Atjeh Moorden, Gekke Atjehsche, Aceh Pungo (Aceh Gila)
Orang Aceh masa lampau berjuang melawan Penjajah Belanda. Foto: Facebook/Internet |
Fenomena Atjeh Moorden, Gekke Atjehsche atau Aceh Pungo (Aceh gila) adalah upaya pembunuhan terhadap opsir dan perwira Belanda pada masa kolonial Belanda yang sering terjadi dilakukan pembunuhan secara sporadis, perseorangan dan tanpa disangka-sangka.
Kejadiannya bisa terjadi di mana saja. Di jalan, di pasar, dan di keramaian bahkan di tangsi-tangsi militer milik Belanda. Para pelakunya orang Aceh. Mereka tidak memandang umur atau jenis kelamin korbannya. Siapa pun yang berkulit putih langsung di Hamok (hajar). Bagi pihak Belanda fenomena ini menjadi suatu hal yang tidak biasa.
Mereka menyebutnya Atjeh Moorden atau Pembunuhan Aceh. Selanjutnya lebih dikenal sebagai Aceh Pungo (Bahasa Aceh) atau Aceh Gila.
Penyematan kata gila merujuk pada anggapan awal pihak Belanda mengenai sikap orang Aceh yang bisa tiba-tiba menghunus rencongnya dan menyasar orang Belanda. Oleh orang Belanda ini dianggap sebagai gejala psikologis. Perbuatan nekat itu dianggap tidak mungkin dilakukan oleh orang waras. Maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda Gekke Atjehsche (orang Aceh Gila), kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo.
Kisah luar biasa tentang Aceh Pungo atau Atjeh Moorden atau Aceh Gila ini bukan hanya diceritakan oleh orang Aceh sendiri tetapi juga ditulis dalam buku-buku sejarah oleh kalangan Belanda sendiri. Peristiwa Aceh Pungo ini dapat di baca dalam beberapa buku yang ditulis oleh orang Belanda seperti dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh dan buku Prominet Women In The Glimpse of History.
Selain itu dapat juga dilihat dalam buku The Old World Though Old Eye Three Years in Oriental Land diterbitkan tahun 1917. Buku ini ditulis Mary Smith Ware turis asal Amerika yang pernah ke Aceh pada masa kolonial Belanda.
Ada kisah kasus pembunuhan Letnan Kolonel Scheepens di Pidie. Scheepens ditikam oleh seorang Uleebalang di Desa Titeue di Pidie pada 10 Oktober 1913 ketika rapat menyelesaikan suatu sengketa dengan penduduk. Scheepens meski sempat dirawat di rumah sakit Sigli lalu tewas. Letnan Kolonel Scheepens dikuburkan di Taman Kuburan Belanda yaitu Kerkhof Peutjoet di Banda Aceh.
Kisah lainnya seorang pejuang perempuan Aceh di Pidie yaitu Pocut Meurah Intan alias Pocut Di Biheue menyerang sendiri 18 tentara Marsose (pasukan elit Belanda) yang sedang patroli pimpinan TJ Veltman, sehingga Belanda menjulukinya Heldhaftig alias perempuan yang gagah berani.
Keberanian Pocut Di Biheue ini oleh Kolonel TJ Veltman dikisahkan dalam buku Nota Over de Geschiendenis van het Landschap Pidie pada tahun 1919, juga dalam buku Atjeh.
H.C. Zengraaff dalam buku Atjeh, menulis bahwa dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh yang wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban melebihi wanita-wanita lain.
Ada lagi kisah Amat Leupon yang membunuh Komandan Divisi V Marsose Belanda di Lhoksukon yaitu Kapten Charles Emile Schmid. Pada pagi 10 Juli 1933 Kapten Charles Emile Schmid sedang mempersiapkan pasukannya di lapangan lalu Amat Lupon masuk ke sana memberi tabik.
Ketika komandan marsose itu mengakat tangan untuk membalas tabik itu, Amat Leupon menikam perutnya dengan sebilah rencong. Schmid luka parah dan kemudian tewas. Kisah ini dapat dibaca dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh.
Selanjutnya Aceh Pungo atau Gekke Atjeh atau Atjeh Moorden mendorong Belanda untuk melakukan penelitian. Orang yang meneliti Aceh Moorden adalah Penasehat Urusan Bumi Putera Pemerintah Kolonial Belanda yaitu R.A Kern yang diutus ke Aceh pada tahun 1912.
Misinya adalah meneliti tentang sikap militansi orang Aceh dalam berperang, terutama mengenai Aceh Moorden alias pembunuhan di Aceh (Atjeh poh kaphe). Seluruh penelitian R.A Kern ditulis dalam bukunya Onderzoek Atjeh Moorden.
Buku Onderzoek Atjeh Moorden merupakan laporan hasil penelitiannya dan disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 16 Desember 1921. Diterbitkan dalam Kernpapieren No.H.797/159 oleh KITLV Leiden, Belanda.
