Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Abu MUDI, Fiqh yang berjalan?


Oleh Tgk Mahlizar Abdullah 

Saya sudah menulis banyak hal tentang Abu Mudi, dalam berbagai sisi dan sudut pandang. Apa yang saya tulis itu adalah berdasarkan pengamatan saya, cerita dari orang lain yang bisa dipercaya atau bahkan cerita Abu Mudi sendiri yang sempat saya rekam dengan memori saya yang minim.


Sebagian orang, entah karena apa, tidak menyukai Abu Mudi. Bukan sebatas tidak menyukainya saja, mungkin membencinya sampai ke tulang sumsum. Sebagian menampakkannya di muka umum, walau dengan nama samaran dan dalam persembunyian, sebagiannya lagi menyimpannya dalam hati. 


Saya tahu, sejauh mana kami mencintainya, sejauh itu pula sebagian orang membencinya. Itu bukanlah hal yang aneh. Bukankah Rasulullah Saw juga demikian? Beliau diusir dari tanah airnya, berusaha dibunuh, disiksa pengikutnya, dll. Memang itulah resiko seorang Nabi, dan ulama adalah pewarisnya. Bagaimana mungkin kita mewarisi ilmunya sedangkan tidak mau menerima resikonya?


Abu Mudi, fiqh berjalan


Beberapa saat yang lalu, saya pernah mendengar bahwa seorang Habib di Yaman, menyatakan ingin ke Aceh untuk bertemu dengan seorang ulama yang alim lagi allamah. Orang yang mendengarnya saat itu heran dan bertanya siapa itu. Beliau menjawab "Hasanul basri." Padahal menurut riwayat, beliau belum pernah mendengar tentang Abu Mudi sama sekali.

Bagi saya, cerita itu hanya secuil kisah penunjang untuk menyatakan kealiman Abu Mudi. Karena sudah berulang kali saya melihat sendiri bahwa beliau (Abu Mudi) memang sangat alim, terutama dalam bidang fiqh. 


Untuk membuktikan kepada Anda bahwa Abu Mudi itu benar-benar alim, saya telah menuliskan hal itu secara khusus. Disini saya tidak ingin membahasnya.


Entah kenapa, membahas tentang Abu Mudi sering membuat saya tidak puas. Saya selalu merasa bahwa tulisan saya tidak bisa menceritakan semuanya. Saya selalu ingin mengambil metode penulisan imam favorit saya: imam Ghazali dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami rahimahumallah; membahas segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, entah berhasil atau tidak, yang jelas saya merasa ada yang kurang. 

Abu Mudi boleh disebut sebagai fiqh berjalan, kenapa? Karena baik sikap, ucapan maupun pemikirannya kental dengan fiqh. Abu Mudi bukanlah seorang Teungku yang hanya alim, tetapi kealimannya telah termanifestasi dalam bentuk perbuatan, sikap dan perilaku. Abu Mudi bukanlah teungku yang "baro putoh surah." Beliau malah telah bertahun-tahun hidup dalam surah itu sendiri. 

Mari kita analisa satu persatu. 


Pertama, Abu Mudi sangat konsisten dan tegas dalam mengamalkan prinsip-prinsip dasar syariah. Misalnya, dalam hal izaul muslimin (menyakiti kaum muslimin), Abu Mudi sangat benci terhadap perbuatan dan keadaan yang mengganggu kepentingan umum demi kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Dalam Islam, menyakiti kaum muslimin itu memang haram hukumnya.

Mulai dari yang terkecil sampai terbesar, Abu Mudi selalu menyampaikan untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang dapat mengganggu orang lain. 


Saya ingat, pernah Abu mengajarkan kami untuk meringkas khutbah Jum'at. Beliau menyebutkan paling lama 20 menit. Normalnya 15 menit. Beliau menganjurkan untuk tidak perlu memperpanjang muqaddimah, agar bisa memaksimalkan waktu untuk nasehat. Saat pertama kali mendengar ini, saya takjub. Menurut saya, itu benar-benar brilian. Karena banyak khatib yang menghabiskan banyak waktu untuk muqaddimah saja. Bèk abeh watèe ngön muqaddimah.


Abu Mudi mewanti-wanti kami dalam hal ini karena khutbah panjang hanya membuat orang-orang kehilangan banyak keuntungan, bahkan bosan. Apalagi jika panjangnya disebabkan muqaddimah. 


Begitu pula dalam hal shalat, Abu menganjurkan imam untuk meringkasnya, dan ini seperti anjuran Rasulullah Saw. Hal ini juga bertujuan untuk menjaga kepentingan umum, karena tidak semua jamaah punya banyak waktu luang. Jika Anda perhatikan, Abu Mudi juga tidak memperpanjang doa-doa dalam setiap kesempatan. Doa-doa yang beliau bacakan selalu ringkas tapi sesuai dengan konteks dan keadaan.


