Saudi Pernah Minta Bantuan Amerika, Kenapa Hamas Disalahkan Saat Minta Bantuan Iran?
Oleh Sucipto Adi Saputro
[Tulisan dikutip dari akun Facebook]
Tidak setuju dengan langkah Hamas yang bekerja sama dengan Iran untuk melawan Israel itu sah-sah saja, setiap orang punya hak untuk berpendapat.
Tapi ada baiknya kita menengok kembali sejarah dunia Islam modern, khususnya pengalaman Arab Saudi pada awal 1990-an.
Pada 2 Agustus 1990, pasukan Irak secara tiba-tiba menginvasi Kuwait. Dalam waktu singkat, negara kecil itu berhasil mereka kuasai sepenuhnya.
Setelah Kuwait jatuh, pasukan Irak bergerak cepat ke arah selatan, mendekati perbatasan Arab Saudi - Kuwait.
Saat itu posisi pasukan Irak sangat mengancam, mereka tinggal selangkah lagi untuk memasuki wilayah Saudi, terutama Provinsi Timur yang menyimpan ladang minyak terbesar negara tersebut.
Situasi ini membuat Arab Saudi benar-benar merasa berada dalam kondisi darurat. Informasi intelijen menunjukkan adanya potensi kuat bahwa Saddam Hussein akan melanjutkan agresinya ke wilayah Saudi.
Menghadapi ancaman serius ini, Raja Fahd mengambil langkah besar, meminta bantuan kepada Presiden Amerika Serikat yaitu George H.W. Bush dan sekutunya untuk melindungi wilayah Saudi dari kemungkinan serangan Irak.
Bantuan yang datang bukan main-main. Amerika Serikat mengirimkan bukan hanya kendaraan tempur dan perlengkapan militer, tetapi juga sekitar 500.000 pasukan ke Arab Saudi dalam operasi besar yang dikenal sebagai Operation Desert Shield. Langkah ini menjadi sorotan dan perdebatan luas di dunia Islam.
Di kalangan ulama, muncul dua pandangan terkait kebijakan pemerintah Arab Saudi:
- Syaikh Al-Albani rahimahullah termasuk yang tidak setuju dengan keputusan Saudi. Beliau berpendapat seharusnya negara-negara Muslim bisa membentuk koalisi sendiri untuk menghadapi Irak, tanpa harus melibatkan pasukan non-Muslim.
- Syaikh Ibn Baz rahimahullah punya pandangan berbeda. Beliau mendukung keputusan Raja Fahd dan menganggapnya sebagai langkah yang dibenarkan secara syar’i, karena didasarkan pada kondisi darurat dan kebutuhan mendesak.
Menurut beliau, boleh meminta bantuan kepada non-Muslim jika ada maslahat besar dan umat Islam tidak mampu menghadapinya sendirian, dengan syarat kedaulatan Muslim tetap terjaga.
Pendapat Syaikh Ibnu Baz ini juga didukung oleh sejumlah ulama lain. Mereka melihat situasi saat itu sangat kritis, Arab Saudi tidak punya kekuatan militer yang sepadan untuk melawan Irak sendiri.
Maka, meminta bantuan kepada non-Muslim dalam kondisi seperti itu bukan bentuk loyalitas terlarang, tetapi langkah strategis untuk menjaga keselamatan negeri dan kaum Muslimin.
Ini juga sejalan dengan kaidah fiqih yaitu kondisi darurat dapat membolehkan hal-hal yang asalnya terlarang, selama sesuai dengan batas-batas syariat.
Kalau kita bandingkan dengan konteks hari ini, sebagian orang mengkritik kebijakan Hamas karena bekerja sama dengan Iran dalam melawan Israel, seakan-akan kerja sama yang pasti salah.
Padahal, Saudi sendiri dalam sejarahnya pernah melakukan hal serupa, yaitu bekerja sama dengan negara non-Muslim (Amerika Serikat) untuk menghadapi sebuah ancaman, dan itu dilakukan dengan dukungan ulama, karena alasan maslahat dan kondisi darurat.
Jadi, sikap terhadap kerja sama semacam ini seharusnya dilihat secara objektif dan proporsional, bukan berdasarkan sentimen semata. Kalau kita bisa memahami langkah Saudi saat itu, mestinya kita juga bisa bersikap adil dalam menilai kelompok lain yang mengambil strategi tertentu dalam kondisi sulit.
Posting Komentar untuk "Saudi Pernah Minta Bantuan Amerika, Kenapa Hamas Disalahkan Saat Minta Bantuan Iran?"