R.A Kern telah mengutip laporan-laporan yang dibuat oleh pegawai administrasi Belanda sejak tahun 1910. Sedangkan untuk tahun-tahun sebelum itu, meskipun ada tidak diambilnya karena dianggapnya serangan sebelum tahun 1910 masih terkait dengan perbuatan perang menentang Belanda.
Menurut catatan pihak Belanda, korban yang jatuh dipihak Belanda antara tahun-tahun 1910-1921 yaitu sebanyak 99 orang (12 mati, 87 cedera) dari jumlah 79 peristiwa penyerangan oleh Atjeh Moorden (Aceh Pungo). Latar belakangnya menurut R.A Kern adalah ide perang Sabil dan perasaan benci kafir (kafir-haat).
Tidak semua sebab-sebab penyerangan itu dapat diselidiki karena penyerang-penyerangnya telah mati ditembak oleh tentara Belanda. Sedangkan kaum keluarga mereka tidak juga dapat memberikan keterangan apapun.
Selanjutnya dibuat suatu kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, maka pemerintah Belanda mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang di Pulau Weh dan dr. Latumenten yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang. Kemudian dr. Latumenten juga melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit syaraf atau gila.
Namun hasil penelitian dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Yang membuat mereka melakukan perbuatan nekad Aceh Pungo atau Atjeh Moorden tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila (balas dendam). Untuk itu segala tindakan kekerasan jangan lagi dilakukan terhadap rakyat Aceh.
Kendati fenomena pembunuhan khas Aceh itu didasari oleh kondisi psikis pelakunya yang tertekan atau frustasi, kenyataannya para pelaku tidak pernah didiagnosis mengidap sejenis gangguan kejiwaan atau gila. Ada gejala-gejala yang tidak bisa dijangkau oleh pemikiran medis mengenai sikap dan tindakan orang Aceh yang dikenal dengan sebutan Aceh Pungo atau Aceh Gila tersebut.
Aceh Pungo (Atjeh Moorden) itu memang disebabkan oleh rasa benci kepada Belanda yang masih tertanam. Kekecewaan hidup dan sebagian frustasi karena sakit tidak kunjung sembuh. Hal ini menjadi perangsang untuk mencari jalan syahid. R.A Kern juga mengakui itu. Menurutnya apa yang dilakukan oleh sebagian rakyat Aceh itu didorong oleh perasaan tidak puas akibat ditindas oleh orang Belanda. Karena itu jiwanya tetap melawan Belanda.
Perang Aceh dengan Belanda atau Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda yang dimulai tahun 1873 hingga tahun 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada Januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Maka di tahun-tahun setelahnya senjata orang Aceh masih menyalak, Rencong Aceh masih memburu para Belanda.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Belanda Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873 Belanda mendarat di Pante Ceureumen sebelah Timur Ulee Lheu di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler dan langsung menguasai Masjid Raya Baiturrahman di Koetaradja kini Banda Aceh. Kohler saat itu membawa 3.198 tentara.
Sebanyak 168 di antaranya para perwira. Selanjutnya tanggal 14 April 1873 Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu pejuang Aceh di Halaman Masjid Raya Baiturrahman.
Jasad Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler dikuburkan di Taman Kuburan Belanda yaitu Kerkhof Peutjoet di Banda Aceh. Para tentara Belanda yang tewas di Aceh di kuburkan di Kerkhof Peutjoet. Nama mereka di tulis diprasaati di dinding Gerbang Kehormatan Kerkhof Peutjoet dengan tulisan Aan Onze Kameraden Gevalten Op Het Veld Van Eer yang dibangun tahun 1893.
Sejak saat itu rakyat Aceh menyatakan perang dan melawan yang apa mereka sebut kaphee. Perang yang dikenal sebagai Perang Aceh ini masuk dalam kategori 10 perang terlama di dunia. Atjeh Moorden dan jiwa jihad yang membara membuat perang masih berlangsung secara sporadis.
Orang Aceh tak pernah ditakluklan secara de facto. Salah satu bentuk dari perlawanan orang Aceh adalah tindakan nekat dan militan yang disebut Aceh Pungo tadi.
Serangan-serangan Aceh Pungo secara nekat dan tak terstruktur atau Atjeh Moorden dalam istilah Belanda itu pada dasarnya merupakan manifestasi dari jihad fi sabilillah. Tindakan militan ini didorong pula oleh perasaan benci yang sangat mendalam kepada pihak Belanda. Invasi Belanda ke Aceh selama masa kolonial Belanda telah banyak memakan korban.
Untuk mengimbangi militansi orang Aceh dalam berperang, Belanda membentuk Korp Marsose yaitu pasukan khusus. Melalui pasukan elit Belanda ini yang dinamakan Het Korps Marechaussee (pasukan Marsose) mengejar militan orang-orang Aceh baik perempuan dan anak-anak hingga ke pedalaman Aceh.
Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menyebutkan bahwa antara tahun 1899-1909, tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh tewas. Angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk Aceh saat itu. Semangat jihad orang Aceh kala itu didorong juga dari bacaan Hikayat Prang Sabi karangan Tgk. Chik Pante Kulu. Hikayat ini berisi syair kepahlawanan yang bernada heroik dan dapat membangkitkan semangat pembaca dan pendengarnya.
Dalam buku De Atjeh Oorlog, Paul van't Veer juga menulis bahwa Perang Belanda di Aceh tidak berakhir tahun 1913 atau 1914. Terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah sampai ke atas yang menyebar luas sedemikian rupa dari tahun-tahun 1925 sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga timbullah pemberontakan-pemberontakan setempat.
Puluhan pembunuhan Aceh yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yaitu saat orang-orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya, harus dianggap sebagai sebuah perang Belanda yang besar di Aceh atau boleh juga disebut sebagai deretan peperangan Belanda di Aceh yang berbagai corak sifatnya.
Hikayat Prang Sabi menjadi penyemangat orang Aceh untuk berperang kala itu. Atjeh Moorden, Gekke Atjehsche, Aceh Pungo (Aceh Gila) adalah salah satu perwujudannya.
Karena itu Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh yaitu A.H Philips memerintahkan razia dan pembakaran terhadap Hikayat Prang Sabi, karena berkesimpulan membaca Hikayat Prang Sabi dapat menghilangkan keseimbangan jiwa hingga rela mati yang kemudian disalurkan dalam tindakan membunuh orang-orang Belanda di Aceh. Sehingga Hikayat Prang Sabi harus dirazia dan dirampas dari tangan-tangan penduduk untuk dimusnahkan.
Menurut H.T Damste pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda dalam buku Atjehsche Oorlogspapieren menulis bahwa Hikayat Prang Sabi sangat penting dipelajari untuk mengetahui jalan pikiran, sikap dan perilaku orang Aceh dalam perang.
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawanan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli dari Belanda sebagai penasehat kolonial Belanda yaitu Dr. Christiaan Snouck Hurgronje. Tahun 1891 Cristiaan Snouck Hurgronje dengan menguasai bahasa Melayu dan Aceh serta pemahaman yang sangat baik tentang Islam, Snouck Hurgronje memasuki Aceh yang masih dilanda perang.
Ia menyamar sebagai Haji Abdul Ghaffar dan berhasil menjalin relasi dengan tokoh-tokoh adat serta para ulama di Aceh. Snouck Hurgronje juga meneliti tentang kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh.
Selama hidup di tengah-tengah warga setempat di pedalaman Aceh, Snouck Hurgronje akhirnya mengerti mengapa Aceh sulit ditaklukkan selama ini. Selanjutnya menjalankan taktik devide et impera untuk memecah-belah masyarakat Aceh.
Snouck Hurgronje tanggal 23 Mei 1892 menulis Atjeh Verslag, yaitu laporannya tentang Aceh kepada pemerintah kolonial di Batavia. Dalam laporan ini Snouck Hurgronje membeberkan cara menaklukkan Aceh. Laporan ini kemudian dibukukan dengan judul De Atjeher.
Selanjutnya oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mencegah Atjeh Moorden atau Aceh pungo yaitu dengan melaksanakan kebijaksanaan baru yang dikenal dengan politik pasifikasi dari lanjutan gagasan yang dicetuskan oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh, Belanda tidak lagi bertindak dengan mengandalkan kekerasan tetapi dengan usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat Aceh.
Oleh: Nediar Juliadi, ST
Banda Aceh, 26 Desember 2020
[Tulisan dikutip dari Facebook]
Daftar pustaka/ referensi:
Alfian, Ibrahim. 1987. Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: PT. New Aqua Press.
https://www.liputan6.com/regional/read/3664434/menyingkap-fenomena-aceh-gila-saat-zaman-kolonial-belanda. Diakses 17 Desember 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh. Diakses 17 Desember 2020.
https://id.quora.com/Siapa-yang-pertama-kali-meneliti-Aceh-Moorden-dan-militansi-orang-Aceh-dalam-berperang. Diakses 17 Desember 2020.
https://tengkuputeh.com/2018/02/08/aceh-pungo-aceh-gila. Diakses 17 Desember 2020.
Ahmad, Zakaria dkk. 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
https://tirto.id/sejarah-8-februari-1857-lahirnya-snouck-hurgronje-penakluk-aceh. Diakses 25 Desember 2020.
Foto: Bagian dari daftar pustaka/ referensi.
Posting Komentar untuk "Atjeh Moorden, Gekke Atjehsche, Aceh Pungo (Aceh Gila)"