Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendirian Bank Aceh Syariah Cukup Syarat

Dir Syariah Bank Aceh, Haizir Sulaiman (foto atjehpost.com)

 
SuaraDarussalam - Syariat Islam yang sudah berjalan selama kurang lebih 14 tahun lalu di Aceh, dinilai masih berkutat pada hal-hal yang belum menyentuh substansi. Padahal, masih banyak sisi lain yang dinilai lebih urgen dalam kehidupan masyarakat Aceh yang belum tersentuh Syariat Islam, salah satunya adalah sektor perekonomian, khususnya perbankan, yang hingga kini masih menganut sistem konvensional.

Banyak pihak berpendapat, sebagai satu-satunya provinsi yang menerapkan Syariat Islam, sudah seharusnya Aceh memiliki bank milik daerah yang berbasis syariah. Bila Bank Aceh yang ada saat ini sulit disyariatkan, maka setidaknya Pemerintah Aceh harus mempercepat pemisahan (spin of) unit Syariah dari Bank Aceh.

Pendapat dan wacana untuk mensyariatkan Bank Aceh atau melepaskan unit Syariat dari Bank Aceh ini, terus bergulir cepat dalam berbagai diskusi yang melibatkan para aktivis Islam dan pihak perbankan di Aceh. Suara-suara dukungan pun mencuat dalam berbagai pertemuan dimaksud.

Saat mengisi pengajian dan diskusi rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (Kwpsi), di Rumoh Aceh Jeulingke, beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Dr Idris Mahmudy SH MH, dengan tegas mengatakan, jika ingin Syariat Islam ditegakkan secara kaffah di Aceh, maka bank-bank daerah milik Pemerintah Aceh perlu disyariatkan.

Apalagi dengan adanya peraturan terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa kewenangan Mahkamah Syariah juga menangani yang berkaitan dengan ekonomi syariah.

Bukan hanya sekadar bicara, Dr Idris Mahmudi bahkan ikut aktif mencari dukungan para pengambil kebijakan untuk mempercepat realisasi bank syariah milik Pemerintah Aceh. “Gubernur Aceh Dokter Zaini Abdullah dan Direktur Bank Aceh Khairil juga sudah kita sampaikan. Mereka juga menyatakan mendukung, ujar mantan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara ini.

Suara-suara desakan pensyariatan Bank Aceh semakin menguat, sehingga pihak KWPSI pun berinisiatif mengundang pihak Bank Aceh untuk hadir pada diskusi selanjutnya. Undangan ini dipenuhi dengan kehadiran Direktur Syariah Bank Aceh, Haizir Sulaiman dan Direktur Utama BPRS Hikmah Wakilah, Sugito.

Di depan peserta pengajian dan diskusi yang terdiri atas wartawan, pengurus dayah, akademisi, pengacara, Haizir Sulaiman menyatakan, sangat setuju dengan peralihan sistem tersebut mengingat Aceh salah satu daerah yang menerapkan Syariat Islam. Namun semua kebijakan ada pada pemerintah Aceh, dalam hal ini gubernur Aceh sebagai pemilik modal dan Bank Indonesia (BI) yang mengatur semua regulasinya.
Menurutnya, desakan-desakan dari banyak kalangan akan sangat berpengaruh pada kebijakan pensyariatan Bank Aceh untuk segera memandirikan pengelolaan Unit Usaha Syariah (UUS) secara mandiri.

Haizir Sulaiman sangat berharap dukungan tersebut terus digalakkan  agar pemerintah semakin sadar begitu pentingnya Bank Aceh Syariah di tengah-tengah masyakat Aceh. “Andai kata ini tidak menjadi pemisahan, maka orang Medan akan katakan, Aceh saja yang menerapkan Syariat Islam tidak mampu bediri apalagi mereka,” tukasnya.

Ia juga mengakui telah melakukan berbagai persiapan, seperti merampungkan segala keperluan admistrasi, Sumber Daya Manusia (SDM) dan berbagai regulasi. Apalagi, saat ini semua pembiayaan Bank Aceh Syariah sudah pisah dengan Bank Aceh konvensional. Artinya mereka pelan-pelan telah melakukan upaya-upaya.

Kalau dibandingkan dengan Bank Jawa Barat, Aceh seharusnya malu, karena mereka yang tidak  menerapkan Syariat Islam sudah mampu mendirikan bank syariahnya. Hal itu terwujud karena gubernur jabar punya komitmen yang tinggi mendirikan Bank Syariah.

Lanjut Haizir, dari sisi modal, Bank Aceh Syariah juga sudah mencukupi syarat, minimal punya aset Rp 2 triliun, untuk menjadi bank syariah. Sebab, sampai 1 Oktober 2013 Bank Aceh Syariah memiliki aset sebesar Rp 2 triliun, memiliki dua kantor cabang dan 12 kantor cabang pembantu. Sedangkan Bank Aceh konvensional asetnya sudah mencapai Rp 16 triliun seluruh Aceh.

Namun yang masih menunggu proses saat ini di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk membuat draf qanun regulasi pemisah Unit Usaha Syariah sesuai UU nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. “Kendalanya saat ini sebenarnya pada qanun,” tutup Haizir.(zubaidi)