Ini bukanlah hal yang sepele, banyak orang abai terhadap hal ini. Saya pernah mendengar seseorang mengomentari teungku imum Gampong dalam membaca doa tahlil, "Hana utak teungku imum," karena membaca doa terlalu panjang, dan memang doanya kelewat panjang. Itu benar-benar menjadi pelajaran sekaligus kebenaran bagi saya akan pentingnya memelihara maslahah ammah.


Doa dalam Islam sangat dianjurkan, bahkan otaknya ibadah. Tidak ada keraguan dalam hal itu. Tapi jika sendirian. Kalau dalam berjamaah, kepentingan umum lebih didahulukan. Atau jamaah itu memang terbiasa dengan itu, seperti jamaah suluk, maka Anda boleh memanjangkan bacaan shalat dan doa-doanya semaksimal mungkin. Ini terbukti dari shalat yang boleh dipanjangkan jika jamaahnya sudah tertentu (mahsur), yang memang sudah biasanya berjamaah dalam keadaan panjang. 

...

Abu Mudi juga tidak setuju dengan pembuatan “polisi tidur.” Menurut beliau, polisi tidur itu mengganggu kepentingan orang banyak, dan manfaatnya hanya untuk sebagian kecil orang. Itu menyalahi prinsip agama.


Jika Anda melihat fiqh tentang jalan, bahkan membuat tempat duduk di pinggir jalan saja tidak boleh, karena berpotensi mengganggu kepentingan umum, yaitu dengan berkumpul orang disitu (kecuali hal ini dapat dipastikan tidak terjadi), apalagi ini malah membuat sesuatu di atas badan jalan itu sendiri. Beliau menentang keras hal ini. Menurut Abu, bahkan kulit pisang saja haram kita lemparkan di jalan karena takutnya membuat orang terpeleset. 


Menurut Abu, untuk mencegah pengendara ngebut-ngebutan di jalan adalah tugas polisi jaga, bukan tugas polisi tidur. Saya tidak berhenti tertawa mengingat ucapan beliau tersebut, karena tepat sekali. 🤭 Tapi anehnya, di depan kantor polisi sendiri malah ada polisi tidur. Hehe…


Dalam Islam, jalan itu ada dua: jalan umum (tembus) dan jalan pribadi, atau jalan sekelompok orang (tidak tembus), seperti gang yang tidak tembus kemanapun. Jalan yang tidak tembus itu tidak mengapa bagi Anda untuk membuat sepuluh atau seratus polisi tidur, asalkan semua pemilik jalan itu sepakat. Tapi kalau jalan umum (jalan tembus), Anda tidak boleh seenaknya melakukan sesuatu yang dapat mengganggu lalu lintas. Ini sesuai dengan prinsip agama dan juga negara. Anda boleh membuka kitab bab jalan dan juga undang-undang tentang jalan.


Tidak hanya soal polisi tidur, Abu juga sering kesal dengan sikap orang yang memarkirkan mobilnya di atas badan jalan tanpa peraturan, karena hal itu akan membuat macet lalu lintas. Saya juga sering kesal dengan ini, dan rasanya siapapun kesal, kecuali yang bersangkutan, mungkin malah nyaman. Mengingatnya saja sudah keki, apalagi dihadapi. 

Abu Mudi juga pernah membuat heboh banyak orang dengan statement beliau "tidak boleh mengaji dengan menggunakan Microphone di bulan ramadhan karena berpotensi mengganggu tidur banyak orang." 


Bagi saya, ini adalah hal paling tidak populis yang pernah beliau katakan. Betapa tidak, sejak saya kecil, memang pengajian di meunasah, masjid atau mushalla selalu menggunakan Microphone. Kontan hal ini mengundang banyak tanggapan. Terutama haters dari berbagai kalangan, mereka seperti mendapat bahan gunjingan dan bullyan baru. 


Hujatan dan kecaman datang bahkan dari kalangan sendiri, seperti alumni dan lain-lain. Ini adalah titik nadir bagi saya terhadap pemahaman agama orang-orang itu. Betapa tidak, jika yang mengecam adalah orang awam, itu wajar. Tapi jika yang katanya sudah mengkhatamkan beberapa kitab juga turut mengecam, bagi saya mereka masih dibuai dengan kulitnya, belum sadar akan isinya. Secara kasar bisa dikatakan “Galom putoh surah.” 


