Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

26 Kekhususan Aceh dalam UUPA (Undang-undang Pemerintahan Aceh)

Masjid Raya Baiturrraman. Foto : internet


26 KEKHUSUSAN ACEH DALAM UUPA 
Oleh Mukim Siem Meudelat (Asnawi Zainun, SH)

Guru kami Dr. Takwaddin Husin, mencatat 26 Kekhususan Aceh dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Serambinews.com,Selasa, 30 Agustus 2016, 09:54) sebagai berikut :

1. Diakuinya lagi pemerintahan mukim sebagai struktur resmi dalam hirarkhi pemerintahan Aceh (Pasal 2 jo Pasal 114); 

2. Adanya peran DPRA dan pemerintah Aceh dalam hal konsultasi dan memberikan pertimbangan terhadap rencana pembuatan persetujuan perjanjian Internasional dan kebijakan Administratif yang berkaitan langsung dengan Aceh (Pasal 8 UUPA);

3. Kewenangan pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama internasional dengan lembaga atau badan di luar negeri dengan persetujuan DPRA dalam kegiatan seni budaya dan olahraga, kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah (Pasal 9 jo Pasal 23);

4. Kewenangan pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam membentuk badan dan komisi dengan persetujuan DPRA atau DPRK (Pasal 10);

5. Adanya asas keislaman dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai asas utama, yang didukung oleh asas: kepastian hukum, kepentingan umum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan asas kesetaraan (Pasal 20); 

6. Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan UU (Pasal 22). UU dimaksud adalah UU yang mengatur susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

7. Kewenangan membentuk Qanun Aceh atau Qanun Kabupaten/Kota oleh DPRA/DPRK yang dibahas dengan Gubernur/Bupati/Wali Kota untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 23 jo Pasal 232); 

8. Adanya Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) yang pembentukannya diusulkan oleh DPRA/DPRK, ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota (Pasal 23 jo Pasal 56); 

9. Kewenangan pembentukan partai politik lokal. Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 75 dan Pasal 77);

10. Kewenangan membentuk Lembaga Wali Nanggroe (LWN), sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya (Pasal 96); 

11. Kewenangan memfungsikan kembali peranan lembaga-lembaga adat sebagai wahana partisipasi masyarakat di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, serta penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan (Pasal 98);

12. Kewenangan pelaksanaan Syariat Islam dalam bidang aqidah, syar’iyah dan akhlak. Syariat Islam dimaksud meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam (Pasal 125 dan Pasal 126);

13. Kewenangan pembentukan Mahkamah Syariah. Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam (Pasal 128);

14. Kewenangan membentuk Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan keterwakilan perempuan (Pasal 138); 

15. Perencanaan pembangunan dan tata ruang Aceh/kabupaten/kota harus memperhatikan: nilai-nilai Islam, sosial budaya, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, keadilan dan pemerataan, dan kebutuhan (Pasal 141);

16. Kewenangan pemerintah Aceh dan pemkab/kota mengelola sumber daya alam (SDA) di Aceh baik di darat maupun laut. Pengelolaan SDA dimaksud meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. SDA tersebut meliputi bidang: pertambangan (mineral, batubara, panas bumi), kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan (Pasal 156); 

17. Kewenangan pemerintah dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama SDA minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah Aceh, dan kewenangan dapat menunjuk atau membentuk Badan Pengeloaan Migas Aceh (Pasal 160);

18. Sumber keuangan Aceh yang besar, yang berasal dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khsusus (Otsus). Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain. Dana Otsus merupakan penerimaan pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai: pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dana Otsus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% plafon DAU Nasional (Pasal 183);

19. Kewenangan kordinasi dan persetujuan Gubernur dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh. Kebijakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Aceh dikoordinasikan oleh Kapolda kepada Gubernur (Pasal 204 dan Pasal 205). Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira polisi di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum, syariat Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Aceh;

20. Kewenangan persetujuan Gubernur dalam pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh. Pengangkatan Kajati Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur (Pasal 209); 

21. Kewenangan khusus bidang pertanahan. Pemerintah Aceh berwenang memberikan hak guna bangunan dan hak guna usaha bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing sesuai dengan norma, standard, dan prosedur yang berlaku, yang diatur dengan Qanun (Pasal 214);

22. Kewenangan khusus bidang pendidikan. Penduduk Aceh yang berusia 7 sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Kewenangan pembentukan Majelis Pendidikan Aceh (Pasal 215 - Pasal 220); 

23. Kewenangan melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam (Pasal 221); 

24. Kewenangan khusus dalam pelayanan kesehatan. Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang menyeluruh tanpa biaya (Pasal 224);

25. Pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh. Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan UU ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh (Pasal 228 jo Pasal 229); 

26. Kewenangan pemerintahan Aceh dalam menentukan dan menetapkan bendera, lambang, dan himne Aceh sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan yang diatur dalam qanun (Pasal 246 - Pasal 248).

Namun Pertanyaan pentingnya adalah : 
- Apakah Pemerintahan Aceh serius mengimplementasikan kekhususan2 Aceh dimaksud ?

- Seberapa besar dampak positif yang telah dirasakan rakyat Aceh dgn pelaksanaan kekhususan Aceh? 

HáNá JiBriE 
TaLAKèë
'OH KA JiBriE
HáN  TaTèM
PANGKèè

KöN WAYANG..!

Posting Komentar untuk "26 Kekhususan Aceh dalam UUPA (Undang-undang Pemerintahan Aceh)"