Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Da'i Aceh : Maulid Nabi Muhammad Saw adalah Wadah Mempertajam Empati Sosial



Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 Sebuah Catatan

Oleh Dr. Nurkhalis Mukhtar, Lc, MA

Dalam coretan-coretan ini saya tidak ingin membahas mengenai hukum merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, karena keterangan dari Imam al Hafidz Ibn Hajar al Asqalani,  Al Hafidz Jalaluddin al Suyuthi, al Hafidz Syamsuddin ad Dimasyqi dan para ulama lainnya yang bertebaran di seluruh pelosok dunia telah lebih dari cukup mengenai kebolehan memperingati maulid sebagai wujud mahabbah dan kecintaan kita kepada Rasulullah Saw.

Maulid Nabi di tahun 1442 hijriah ini bagi penulis memiliki makna tersendiri, yang penulis rasakan dan alami sendiri. 

Sebagai seorang pemula dalam lapangan dakwah, penulis merasa banyak pertimbangan ketika dihubungi oleh Biro Isra dan Setda Aceh, untuk menyampaikan ceramah maulid 1442 H, mengingat yang berceramah tahun-tahun sebelumnya adalah dai-dai naional yang sudah teruji dan memiliki jam terbang yang bagus. 

Dengan durasi yang tidak lama, sekitar tiga puluh menit, penulis menyampaikan ceramah seputar maulid dan wujud mahabbah kepada Rasulullah Saw. Dalam ceramah tersebut penulis menekankan juga agar masyarakat Islam khususnya di Aceh, untuk menjadikan maulid sebagai wadah mempertajam empati sosial dan kasih sayang antar sesama. 

Tentunya dengan merefleksikan kembali akhlak dan keteladanan Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari semampu mungkin. 

Momentum maulid lainnya ketika penulis diminta untuk menyampaikan ceramah maulid pada acara Musyawarah Daerah Musda PKS Kota Banda Aceh yang dilaksanakan di salah satu hotel di Banda Aceh. 

Dalam waktu sekitar empat puluh menit penulis berusaha menjelaskan betapa maulid merupakan salah satu momen silaturahmi yang didasari mahabbah yang berasal dari ajaran Rasulullah Saw. 

Dalam momen tersebut penulis juga menjelaskan betapa kita harus bersatu-padu untuk mewujudkan sebuah organisasi yang baik dengan penulis umpamakan seperti tim bola kaki yang memiliki posisi yang berbeda-beda, namun memiliki visi dan misi yang sama untuk bahu membahu mengawal keagamaan dan keislaman di Kota Banda Aceh secara khusus, dan Aceh secara umum. 

Momen lainnya, yaitu kemarin, ketika Kaum Alaiddin keturunan raja-raja Aceh tempo dulu mengundang dan "mendaulat" penulis untuk berceramah dihadapkan mereka. 

Diawal ceramah, penulis menyampaikan bahwa kehadiran penulis tidak ingin menggurui atau pun menasehati mereka, namun sebagai wujud silaturahmi, penulis akhirnya menyampaikan beberapa poin antara lain adalah pentingnya masyarakat Aceh mempelajari kembali identitas keacehan dan keislaman. 

Mengingat Aceh pada masa yang lalu memiliki tradisi keislaman yang kental dan kuat, terutama dengan sinergitas para ulama dan umara, dalam konteks dahulu ialah para raja dan para teungku chik.

Dalam momen yang berharga itu juga, penulis juga berjumpa dengan beberapa sesepuh kaum Alaiddin, salah satunya ada yang berasal dari keturunan Tuwanku Raja Keumala. 

Sebagaimana hal yang telah maklum bahwa Tuwanku Raja Keumala adalah seorang pemimpin Aceh anaknya Mangkubumi Tuwanku Hasyim Bangta Muda dan beliau juga ulama besar Aceh yang pernah melanjutkan proses belajar dan mengajar di Kota Mekkah sekitar tahun 1904 sampai 1908 di mana sebelumnya beliau telah alim belajar kepada Teungku Syekh Ismail Yaqub atau yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Pantee Geulima. Tuwanku Raja Keumala belajar pada masa bergolaknya perang Aceh dan Belanda.

Dalam tiga Momentum Maulid 1442 H, penulis merasakan bahwa masyarakat Aceh begitu besar kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, peringatan maulid biasanya juga dirangkai dengan memberikan santunan bagi anak yatim yang merupakan anjuran yang sangat diprioritaskan oleh Rasulullah Saw. 

Pada akhirnya, penulis mengharapkan kepada semua kita untuk bisa memaknai maulid Nabi Muhammad Saw sebagai sebuah ungkapan cinta dan menebarkan kasih sayang antar umat yang dibingkai dengan spirit ukhuwah Islamiyah, Insaniyah dan Wathaniyah dalam konteks kebangsaan. 

Penulis juga berharap dengan Maulid Nabi yang memiliki waktu yang cukup lama diperingati di Aceh, hendaknya bisa menambah khazanah keilmuan dengan kembali membaca dan menelaah literatur tentang perjalanan kehidupan Rasulullah yang mulia tersebut. 

Dan semoga kelak, dengan salawat yang kita bacakan, Sirah hidupnya yang menggetarkan, menjadi modal kita berjumpa dengan beliau yang penuh kasih sayang dan empati untuk umatnya. 

Banyak kata yang tidak bisa diutarakan dalam coretan-coretan sederhana ini. Mudah-mudahan berjumpa kembali dengan maulid berikutnya, tentu dengan hati yang terus meningkat cinta kepada beliau dengan dinamika yang lebih baik. Semoga...
 
Nb. Momen ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw 1442 H di Mesjid Raya Baiturrahman.

Posting Komentar untuk "Da'i Aceh : Maulid Nabi Muhammad Saw adalah Wadah Mempertajam Empati Sosial"