Karakter Orang Aceh
Karakter Orang Aceh
Oleh: T.A. Sakti
TRAGEDI Imam Masykur putra Aceh asal kabaupaten Bireuen, yang ditimpa musibah pembunuhan ketika belum sampai setahun merantau ke Jakarta, tidaklah menyurutkan semangat putra-putri Aceh lainnya berangkat mengadu nasib ke perantauan.
Sebab, nasib mujur atau nasib malang merupakan hak takdir milik Ilahy. Sementara, hanya diperantauanlah seseorang dapat mengubah nasib diri, dalam upaya menjaga harga diri.
Orang Aceh memberi nilai kepada dirinya teramat tinggi: alias jual mahal. Harga diri super tinggi ini, menyebabkan terwujudnya beberapa sifat atau watak lain: baik positif maupun negatif.
Perilaku positif yang merupakan benteng pertahanan harga diri pula antara lain: tabah menghadapi kesukaran, percaya diri, terus terang dalam pergaulan, heroisme dan pantang dikhianati.
Sementara perangai yang dapat dikategorikan negatif diantaranya: terlalu besar rasa curiga, dendam, dan orientasi membangga-banggakan masa lalu.
Sesungguhnya, kedua karakter (positif maupun negatif): pada dasar merupakan “pagar waja berduri” untuk melindungi harga diri dari ancaman luar (selain dirinya sendiri).
Tak habis pikir
Suasana berikut sering dialami orang Aceh di perantauan, terutama yang merantau ke luar daerah Aceh. Teman–teman yang bukan asal Aceh jadi terheran-heran ketika menyaksikan para mahasiswa asal Aceh tidak pernah pulang kampung sampai tiga-empat tahun.
“… pripon, menapa boten kangen kalian kaluarga?”
(…bagaimana bisa….apa tidak rindu sama kaluarga), tanya Mas Harsono asal Solo kepada saya pada suatu hari di Gelanggang Mahasiswa Kampus UGM, Yogyakarta.
Mas Harsono betul-betul tak habis pikir ketika mengetahui lebih lanjut, bahwa tidak jarang mahasiswa asal Aceh sama sekali tidak pernah pulang kampung sejak berangkat pertama kali untuk kuliah (di rantau) sampai dia selesai kuliah.
Bahkan banyak pula yang baru pulang kampung, setelah beristeri serta memiliki putra-putri dua tiga orang: dengan mempersunting gadis Yogya yang lembut mempesona atau putri Solo yang cantik-ayu.
Itulah salah satu gambaran ketabahan orang Aceh dalam menempuh kemelut kehidupan. Kata-kata ‘menyerah!’ terlalu pantang diucapkan apalagi dilakukannya. Karena hal itu akan menjatuhkan harga diri serta akan mendapatkan cibiran orang sekampung. Atau hana soele ngieng mausiblah mata (tidak diperdulikan orang biar sebelah mata pun).
Selain di kalangan mahasiswa/pelajar, ketabahan serupa juga dapat kita saksikan dalam berbagai usaha mempertahankan hidup di perantauan.
Dianggap manja
Keadaan lingkungan juga ikut mendorong terciptanya sifat tabah itu. Mungkin anda pernah mendengar sindiran penduduk desa terhadap mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di Banda Aceh yang sering pulang kampung!.
“Hai peue siat-at u gampong lagoe, peue hanjeut jeuoh sagai ngon gitiek Ma?, heh heh!” (Hai, koq sebantar-sebentar pulang kampung, apa sama sekali tidak boleh terpisah dengan ketiak Ibu?, ha ha), Tanya teman-teman sekampung sambil ketawa, menyindir sang mahasiswa/i yang dianggap manja.
“Hak gob jak gob nyan, hana meusoe-soe jak u ranto” (dia hanya ikut-ikutan merantau, dia mengira orang semacam dia sanggup hidup di rantau), begitu omelan orang bagi mereka yang kurang betah hidup di rantau.
Akibatnya, si mahasiswa/i merasa malu sendiri, karena harga dirinya diremehkan. Dan demi mempertahankan martabat diri, lama-kelamaan semakin jarang dia pulang ke gampong.
Memang, jiwa merantau rata-rata dimiliki orang Aceh: sekuat yang dijiwai masyarakat Minang Kabau.
Pada zaman Belanda, jak meuranto u timu (merantau ke timur: seperti ke Idi, Langsa, Perlak, Kuala Simpang dan lain-lain), hampir merupakan bahan pembicaraan harian penduduk kabupaten Pidie.
Selagi kecil, saya pernah mendapat hadiah sebutol Ie Ramminet dari seorang keluarga yang pulang sementara dari merantau di Langsa (dulu Aceh Timur). Keluarnya “asap” atau gas sewaktu membuka tutup botol, membuat kenangan kekagumam bagi saya lebih 60 tahun. Setelah puluhan tahun berlalu, sang perantau ke kota Langsa ini menjadi Abu mertua saya.
