga siapapun bisa mengakses proses belajar mengajar di Aceh hingga ke kurikulumnya. Dan bukan itu saja, keterbukaan dayah dengan membuka Majlis Ta’lim di dayah bagi warga sekitar dayah juga semakin membuat insitusi dayah kian bermasyarakat sehingga sangat beralasan jika kita sebuat dayah senantiasa menjadi sub-sistem masyarakat Aceh.

Barangkali, itu sebab sehingga di era penjajahan, Belanda menaruh perhatian total untuk bagaimana menghancurkan lembaga pendidikan dayah, sebab mereka paham begitu kuatnya pengaruh dayah dalam masyarakat Aceh.



[1] Selanjutnya lihat Dr H. Muhammad AR, M.Ed, Akulturasi Nilai-Nilai Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Keagamaan Kemenag RI, Tahun 2010.

Posting Komentar untuk "Dayah Membangun Persaudaraan Islam"