Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Para Ulama Berbeda Pendapat dan Bagaimana Sikap Kita?

 

Foto ilustrasi pengajian ulama. Sumber : internet


Oleh Maulidiah Fauza

Mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) FTK UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Perbedaan pendapat (Ikhtilaf) dalam konteks pendapat para ulama pada masalahn furu’iyah ini bukanlah persoalan yang harus terjadinya perpecahan. Sekarang ada sekelompok orang yang menganggap bahwa perbedaan para ulama itu menyebabkan terjadinya perpecahan dikalangan umat Islam, dan ucapan ini tidak benar.

Ucapan ini keluar dari lisan orang yang tidak paham. Sekarang terdapat orang-orang yang tidak mau bermazhab, mereka menganggap akan timbulnya perpecahan dan ini sangat tidak benar.

Kita sebagai mahasiswa wajib mengetahui sebab-sebab ikhtilaf ulama, karena kedepannya kita akan turun dan bergabung ke masyarakat. Dengan hadirnya kita di tengah-tengah masyarakat diharapkan kita dapat memberikan pencerahan kepada mereka dengan tujuan untuk menyatukan ummat.

Seperti firman Allah :

 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)

Kita lihat ke belakang sebelum datangnya Islam sangat banyak orang yang bercerai berai hanya karena permasalahan yang kecil. Maka dari kejadian tersebut lebih baik kita untuk bersatu dan saling  menyambung silaturrahmi di jalan-Nya. 

Perbedaan pendapat dikalangan ulama menganai furu’iyah ini adalah sebagai rahmat. Perbedaan pendapat ini sudah ada sejak masa Khulfaur Rasyidin bahkan pada masa Rasulullah (perbedaan pendapat antar sahabat Nabi).

Contohnya ketika Rasulullah menerima perintah dari Allah yang disampaikan melalui malaikat jibril untuk berperang dengan bani Quraidah. Ketika di perjalanan para sahabat terpecah menjadi 2 golongan, yang pertama tetap melaksanakan perintah Rasul (tidaklah kalian sholat setelah sampai diperkampungan bani Quraidah), dan yang kedua mereka tetap shalat ashar karena takut ketika sampai disana waktu ashar sudah habis. Kemudian Rasulullah Saw tidak menyalahkan siapapun di antara keduanya.

Disini kita lihat bagaimana Rasulullah menanggapi perbedaan pendapat dikalangan sahabatnya. Dalam melihat perbedaan-perbedaan pendapat ini kita harus memiliki jiwa yang lapang, serta bersikap dengan cara terbaik dalam merespon perbedaan pendapat. Adanya ikhtilaf di kalangan para ulama ini sesungguhnya memberikan kemudahan, bukan kemudharatan.

Jika kita lihat di Aceh kebanyakan orang bermazhab Syafi’i tetapi ada juga yang bermazhab lain, dengan begitu perlunya kita menghormati mazhab-mazhab yang lain, bertujuan untuk tetap mengutamakan suasana persatuan ditengah-tengah ummat.

Perbedaan yang terjadi ditengah-tengah ulama para mazhab hanya terbatas pada masalah-masalah yang diambil dari sumber-sumber syari'at. Jadi bukan berarti para ulama mazhab itu berbeda pendapat dalam semua perkara. Perbedaan pendapat ini hanya terjadi karena adanya ijtihad.

Para mujtahid ini jika mereka berijtihad dan ijtihadnya benar maka mereka akan mendapatkan dua pahala dan jika salah mereka akan mendapatkan satu pahala, tidak ada yang berdosa. Tetapi ada juga ikhtilaf yang dilarang, misalnya sudah jelas adanya hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits tetapi ia masih berbeda pendapat. Perbedaan pendapat juga terjadi karena  sedikit banyaknya dalil syara’ yang digunakan oleh para mujtahid.

Sebab-sebab perbedaan pendapat yang pertama adalah perbedaan makna dalam kata-kata bahasa Arab sehingga ketika turunnya suatu ayat setelah Rasulullah wafat, para sahabat memahaminya dengan berbeda-beda, itu hanya dalam furu’iyah. Seperti pada ayat Laa ikraahafiddiin apakah ia maksudnya sebagai pemberitahuan yang bermakna larangan atau ia sebagai khabar.

Kedua, perbedaan periwayatan hadits terjadi karena delapan sebab seperti sebuah hadits yang sampai kepada seseorang tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain, atau suatu hadits yang sampai melalui jalur sanad yang dha’if yang tidak boleh digunakan sebagai hujjah tetapi ada juga jalur yang shahih.

Ketiga, perbedaan sumber, ada sumber yang dipersilisihkan oleh para ulama, sejauh manakah hadits dapat dijadijakan sumber hukum.

Keempat, perbedaan kaidah-kaidah ushul seperti kaidah ‘am yang dikhususkan

Kelima, ijtihad dengan jalan qias, dalam Al-Qur’an Allah melarang kita untuk meminum arak, disini yang disebutkan hanya minum arak saja padahal yang memabukkan itu banyak. Kemudian ulama mengqiaskan bahwa apa saja yang memabukkan maka hukumnya haram. Qias merupakan salah satu bidang dalam ijtihad.

Dalam proses ijtihad dengan menggunakan qias ini banyak sekali ulama berbeda pendapat. Allah meminta jika terdapat perbedaan pendapat dalam  suatu perkara maka mengembalikan urusan tersebut pada Allah dan Al-Qur’an. Proses mengembalikan inilah yang dipahami sebagai dalil qias.

Keenam, pertentangan dan tarjih diantara dalil, perbedaan ini terjadi diantara nash-nash, maka dari itu ulama akan merujuk kepada tujuan dari pada syariat Islam.

Perbedaan pendapat ini tidak boleh dijadikan sebagai sumber perpecahan permusuhan. Perlu kita  ketahui, para mujtahid sendiri tidak mau mengatakan pendapat mereka dari Allah, tetapi mereka mengatakan itulah pendapat mereka sendiri. Ini menunjukkan akhlak mereka yang sangat memuliakan Allah. Para ulama sudah berijtihad, dan ijtihadnya bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Kalau benar mereka mendapatkan dua pahala, dan jika salah mereka dapatkan satu pahala. Jadi mereka tetap berpahala.

Kita sebagai orang biasa tidak mampu menilai mana yang benar dan mana yang salah, karena posisi kita hanya memahami kenapa terjadinya perbedaan pendapat tersebut. Kemudian kita berdiri pada posisi yang ideal agar kita menjadi seorang muslim yang baik dalam merespon ikhtilaf para ulama. [Tulisan diringkas penulis dari sebagian materi perkuliahan daring Mata Kuliah Fiqh Muqaran]

 

Posting Komentar untuk "Mengapa Para Ulama Berbeda Pendapat dan Bagaimana Sikap Kita?"