Mungkin, inilah salah satu yang “memancing’ saya merantau kuliah ke UGM, Yogyakarta. Sebagai anak gampong, pancaran gas dari botol air ramminet telah melesatkan saya merantau ke Jawa puluhan tahun kemudian.
Kisah “perantauan” orang Aceh ke timur ini telah dibahas dalam disertasi Dr. M. Gade Ismail, MA sewaktu menamatkan kuliah S3 di Universitas Leiden, Belanda dengan judul “Seuneubok Lada, Uleebalang dan Kumpeni (Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur, 1840 – 1942).
Beberapa abad sebelumnya, warga Pidie merantau ke bagian barat-selatan Aceh (Barsela). Mereka tersebar di semua bagian wilayah itu, salah satu “situs sejarahnya”, yaitu adanya Kota Blang Pidie (kota-persawahan orang Pidie) di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) hingga dewasa ini.
Kisah perantauan warga Pidie ini terekam dalam Hikayat Ranto (Hikayat Rantau) karya Leube Isa atau Leube Bambi ( Mukim Bambi di Pidie), yang menulis kisah perantauannya dalam bahasa Aceh sebagai hikayat. Hikayat Rantau ini, telah selesai saya salin dari Ejaan Latin Belanda ke EYD, di saat Ulang Tahun ke 25 musibah trabakan yang saya alami di Yogyakarta (kini lebih 41 tahun).
Salah satu hal yang sangat mendorong mereka merantau, karena di perantauan bisa memilih sembarang pekerjaan. Harga diri tidak akan jatuh biar bekerja di sektor apa saja di rantau, sebab terhindar dari penglihatan orang-orang kampung asalnya.
Jika dapat pekerjaan `halus` syukur, tapi kalau ketemu `pekerjaan kasar`pun tak mundur!. Asal halal dan yang terpenting: harga diri tidak luntur!
Manusiawi
Meskipun orang Aceh punya sifat keakuan yang tinggi, bukan berarti mereka sukar bekerjasama dalam pergaulan sehari-hari. Hanya saja, dirinya ingin dihargai sebagai makhluk Tuhan yang punya martabat melebihi berbagai makhluk lainnya.
Jadi, penghargaan yang diharapkan betul-betul cukup manusiawi. Persis seperti yang terkandung dalam Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Setiap perlakuan yang manusiawi, bila telah diterima orang Aceh dari pihak lain, akan dibalasnya dengan imbalan penghargaan yang setimpal , bahkan lebih. Dalam hal ini, sikap saling menghargai cukup seimbang jadinya.
“Tarhom gob ngon tumpoe, di rhom droe ngon bada!” (Jika melempar orang dengan tumpoe-tumpoe dimakan bersama nasi ketan-, akan dilempar diri kita dengan pisang goreng), demikian ungkapan hadih Maja (pepatah Aceh) mengenai saling menghargai diantara sesama manusia.
Jadi, orang Aceh tidak menginginkan dihargai secara berlebih-lebihan: tapi masih dalam ukuran wajar-wajar, yang cukup manusiawi sifatnya.
Kurang rela
Sikap saling menghargai dipraktekkan orang Aceh terhadap siapa saja. Kurang memandang pada tinggi rendah statusnya. Termasuk kepada pelayan/pembantu bagi orang Aceh sendiri.
Sebagai contoh, dua orang pembantu asrama mahasiswa Aceh “Meurapi Dua” di Yogyakarta; betah tetap jadi pembantu terus menerus di asrama itu selama lebih 50 tahun: karena diperlakukan oleh para penghuni asrama sangat manusiawi.
Asal orang lain memberi perhatian kepadanya, pasti orang Aceh juga bersikap baik kepada orang tersebut: walaupun terhadap si beureukah gulam( pekerja kasar) yang manusia Aceh, juga tetap menjaga harga dirinya. Ia hanya mau bekerja pada orang-orang yang memperlakukan kuli (karyawan) secara manusiawi.
Walaupun dalam keadaan ‘miskin’, orang Aceh tidak mau ‘diperbudak’ oleh orang kaya yang tipis sifat kemanusiaannya.
Itulah sebabnya, bagi keluarga-keluarga mampu dan kaya di kota-kota di Provinsi Aceh, sukar sekali memperoleh pembantu rumah tangga.
Orang Aceh kurang rela dirinya menjadi jongos dari orang kaya, karena akan tersinggung harga dirinya. Apalagi kalau setiap hari kena damprat dari Boss.
“Nibak jeut keu namiet gob, leubeh got kujak tueung upah ek U” (dari pada jadi hamba-abdi orang lain, lebih baik aku cari ongkos panjat kelapa).
Begitu juga kira-kira jawaban orang Aceh, terhadap ajakan bekerja sebagai pembantu pada orang-orang kota yang kaya.
Bukankah Anda pembaca WA ini pun ingin dihargai?.
*Penulis, alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta 1987
dan Pensiunan Staf Pengajar Prodi Pendidikan Sejarah FKIP, USK Darussalam-Banda Aceh, 1 Oktober 2019 M.
Posting Komentar untuk "Karakter Orang Aceh"