Syari'ahkah Bank Syari'ah ?
Muhammad Yasir Yusuf |
"Jika pemerintah Aceh kedepan mau berkomitmen dengan baik terhadap
syari’ah Islam, maka syari’ah Islam bukan hanya qanun jinayah saja akan
tetapi komitmen pemerintah dalam membangun ekonomi syariah menuju Aceh
sejahtera juga menjadi perhatian utama"
Oleh Dr. Muhammad Yasir Yusuf, MA | Dosen Fakultas Syari’ah, IAIN Ar-Raniry, Jurusan Ekonomi Islam. Email: m.yasiryusuf@gmail.com
Syari’ahkah
bank syari’ah?, satu pertanyaan yang sering ditanyakan oleh sebahagian
masyarakat Aceh yang masih ragu terhadap kesyariahan bank syariah. Pertanyaan
ini sering muncul dalam diskusi-diskusi perbankan syari’ah. Penulis juga pernah
mengadakan survey dibeberapa perbankan syari’ah di Aceh.
Penulis pernah bertanya
pada salah seorang customer service (CS) di salah satu perbankan
syari’ah di Aceh, apakah yang membedakan antara bank syari’ah dengan bank
konvensional?. CS terebut dengan tenang menjawab, tidak ada perbedaan sama
sekali kecuali hanya dari sisi namanya saja. Ya..seperti kredit menjadi
pembiayaan, bunga diganti dengan margin (keuntungan), karyawan yang
tidak berjilbab dipakaikan jilbab, sapaan selamat pagi/siang diganti dengan
salam.
Apabila
kenyataan di atas benar adanya, maka pelaku perbankan syari’ah telah melakukan
dua penipuan. Pertama, menipu tuhan dengan mengatas namakan syari’ah untuk
mendapatkan keuntungan dari nasabah yang loyal syari’ah. Kedua, menipu
masyarakat dengan produk syari’ah yang ternyata tidak syari’ah.
Kenyataan lain, Aceh sebagai negeri
syari’ah seharusnya menjadikan semua transaksi bisnis baik lembaga keuangan
bank atau non bank dan semua produksi yang ada di Aceh bersesuain dengan
pemberlakukan syari’ah. Karena pemberlakuaan syari’ah dalam ekonomi sama sekali tidak ada yang dirugikan. Produk
keuangan syari’ah bukan hanya bisa digunakan oleh muslim tapi non muslim pun
bisa menggunakannya.
Produk makanan yang diperjual belikan di pasar harus
sesuai dengan syari’ah dan mendapatkan logo halal misalnya. Sehingga konsumen
muslim dengan tenang bisa mengkonsumsikan makan yang diperjual belikan secara
halal dan ini tidak mengurangi hak kaum non muslim karena mereka juga bisa
mengkonsumsikannya. Siapakah yang bisa menjamin bahwa ayam dan daging yang
dijual di pasar dipotong sesuai dengan ajaran Islam..takut-takut daging yang
dijual adalah bangkai ketika pengawasan tidak dilakukan dengan ketat dan
selektif.
Logika sederhana, apabila masyarakat
memahami syari’ah dengan baik maka bisnis keuangan dan makanan yang dijual
sesuai dengan syari’ah akan meraih pasang pasar yang baik di Aceh. Namun
buktinya bank syaria’h masih kalah maju dengan bank konvensional di Aceh,
masyarakat tidak terlalu peduli dengan makanan yang dikonsumsikan, apakah
unsur-unsur makanan yang ada dalam makanan yang dimakan tidak mengandung
unsur-unsur lemak babi atau minyak babi? Jarang didapati masyarakat yang
terlebih dahulu melihat konten/isi makanan sebelum memutuskan untuk membeli.
Syari’ahkah
Bank Syari’ah?
Operasional
perbankan syari’ah apabila mengacu kepada ketentuan Peraturan Bank Indonesia
No. 22 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan keputusan fatwa Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) MUI boleh dikatakan bahwa operasional perbankan syari’ah dibawah
kontrol yang ketat dan regulasi yang sudah jelas patuh syari’ah. Adapun
perbedaan pandangan secara syari’ah terhadap produk-produk tertentu yang
dijalankan perbankan syari’ah adalah sebuah proses ijtihad yang bisa berbeda
antar pemikir ekonomi Islam dan ulama. Sampai disini perbankan syari’ah masih
digolongkan patuh syari’ah.