Oh ya, galom putoh surah itu bukanlah ada matan kitab yang belum anda pahami betul, karena setahu saya tidak ada seorangpun yang benar-benar memahami semua matan kitab, bahkan al-Qalyubi saja sering mengkritik pemahaman al-Mahalli terhadap suatu matan di dalam hasyiyata qalyubi wa amirah, tapi yang dimaksudkan galom putoh surah adalah ketika anda tidak benar-benar memahami hakikat sesuatu. Lebih celaka jika Anda belum paham tetapi Anda berpikir telah paham. 

Seperti saya kemukakan diatas, prinsip dasar agama adalah melarang suatu perbuatan yang dapat menyakiti kaum muslimin. Pengajian dengan Microphone jelas mengganggu orang sekitar (tentu saja jika dibesarkan suaranya). Bukan dengan isinya, tapi dengan suaranya. Syara' tidak melihat kepada beberapa orang yang mungkin tidak terganggu, tapi melihat secara umum. 


Contohnya, Rasulullah Saw melarang orang yang memakan bawang (sebelum baunya hilang) untuk menghadiri jamaah. Karena dapat mengganggu jamaah lain dengan baunya. Walau mungkin beberapa orang rela dengan bau tersebut. Karena persepsi sebagian orang tidak bisa di-dhabit, makanya diabaikan. Kalau Anda belajar fiqih, Anda pasti tahu prinsip semacam ini, dan ini jamak pada setiap hal. Coba Anda pikir, seberapa besar sih ketergangguan orang-orang dengan bau bawang, tapi Rasulullah SAW melarangnya.


Lebih jauh dalam hal ini, Rasulullah Saw melarang dua orang berbisik-bisik di hadapan orang ketiga. Karena itu dapat menyakiti hatinya. Bayangkan sampai segitunya Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menjaga kepentingan dan hati sesama muslim. 

Di hari Jum’at, Syara’menganjurkan seseorang untuk mandi ketika hendak berangkat Jumat, agar menghilangkan bau-bau yang tidak sedap. Nah, lagi lagi-lagi ini untuk menghindari dari menyakiti siapapun. Hal-hal kecil seperti ini, jika kita belum rasikh dalam fiqh, sering kali terabaikan. Beu ka meudarah gapah ngen fiqh, baru hal ini bisa membuatnya menjadi karakter. Ketika fiqh menjadi karakter Anda, maka apa bedanya Anda dengan fiqh berjalan?


Abu Mudi tidak melarang pengajian di meunasah atau masjid, beliau hanya tidak setuju itu dilakukan dengan Microphone. Lagian untuk apa dengan Microphone, padahal Syara' juga tidak menganjurkan, bahkan syiar juga bukan. Dalam fiqh, salah satu syiar islam adalah shalat berjamaah, sehingga ada yang menyatakannya sebagai fardhu kifayah. Tidak ada yang menyatakan pengajian dengan suara keras sebagai syiar. Bahkan sebaliknya, dalam masjid saja dilarang memperbesar suara jika dapat mengganggu orang shalat. 


Abu Mudi tahu bahwa dengan statement beliau itu akan mengundang banyak tanggapan. Tapi beliau harus menyampaikannya karena hal itu perlu disampaikan, dan belum ada yang menyampaikannya. 


Perlu Anda ketahui, Abu Mudi sangat tidak menyukai populer. Dalam setiap pertemuan ulama misalnya, beliau sering diam jika apa yang beliau ingin katakan sudah dikatakan orang lain. Kecuali jika sudah sangat perlu, beliau baru memberikan pendapatnya. Padahal, memberikan suara di hadapan orang banyak, terutama di hadapan cendekia adalah godaan terbesar seorang berilmu. 

Jadi, jika telah banyak yang menyampaikan tentang suatu perkara, menurut Anda kenapa pula Abu Mudi sangat ingin mengatakan hal itu, jelas sangat jauh. 


Bahkan, muzakarah saja Abu jarang sekali ikut. Termasuk di MUDI, selama belasan tahun saya di MUDI, hanya sekali saya melihat beliau duduk di barisan para ulama. Karena yang paling Abu sukai dalam hidup ini adalah Beut dan seumeubeuët. 


Sebagian orang menganggap bahwa Abu Mudi takut menghadiri muzakarah. Duhai… Jika seseorang telah mencapai tingkatan tertentu, ia tidak akan takut pada apapun selain Allah swt. Kekhawatiran dan perasaan manusiawi sudah jauh dari mereka. Mereka hanya hidup untuk agama Allah. Mereka hanya takut Allah berpaling darinya, dan Rasulullah SAW tidak mau menemuinya. 

Setiap ada orang yang mengisbatkan perasaan-perasaan itu kepada Abu Mudi, saya selalu ingin berteriak sekeras-kerasnya, “Abu tidak demikian”, dan menceramahinya berjam-jam.

