Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dayah Mendidik Santri untuk Berhemat



Oleh Ibnu Hajar Ibrahim

Suatu hari Nabi Sulaiman yang memperoleh keistimewaan berupa kemampuan memahami bahasa binatang menemui seekor semut dan menanyakan rezekinya. “Wahai semutberapa butir beraskah yang engkau makan dalam masa sebulan?”

 “Hanya sebutir ya nabiullah,” jawab semut

Lalu Nabi Sulaiman menyimpan semut tersebut dalam sebuah kotak dan meletakkan sebutir beras sebagai makanannya.

Sebulan kemudian, Nabi Sulaiman mendatangi semut tersebut. Alangkah terkejutnya sang nabi ketika mendapati beras tersebut masih tersisa setengah butir.

 Tak ayal, Nabi Sulaiman pun bertanya, “Wahai semut, engkau mengatakan hanya memakan satu butir beras sebulan, lalu dalam sebulan ini, mengapa hanya setengah butir saja yang engkau makan?”

Semutpun menjawab, “Benar wahai nabi. Memang aku membutuhkan sebutir beras sebagai makan sebulan. Tetapi ketika itu aku yakin Allah yang akan memberikan rezeki untukku. Sekarang, engkau mengurungku dalam kotak ini. Aku khawatir jika engkau lupa atau engkau tak sempat menjengukku, tinggallah aku kelaparan dalam kotak ini jika aku bergantung rezeki padamu. Aku hanya memakan setengah butir beras karena ingin menyambung nyawaku jika kekhawatiranku benar-benar terjadi.”

Subhanallah. Nabi sulaiman bertasbih dan membenarkan ungkapan semut tersebut

Didikan Berhemat

Apa yang dialami semut dalam kisah di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami para santri di dayah. Hidup tanpa ditemani orang tua dan berbekal sejumlah dana dan beras yang diantar pada waktu-waktu tertentu membuat santri dayah harus berhemat. Hal tersebut karena sangat mungkin kiriman pada periode selanjutnya akan terlambat atau jumlahnya berkurang.

Bila tidak berhemat, dana yang telah diserahkan akan habis sebelum waktunya sementara tambahan dana hanya akan dikirim pada periode selanjutnya. Bila ingin berharap tambahan dana cepat karena tidak hemat, tambahan dana tersebut juga tidak mudah terwujud karena keluarga juga sering kekurangan dana. Bahkan tak jarang, banyak orang tua yang bekerja keras hanya untuk menghidupi anaknya di dayah. Ia rela hidup pas-pasan dan makan seadanya asalkan dana untuk penghidupan anaknya terpenuhi.

Sulitnya mendapatkan dana tambahan bahkan dana untuk periode yang telah ditentukan diakui para orang tua santri. Mereka menyatakan bahwa memiliki dua kanot bu (dua periuk nasi) tidaklah mudah. Dua periuk yang dimaksud adalah satu periuk yakni dapur untuk diri dan keluarganya dan satu periuk lagi untuk anaknya di dayah. “Memenuhi satu periuk saja sulit apalagi harus memenuhi dua periuk”, ungkap mereka dalam Bahasa Aceh. Menyadari hal tersebut terlebih mengingat perjuangan orang tua untuk mendapatkan dana membuat kesadaran santri untuk berhemat dan belajar menjadi semakin meningkat.

Didikan untuk berhemat sangat terasa di dayah bahkan dayah terkenal dengat hematnya. Lingkungan dayah hampir tidak memberikan peluang kepada guru apalagi santri untuk bermewah-mewah. Hal tersebut antara lain karena lingkungan dayah dihuni ratusan bahkan ribuan manusia. Bila tidak hemat menggunakan listrik, air dan tempat misalnya, berbagai kegiatan dayah akan terganggu bahkan tak dapat berjalan sama sekali. Tentu saja kenyataan tersebut selalu diantisipasi. Salah satu cara yang ditempuh adalah menggunakan fasilitas dayah secara hemat dan sesuai dengan kebutuhan.

Selain karena dipenuhi ratusan bahkan ribuan manusia, rutinitas dayah juga menuntut santri untuk hidup hemat dan jauh dari bermewah-mewahan apalagi berfoya-foya. Andai santri ingin menikmati kemewahan yang barangkali dimilikinya, ia juga tak memiliki waktu karena harus ikut dan terlibat dalam berbagai rutinitas dayah. Berbagai kenyataan tersebut membuat santri belajar dan terbiasa untuk hemat.

Selain dalam praktek, didikan untuk berhemat juga ditekankan dalam materi ajar. Kitab Ta'lim Al muta'allim yang ditulis oleh Syekh Az-Zarnuji merupakan salah satu referensi santri agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Syekh Az-Zarnuji bahkan menyatakan bahwa mempelajari akhlak terpuji seperti murah hati dan berani serta sifat tercela seperti israf dan sombong merupakan kewajiban setiap orang Islam.

