-->
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Jawaban untuk Pejuang dan Pendukung Konser di Aceh

JAWABAN UNTUK PEJUANG DAN PENDUKUNG KONSER DI ACEH 
Oleh Teuku Zulkhairi

*Pertanyaan 1:*

*Sebenarnya apa yang haram dalam konser itu ? Berkumpulnya laki-laki dan perempuan atau musiknya?*

Jawaban:
Islam memandang persoalan ini secara holistik, bukan parsial. Dalam ushul fiqh dan maqāṣid al-syarī’ah, pengharaman suatu kegiatan bukan hanya karena satu unsur, tetapi keseluruhan dampak yang ditimbulkannya. 

Dalam konser di Aceh selama ini, dua unsur tersebut hadir bersamaan:

1. Ikhtilāṭ bebas (campur baur laki-perempuan bukan mahram tanpa kontrol syariah).

2. Musik dan nyanyian yang mendorong syahwat, tarian vulgar, teriak histeris, bahkan mabuk hiburan.

Karenanya, persoalannya bukan sekadar “musik haram atau tidak”, melainkan paket maksiat yang terjadi secara kolektif. 

Syariat memerintahkan menutup pintu menuju kerusakan (sadd adz-dzarā’i’), sehingga konser yang selama ini diselenggarakan secara faktual telah menjadi ladang pelanggaran moral dan akhlak. Maka sikap ulama atau Tgk2 di Aceh bukan mengada-ada, tetapi berdasarkan realitas lapangan.

*Pertanyaan 2:*

*Kalau yang haram itu bercampurnya laki-laki dan perempuan, mengapa kampanye politik, perayaan hari besar Islam, dakwah, dan acara lainnya boleh?*

Jawaban:
Jawabannya ada pada tujuan (maqāṣid) dan mekanisme pelaksanaan.

Acara dakwah dan keagamaan, meski dihadiri massa, memiliki tujuan ta’līm dan amar makruf, bukan memamerkan aurat, hura-hura, dan memicu syahwat.

Di banyak kegiatan syar’i, pemisahan ruang selalu diupayakan—dengan pagar, tirai, atau garis pembatas.

Bila ada kekurangan, maka yang diperbaiki adalah teknis pelaksanaannya, bukan tujuan kegiatannya.

Sedangkan konser musik adalah hiburan tanpa kebutuhan darurat, bahkan dalam banyak kasus faktanya yang sering kita lihat terjadi adalah :

1. Teriakan histeris
2. Pelukan & berdesakan
3. Pakaian membuka aurat
4. Pergaulan bebas selama dan setelah acara.

Semua ini bertentangan langsung dengan Syariat Islam yang berlaku di Aceh. 

Jadi tidak bisa disamakan: ada acara yang boleh karena tujuan syar’i — ada yang dilarang karena mengandung mafsadat.

*Pertanyaan 3:*

*Kalau yang haram itu musiknya, kenapa Anda dengar musik di rumah, Android atau pada pesta pernikahan?*

Jawaban:
Syariat membedakan antara:
Musik/nyanyian yang mubah - tidak mengandung kata-kata maksiat, tidak mengundang tarian dan syahwat. Islam memandang bahwa maksiat personal harus dicegah, dan maksiat jama'ah/ramai-ramai harus lebih dicegah lagi. 

Musik yang munkar akan membawa kepada kemaksiatan dan meninggalkan kewajiban.

Dalam walimatul ‘urs (resepsi pernikahan), syariat menoleransi bentuk hiburan tertentu dalam batas yang jelas. 

Misalnya suatu saat Rasulullah Saw pernah memperkenankan alunan duff pada pernikahan sebagai bentuk syiar kebahagiaan.

Ini berbeda sangat jauh dengan konser:

Acara Resepsi pernikahan seharusnya berlangsung secara Islami dan Ada batasan. Bisa dikontrol, waktu terbatas dan fokus ke akad keluarga. Selain itu, diharapkan lagu-lagu atau nasyid Islami yang diputar di resepsi pernikahan itu adalah lagu2/nasyid Islami yant mendorong kepada ketaatan Allah SWT dan mengingatkan tentang esensi pernikahan dan keluarga Samara.  

Sementara pada konser hilang batasan dan muncul hura-hura, memicu syahwat dan liarnya massa serta tanpa kendali. Adapun jika pada acara resepsi pernikahan dilangsungkan pesta hura-hura dan mengandung unsur2 haram lainnya, Syari'at Islam juga tetap melarangnya. Tugas bersama untuk mencegahnya. 

Maka tidak bisa dipukul rata hanya dengan logika “sama-sama musik” di resepsi pernikahan dan konser. Konteks dan dampaknya berbeda total.

*Pertanyaan (tuduhan) 4:*

*Apakah Anda (penolak konser) takut panggung direbut seniman? Atau hukum mengikuti kepentingan?*

Jawaban:
Tuduhan ini hanya menunjukkan ketidakmampuan memahami syariat. Penolakan terhadap konser bukan karena takut kehilangan panggung, tetapi karena kewajiban menegakkan amar makruf nahi munkar. 

Mengkritik hiburan yang merusak bukan berarti anti-seni. Bahkan dalam Islam:

1. Seni suara dibolehkan
2. Syair yang baik dihargai
3. Budaya lokal yang sesuai syariat dijaga.

Yang ditolak adalah kerusakan moral yang terbukti selalu menyertai konser di Aceh. Sikap ini justru menunjukkan konsistensi syariat, bukan kepentingan.

*Kesimpulan*

Aceh bukanlah provinsi biasa, tetapi bersyariat Islam secara konstitusional.

Setiap kegiatan publik harus menjaga agama (ḥifẓ al-dīn) dan menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl) sebagai bagian maqāṣid al-syarī’ah.

Jika ada kegiatan yang lebih banyak mudarat daripada maslahat, apalagi merusak moral generasi muda, maka wajib dicegah. Apalagi, artis-artis konser itu sama sekali bukan figur yang layak dijadikan teladan oleh generasi muda Aceh. 

Generasi muda Aceh sejatinya dihadirkan sosok2 yang penuh keteladanan agar mereka bisa meneladaninya sehingga bisa sukses dunia dan akhirat.

Posting Komentar untuk "Jawaban untuk Pejuang dan Pendukung Konser di Aceh "