Begitulah, Abu Mudi terhadap kaidah dan nilai-nilai fiqh sudah menyatu dalam jiwa raganya. Sehingga, jika beliau mendapati suatu keadaan yang menentang, jiwa dan raganya itu akan meronta. Kecintaannya kepada agama sudah seperti kecintaannya kepada orang tuanya, atau bahkan melampauinya. 


Apakah Anda melihat seorang anak dapat bersabar terhadap hal tidak senonoh yang dilakukan kepada orang tuanya. Apalagi ini lebih dari orang tua, yaitu ajaran Allah SWT dan rasulNya. Bagaimana Abu Mudi dapat diam ketika suatu ajaran agama melenceng dari garisnya? Kecuali pemahaman agama Anda (seperti saya) baru menyentuh kulitnya, yang permisif terhadap hal tercela, tentu akan diam seribu bahasa. Takut dicaci atau dicela. Takut dibully atau dihina. 


Menulis ini saja saya rada takut, takut diserang membabi buta, apalagi menyampaikan hal yang begitu besar. Saya jadi malu menjadi anak didiknya. Kenapa begitu penakut dan pengecut. Setipis itukah iman saya untuk menyampaikan kebenaran?

Membahas tentang izaul muslimin ini bisa sangat panjang, apalagi jika dikaitkan dengan prinsip dan sikap Abu Mudi terhadap hal ini, tetapi agar Anda tidak tersakiti dengan "kepanjangannya," sehingga malah saya kena karma, jadi afrad-nya, saya sudahi disini saja bab ini. :)


Kapan-kapan bab ini kita lanjutkan secara detail min haitsu dalil.


Bukan hanya dalam hal izaul muslimin, bahkan dalam berjalan pun Abu Mudi sangat bersahaja. Saya belum pernah melihat seseorang berjalan layaknya beliau. Bahkan beberapa kali saya mencoba menirunya tetapi selalu gagal. 🤭 Tetapi Abu Mudi telah berjalan seperti itu berpuluh tahun. Semenjak saya sampai di MUDI, beliau sudah berjalan seperti itu. Entah dalam keadaan apapun, cara jalan beliau selalu sama. Tidak lambat, dan juga tidak cepat. Jelas itu bukan dibuat-buat, karena jika disengaja, sesekali kita akan menampakkan wajah aslinya. 


Bukan hanya dalam berjalan, dalam hal apapun, Abu Mudi selalu tenang dan bersahaja. Beliau selalu anggun. Dalam pengajian, Anda akan melihat beliau begitu tenang, tidak bergoyang-goyang atau merubah gaya duduk. Begitu mantap. Tetapi anehnya, dengan sikap beliau itu, pengajian tidak pernah membosankan. 


Kemantapan sikap beliau itu adalah cerminan kemantapan surah dan pemahaman beliau terhadap ilmu yang beliau ajarkan. 

Entah kenapa, saya tidak suka dengan ketidaktenangan seseorang dalam menyampaikan sesuatu. Kurang sreg dan mantap rasanya. Saya sendiri berusaha meniru Abu dalam hal ini, lagi lagi gagal. Tetap saja goyang sana sini. 


Ketahuilah, ketenangan juga dianjurkan dalam agama, seperti tata cara berjalan dan lain lain. Dalam suatu hadits, disebutkan:


“Apabila kamu mendengar iqamah, maka berjalanlah kamu menuju ke tempat shalat, dan langkahkanlah kakimu dengan tenang dan anggun, dan janganlah kamu melangkahkannya dengan cepat-cepat. Maka apa saja bagian shalat yang kamu jumpai, kerjakanlah dan apa yang terlewatkan olehmu, maka sempurnakanlah.” HR. Bukhari dan Muslim.


Untuk perkara ini saja, sering saya lihat orang-orang di dalam masjid ketika iqamah sangat tergesa-gesa, bahkan sampai menyenggol orang lain. Begitulah pemahaman agama sebagian orang. Memang ada hadits yang menyatakan keutamaan shaf pertama, tapi untuk mendapatkannya bukan dengan cara tergesa-gesa. Kalau mau shaf pertama datanglah lebih awal. 


Ketenangan dan keanggunan adalah tabiat dan karakter, yang mungkin didapatkan setelah latihan bertahun-tahun lamanya. Saya tidak tahu, sudah semenjak kapan Abu bersikap setenang itu dalam setiap hal. 


Itulah Abu Mudi, kemantapan jiwa dan ilmu, termanifestasi dalam sikap dan perilaku.

Kedua, …

BERSAMBUNG

Posting Komentar untuk "Abu MUDI, Fiqh yang berjalan?"