Syekh Az-Zarnuji menulis: “Setiap orang islam juga wajib mempelajari akhlak yang terpuji dan yang tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah diri, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil terlalu hemat dan sebagainya. Sifat sombong, kikir, penakut, israf hukumnya haram. Dan tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat itu tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara menghilangkannya. Oleh karena itu orang islam wajib mengetahuinya.” (Ta'lim Al muta'allim halaman 8)

Khusus untuk penggunaan air untuk bersuci seperti berwudhu, selain dalam materi ajar santri juga dididik untuk berwudhu secara hemat. Dalam berbagai kita-kitab fiqih disebutkan bahwa salah satu sunat wudhu adalah membasuh atau menyapu anggota wudhu tiga kali. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya berkata: "Seorang arab badui datang kepada Nabi Saw, maka Nabi Saw memperlihatkannya wudhu' dengan tiga kali-tiga kali, kemudian Nabi Saw berkata: "Demikianlah wudhu', maka barang siapa yang menambah lebih dari ini (lebih dari tiga kali), maka dia telah berbuat jelek dan melampaui batas dan berbuat dzalim." (Hadits riwayat An Nasai).

Lebih jauh Sayyid Abi Bakri menulis bahwa membasuh atau menyapu anggota wudhu kurang atau lebih dari tiga kali hukumnya makruh. Bahkan bila air tersebut diwaqafkan untuk bersuci, menambah lebih dari tiga kali justru haram (Sayyid Abi Bakri: I’anathu Al Thalibin halaman 51-52)  

Santri juga dididik untuk hemat menggunakan air saat berwudhu dengan berlandaskan pada hadits riwayat Abdullah bin Zaid yang mengatakan: "Nabi Saw di datangkan air kepada beliau (sebanyak) dua per tiga mud, lalu beliau menggosok kedua lengannya." (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah).

Selain wudhu, santri juga dididik untuk menghemat air saat mandi. Hal tersebut sebagaimana tersebut dalam hadits dari 'Aisyah bahwasanya Rasulullah Saw mandi janabah dengan satu ina', (satu farq). (Hadits riwayat Muslim)

Santri juga dididik untuk berhemat dengan berlandaskan firman Allah berikut: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS: Al-A'raf Ayat: 31). Oleh Ahmad Zaini Dahlani, potongan ayat tersebut dijadikan sebagai contoh majaz, bagian dari materi yang juga dipelajari di dayah (Majmu’ Khamsin Rasail halaman 6).

Santri juga sangat akrab dengan ayat Al quran yang menyatakan bahwa orang yang tidak hemat yakni pemboros adalah saudara setan. Allah berfirman: “Sesungguhnya pemboros- pemboros itu adalah saudara- saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya.”  (QS. Al-Isra’:27)

Selain hemat, santri juga diajarkan untuk tidak kikir berdasarkan ayat berikut: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (QS: Al Furqan:67)

Syekh Az-Zarnuji bahkan mengatakan bahwa terlalu hemat atau berlebih-lebihan dapat menjauhkan rezeki. Syekh Az-Zarnuji menulis: “Termasuk yang menjauhkan rezeki itu menulis dengan pena rusak, menyisir dengan sisir yang rusak, tidak mau mendo'akan bagus kepada orang tua, memakai serban sambil berdiri, memakai celana sambil duduk, kikir, terlalu hemat, atau berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, bermalasan dan menunda atau menyepelekan suatu urusan semuanya membuat fakir seseorang (Ta'lim Al muta'allim halaman 44)

Fenomena Hemat

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Melihat kenyataan tersebut, sebagian penduduk Indonesia cenderung tidak hemat. Hal tersebut misalnya terlihat dari porsi makanan saat makan di tempat walimah, rumah makan atau tempat lain. Hana pat duek kenet (tidak ada tempat untuk kernet) adalah fenomena yang lazim ditemui. Sayangnya, makanan tersebut tak ia habiskan, tetapi justru tersisa untuk kemudian dibuang sia-sia.

Fenomena lain terlihat dari penggunaan energi seperti listrik, bahan bakar, air dan sejenisnya. Betapa banyak lampu dan pendingin ruangan di kantor pemerintah yang terus hidup tanpa siapapun yang menggunakannya. Betapa banyak pula air yang terus keluar melalui kran dan meluap dari bak penampungan tanpa seorangpun memanfaatkannya. Kepedulian dan kesadaran untuk berhemat tampaknya masih absen dalam diri kita. Disisi lain, kita cenderung pintar untuk menghabiskan dana milyaran rupiah untuk membangun gedung bertingkat namun otak kita berhenti bekerja saat digunakan untuk memperbaiki kran air yang biayanya hanya ratusan ribu atau bahkan puluhan ribu rupiah.  

Kenyataan berbeda terjadi di negara-negara yang miskin sumber daya alam namun berusaha menggunakan apa yang mereka miliki secara hemat. Mereka juga mengoptimalkan sumber daya yang ada atau mengimpor sumber daya alam dari negara lain lalu lalu mengolah dan menggunakannya secara hemat. Lewat praktek tersebut, mereka melaju menjadi negara maju.

Hemat adalah permata yang amat berharga dalam hidup ini. Dayah selalu mendidik penerus bangsa ini untuk berhemat dalam mengkonsumsi apapun. Menyadari urgensi hemat dan fenomena tak hemat yang sering terjadi di sekitar kita, tampaknya kita harus merenung sambil mengharapkan agar pernyataan rasulullah dalam hadis berikut tidak dialamatkan kepada kita. Dari Abdullah bin Mugaffal Ra, beliau mendengar Nabi Saw berkata : "Sesungguhnya akan ada pada umat ini suatu kaum yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo'a." (Hadits riwayat Abu Dawud).

Penulis adalah Dosen Ma'had Aly Babussalam Al-Hanafiyyah Matangkuli Aceh Utara.


Posting Komentar untuk "Dayah Mendidik Santri untuk Berhemat"