Akan tetapi tidak syari’ahnya
perbankan syari’ah muncul kepermukaan sehingga menjadi image negatif
disebabkan oleh beberapa sebab. Pertama, behaviour (perilaku) dari
pelaku bank syari’ah itu sendiri. Perilaku pelaku perbankan syari’ah tidak
menunjukkan patuh terhadap syari’ah. Mulai dari tingkah laku keseharian dalam
kehidupan bermasyarakat (life style) yang tidak patuh syari’ah sampai
pelanggaran terhadap aturan-aturan akad yang semestinya di jalankan karena
mengejar target bank. Muncul dikotomi antara kerja dengan gaya hidup adalah sesuatu
yang terpisah. Sehingga mereka hanya menganggab bahwa ketika bekerja harus
patuh syari’ah dan ketika melepaskan baju kerja mereka bisa berbuat sesuka hati
mereka. Padahal masyarakat sedang menilai sejauh mana perilaku mereka sesuai
dengan jargon perbankan syari’ah ketika mereka di masyarakat. Harus disadari
oleh pekerja perbankan syari’ah bahwa mereka adalah agen/sales perbankan
syariah yang berjalan di masyarakat dalam 24 jam setiap hari.
Kedua, minimnya pengetahuan pekerja
perbankan syari’ah di Aceh terhadap produk-produk perbankan syari’ah. Ini
adalah masalah SDM yang masih terbatas. SDM yang ada tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat. Disisi lain kurang sinergi
perbankan syari’ah dengan ulama dan da’i dalam mensosialisasikan perbankan
syari’ah.
Ketiga, produk-produk yang
ditawarkan perbankan syari’ah adalah produk-produk konvensional yang
disesuaikan dengan syari’ah dalam istilah lain adalah islamisasi produk
konvensional. Hal ini menimbulkan kerancuan pemahaman masyarakat yang coba
beralih dari produk konvensional ke syari’ah. Apa perbedaanya?. Bank syari’ah
belum berani keluar dengan produk-produk inovasi dan kreatif seperti bai’
istisna’ dan bai’ salam ataupun melakukan inisiasi untuk
mempertemukan antara investor dengan pelaku dunia usaha dengan produk mudharabah
muqayyadah (pembiayaan bagi hasil atau rugi terhadap projek tertentu).
Keempat, perbankan syari’ah dalam
operasinya masih dipersepsikan oleh sebahagian masyarakat sebagai bank yang
masih berbasis kapitalis yaitu mengejar keuntungan yang tinggi, bukan berbasis
sosial. Hal ini tercemin dengan pembiayaan yang diberikan masih bertumpu pada
akad-akad tertentu seperti murabahah, belum berbasis pada akad pinjaman
tanpa beban (qard hasan), mudharabah atau musyarakah.
Kalaupun kedua akad terakhir ini digunakan, ia berbentuk pembiayaan berbasis unit
link. Iaitu dana yang dimiliki perbankan ditempatkan pada BPRS-BPRS dalam
bentuk mudharabah atau musyarakah, lalu BPRS melakukan akad dari
dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk murabahah lagi, jadi sami
mawon. Masyarakat tetap tidak mudah untuk mendapatkan pembiayaan murah dari
bank syari’ah.
Sebenarnya perkembangan perbankan
syari’ah di Aceh harus lebih maju dari perbankan syari’ah dinanggroe-nanggroe
lainnya, akan tetapi nampaknya perkembangan perbankan syari’ah di masih banyak
terkendala. Baik dari pelakunya mahupun dari kebijakan politiknya
pemerintahnya.
Jika pemerintah Aceh kedepan mau berkomitmen dengan baik terhadap
syari’ah Islam, maka syari’ah Islam bukan hanya qanun jinayah saja akan
tetapi komitmen pemerintah dalam membangun ekonomi syariah menuju Aceh
sejahtera juga menjadi perhatian utama. Jinayah (kriminalitas) akan
berkurang jika kesejahteraan ekonomi dirasakan oleh masyarakat, akses-akses
ekonomi mudah didapatkan masyarakat, tidak ada kaum yang dimanjakan dan kaum
yang dimarjinalkan. Bukankah ketika ekonomi/bisnis dijalankan dengan
nilai-nilai ketauhidan, jauh dari riba maka Allah akan membuka pintu kemakmuran
untuk negeri ini. Sebaliknya jika ekonomi jauh dari nilai-nilai ketauhidan,
keadilan dan riba, maka negeri ini akan terus tercabik-cabik.
Kenapa pada masa Umar bin Abdul
Aziz, zakat bisa surplus, artinya ekonomi masyarakat berada di atas
garis kemiskinan? Hal ini disebabkan oleh keyakinan masyarakat pada waktu itu
terhadap konsep ekonomi Islam yang menjanjikan kesejahteraan. Yakinkah kita terhadap
ekonomi Islam yang bisa memberikan kesejahteraan dunia akhirat? Jawabannya ada
pada diri kita semua. Wallahu’alam.