-->
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hukum Menepati Janji dalam Islam

HUKUM MENEPATI JANJI DALAM ISLAM

Oleh Tu Sudan

Janji adalah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti menolong, memberi dan sebagainya). Hukum menepati janji sendiri, para ulama terbagi menjadi tiga pendapat. yaitu wajib secara mutlak, wajib jika ada sebab tertentu dan mustahab (sunnah)

1. Menepati janji adalah wajib secara mutlak dan jika diingkari maka berdosa. Jika enggan menepatinya maka boleh dipaksa untuk menepati janji tersebut.

Ulama yang menyatakan bahwa janji itu wajib ditepati secara mutlak dan jika diingkari maka berdosa antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah dan Imam Ishaq bin Rahawiyah rahimahullah serta ulama-ulama dari Madzhab Zhahiriyah. lalu ada ulama lainnya, seperti Imam Muhammad bin Hasan (Hanafiyyah), Ibnu Syubramah, Ibnu al-A'rabi (keduanya Malikiyyah) dan Imam Taqiyuddin as-Subki (Syafi'iyyah). Nash-nash yang melandasi pendapat ini antara lain:

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah [5] : 1)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (QS. Ash-Shaf [61] : 2)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu ada tiga : apabila dia berucap dia berdusta, apabila membuat janji dia mengingkari, dan apabila diamanahi dia mengkhianati.” 

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Ada empat perkara, barangsiapa yang empat perkara itu semuanya ada di dalam dirinya, maka orang itu adalah seorang munafik yang murni dan barangsiapa yang di dalam dirinya ada satu perkara dari empat perkara tersebut, maka orang itu memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya, yaitu : apabila diamanahi dia mengkhianati apabila dia berucap dia berdusta, apabila membuat janji dia mengingkari dan apabila bertengkar maka ia berbuat kecurangan.”

  Mengenai hadits diatas, Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:

و هذا ينزل على من وعد و هو على عزم الخلف أو ترك الوفاء من غير عذر فأما من عزم على الوفاء فعن له عذر منعه من الوفاء لم يكن منافقا و إن جرى عليه ما هو على صورة النفاق

“Hadits ini ditujukan kepada seseorang yang berjanji dan ia berniat untuk mengingkari atau dia meninggalkan janji tanpa udzur, adapun seseorang yg berniat menepatinya akan tetapi dia tidak bisa menepatinya karena suatu udzur, maka dia tidak termasuk atas gambaran seorang munafik.”

لَا تُمَارِ أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ

“Janganlah membantah saudaramu, jangan bergurau dengannya dan jangan pula engkau menjanjikannya suatu janji lalu engkau mengingkarinya.” 

  Ulama yang berpendapat wajib dalam menepati janji menjelaskan, jika seseorang tidak menepati janji pada waktu yang sudah ditentukan sebelumnya maka seseorang tersebut harus menepati janjinya di waktu yang lain sesuai dengan kesepakatan ulang antara orang yang berjanji dan yang diberi janji. Jika dalam perjanjian tidak ditentukan waktunya, maka tak ada batas waktu dalam memenuhi janji tersebut.

2. Menepati janji adalah wajib jika ada sebab-sebab tertentu yang membuatnya menjadi wajib

Mazhab Maliki berpendapat wajib dan sunnah tergantung konteks: apabila orang yang diberi janji itu akan mendapat kemudaratan apabila janji tidak dipenuhi, maka wajib dipenuhi janjinya. Apabila tidak berbahaya bagi yang diberi janji, maka tidak wajib menepatinya, dan menjadi sunnah. Dalam artian digantungan juga dengan syarat dan sebab. contoh : "Menikahlah! Saya yang menanggung maskawinnya". Pada contoh tersebut terdapat syarat yaitu menikah dan terdapat janji berupa menanggung maskawin.

3. Menepati Janji adalah mustahab dan mengingkari janji adalah makruh

  Hukum menepati janji sunnah, dianjurkan oleh agama dan termasuk budi pekerti yang luhur. Imam Thabarani menceritakan hadist yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu Mas'ud, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda ٌالعِدَةُ دَيْن (janji adalah hutang). Tapi hadist ini masih diperdebatkan keshahihannya. Namun ada hadist lain yang menyebutkan العدة عطية (janji adalah pemberian). Umumnya Ulama sepakat -kecuali Imam Malik- bahwa pemberian belum sah jika belum diterima. Maka, mayoritas ulama mengibaratkan janji sebagai pemberian yang belum diterima oleh penerima janji tersebut. Oleh karenanya janji tidak sampai tidak sampai taraf wajib untuk ditepati dan hanya sekedar sunnah

  Tiga mazhab fikih yaitu Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dan sebagian dari mazhab Maliki berpendapat bahwa menepati janji hukumnya mustahab dan tidak wajib. Ingkar janji hukumnya makruh. Namun jika seseorang berjanji tapi ia sudah berniat tidak akan menepati janjinya maka hukumnya haram, karena yang ia lakukan tergolong berbohong kepada orang lain. Dengan demikian dalil-dalil tentang motivasi memenuhi janji dan ancaman bagi pelanggar janji dianggap sebagai himbauan menurut jumhur ulama. Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullah dalam Kitab Al-Adzkar berkata :

قد أجمع العلماء على أن من وعد إنسانا شيئا ليس بمنهي عنه فينبغي أن يفي بوعده وهل ذلك واجب أم مستحب؟ فيه خلاف بينهم ذهب الشافعي وأبو حنيفة والجمهور إلى أنه مستحب فلو تركه فاته الفضل وارتكب المكروه كراهة شديدة ولكن لا يأثم

“Sesungguhnya para ulama bersepakat bahwa barangsiapa berjanji dengan seseorang dalam perkara apapun yang tidak terlarang, maka dianjurkan baginya untuk menepati janjinya. Namun apakah hukum menepati janji itu wajib atau sekedar mustahab (sunnah)? Padanya terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Asy-Syafi'i, Abu Hanifah dan jumhur ulama menyatakan bahwa hukumnya mustahab (sunnah). Maka jika seseorang tidak menepati janjinya maka telah terlewat darinya satu keutamaan dan dia telah melakukan perkara makruh yang berat, namun tidak berdosa.”

Nash-nash yang melandasi pendapat ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Quran mengenai pujian-pujian Allah subhanahu wa ta’ala kepada para rasul:

وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّىٰ 

“Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?”
(QS. An-Najm [53] : 37)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.”
(QS. Maryam [19] : 54)

Wallahu Ta'ala A'lam

Referensi :
- Tarsyih al-Mustarsyidin hal. 263
- al-Fiqh al-Islami vol. 4 hal. 433
- Shahih al-Bukhari no. 33 dan 34 
- Shahih Muslim no. 59 dan 58
- Ihya' Ulumuddin vol. 3 hal. 130
- Sunan At-Tirmidzi no. 1918
- Al-Adzkar hal. 317.

Posting Komentar untuk "Hukum Menepati Janji dalam Islam"